31.8 C
Jakarta

Gejolak KM50; Suara Tuntutan Keadilan atau Suara Radikal FPI?

Artikel Trending

Milenial IslamGejolak KM50; Suara Tuntutan Keadilan atau Suara Radikal FPI?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pada tulisan sebelumnya, saya berspekulasi bahwa jika kasus Brigadir J berhasil diungkap secara adil, maka geliat KM50 akan berangsur turun. Ternyata tidak demikian. Hari ini di Twitter kembali trending tagar #DariDuren3KeKM50. Ketua MPR yang juga Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid membuat cuitan di Twitter, berharap Polri kembali mengungkap kasus penembakan terhadap enam laskar FPI di Jalan Tol Cikampek-Jakarta KM 50 pada akhir 2020 lalu.

“Sampai 4 kali Presiden Jokowi peringatkan agar Polri usut tuntas kasus penembakan Brigadir J. Tentu bukan hanya untuk penyelamatan citra Polri, tapi juga tegaknya hukum dan keadilan. Maka wajarnya komitmen ini dilanjutkan, termasuk untuk tuntaskan kasus #KM50 terkait tewasnya 6 laskar FPI,” cuit HNW di akun Twitter miliknya, @hnurwahid, Selasa (9/8) kemarin.

Statement tersebut tidak hanya keluar dari petinggi PKS. Cuitan tentangnya bahkan mencapai empat belas ribu kali, bersama dengan ‘Sambo’ yang juga jadi trending topic. Rata-rata narasinya adalah meminta Polri mengusut kembali kasus KM50 yang waktu itu ditangani Satgasus Merah Putih pimpinan Ferdy Sambo. Dalam logika netizen, jika Sambo dengan biadab merekayasa kasus Brigadir J untuk menutupi fakta, maka skenario yang sama pada kasus KM50 juga atas kebiadaban Sambo itu sendiri.

Karena itu netizen meminta kasus KM50 diusut kembali. Lalu bagaimana menanggapi geliat KM50 tersebut?

Perlu diketahui, menanggapi geliat KM50 itu dilematis. Satu sisi, ia terlihat sebagai suara tuntutan keadilan dari masyarakat, utamanya keluarga para laskar FPI yang tewas atau simpatisan FPI secara umum. Namun, pada sisi yang lain, geliat KM50 juga jadi mobilitas oposisi untuk memojokkan pemerintah. Misalnya, menganggap pemerintah tidak adil pada kasus KM50 yang ujung-ujungnya anggapan tersebut adalah mendiskreditkan pemerintahan.

Antara sebagai suara tuntutan keadilan atau suara radikal FPI, geliat KM50 harus dilihat dengan jeli. Sebab, sebagai suara tuntutan keadilan, ia harus dipenuhi. Itu demi menjaga marwah Polri dan melerai ketidakpercayaan khalayak (public distrust) yang kadung bercokol di masyarakat. Namun sebagai suara radikal FPI, geliat KM50 justru harus diredam. Sebab bagaimana pun dipenuhi, ia akan terus menggema karena tujuannya bukan untuk cari keadilan tapi menyudutkan pemerintah dan aparat. Jelas.

Polri dan Laskar FPI

Ada statement menarik dari Islah Bahrawi, Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, tentang Polri. Menurutnya, “bukan soal pro-justicia yang akan kita bahas di sini, melainkan upaya menghilangkan public distrust yang tidak boleh dibiarkan menebal. Sebuah perkara bisa disebabkan oleh sedetik peristiwa, tapi akibat sebuah perkara bisa berdampak puluhan tahun lamanya. Tugas Polri ke depan jauh lebih berat, selain menjaga stabilitas keamanan masyarakat tetap kondusif, Polri harus bisa menjamin setiap nyawa dalam suatu kejahatan ada nilainya.

BACA JUGA  Serangan Moskow dan Bukti Kekejaman Teroris di Bulan Ramadan

Polri juga harus bisa menjaga kapabilitas dalam hirarki struktur internalnya. Ada sistem yang salah sehingga membentuk kubang demi kubang pertarungan dalam menduduki jabatan tertentu yang tidak berbasis kompetensi. Selama puluhan tahun kita selalu disuguhkan oleh kisah-kisah pertarungan antar gerbong di tubuh Polri. Ini adalah isu yang mentradisi namun berkesan tahayul, terdengar dan terlihat, tapi sulit untuk dilingkari dalam peta,” tambahnya.

Sebenarnya, mana yang lebih penting, dalam kasus Ferdy Sambo dan Brigadir J, antara ‘pro-justitia’ dan ‘public distrust’? Dan jika dikontekstualisasikan dengan geliat KM50, mana yang harus dikedepankan? Jawaban atas pertanyaan ini bisa diukur dengan prinsip Polri selama ini, fakta yang mereka suguhkan ke masyarakat, juga prinsip perjuangan FPI. Polri sebagai penegak keadilan dan FPI yang jadi penuntut keadilan harus didudukkan bersama; secara presisi.

Dari situ kemudian terlihat, bahwa penegakan pro-justitia dan pengentasan public distrust mesti berjalan beriringan. Pro-justitia dalam konteks KM50 ialah mengusut kasus tersebut setransparan mungkin, seadil mungkin, dan sejelas mungkin sehingga geliat tersebut tidak lagi punya celah untuk memprovokasi publik. Tujuannya, seperti kata Islah, untuk membangun kapasitas (capacity building) Polri sebagai penegak hukum dan keamanan.

Di saat yang bersamaan, public distrust harus ditanggulangi. Salah satu caranya ialah menindak para provokator geliat KM50 sehingga jelas di mata publik bahwa tujuan mereka tidak lain menyemarakkan radikalisme. Polri harus memberi suguhan ke publik bahwa keadilan telah mereka tegakkan, dan setelahnya radikalisme juga harus mereka entaskan. Kepercayaan publik adalah prioritas, yang cara menempuhnya ialah menegakkan keadilan dan mengatasi provokasi-provokasi radikal.

Akhir KM50

Butuh pengamatan yang objektif, apakah geliat KM50 murni menuntut keadilan atau hanya memprovokasi publik agar tidak lagi percaya Polri. Jika ia tuntutan keadilan, maka Kebakaran Kejagung yang ketika itu kasusnya juga dipegang Ferdy Sambo sama harus diusut. Polri dalam konteks ini perlu menempuh dualitas: membersihkan Polri dari Ferdy Sambo dan skenario piciknya selama menjabat dan menyelamatkan Polri dari provokasi para radikalis di balik geliat KM50.

Geliat KM50 mungkin akan terus menghiasi media sosia. Tetapi tidak perlu khawatir, karena ketika pro-justitia tegak dan public distrust teratasi, suara radikal FPI akan terabaikan dengan sendirinya. Meskipun Habib Rizieq Shihab sudah mengomando sekalipun, jika celah provokasi sudah tertutup rapat, maka geliat semacam itu tidak ada efeknya. Pendek kata, tuntutan keadilan harus dipenuhi sehingga suara radikal FPI cs tidak lagi dapat atensi dari masyarakat.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru