26.1 C
Jakarta

Gamangnya Pemerintah Menindak Aktivis HTI di Indonesia

Artikel Trending

EditorialGamangnya Pemerintah Menindak Aktivis HTI di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dimana pemerintah ketika para aktivis HTI semakin gencar, tidak terbendung, menebarkan paham khilafahnya di Indonesia? Pertanyaan ini menyeruak di benak masyarakat, melihat semakin masifnya dakwah khilafahisasi di satu sisi, dan lembeknya tindakan konkret pemerintah di sisi lainnya. Barangkali pemerintah memang hendak memfokuskan program kerja untuk menangani COVID-19. Tetapi, apakah karena itu langkah strategis menangani para aktivis khilafah menjadi tumpul?

Munculnya film Jejak Khilafah di Nusantara, atau yang terbaru, penggorengan kasus penggerebekan sebuah yayasan di Kalisat, Rembang, Pasuruan, yang dianggap persekusi Banser merupakan indikasi yang cukup kuat akan eksistensi aktivis HTI. Kajian-kajian daring tentang khilafah, dustur negara khilafah, yang memuncak pada Ramadhan lalu, juga sinyal yang kuat indoktrinasi mereka, betapapun badan hukumnya telah dicabut tiga tahun silam. Tetapi, adakah penindakan tegas terhadap para pelakunya?

Tidak ada. Pemerintah merespons secara gamang, absen dari ketegasan. BNPT boleh jadi beralibi bahwa aktivis HTI bukanlah teroris sehingga tidak perlu dikhawatirkan, tetapi bukankah penyebaran ideologi khilafah cukup riskan untuk eksistensi negara? Twitter, YouTube, dan Facebook, merupakan media mainstream dakwah khilafah. Memanipulasi sejarah, mencatut nama sejarawan, dilakukan untuk kepentingan politik kekuasaan. Islam hanya tameng agar umat membela pergerakan mereka.

Ketidakhadiran pemerintah di momen-momen urgen, di mana pencegahan segera merupakan keniscayaan, mengundang tanya publik: jangan pemerintah memang tidak mampu menangani atau, jangan-jangan, birokrasi para aktivis HTI sudah merasuki mereka, sehingga memungkinkan kongkalikong dengan pemerintah. Polemik-polemik kembali menyulut. Bagaimana mungkin pemerintah tidak mengambil strategi untuk melenyapkan aktivis HTI beserta propagandanya? Patut dipertanyakan.

Aktivis HTI Tebar Propaganda

Dalam artikelnya, Banser dan Infiltrasi HTI di Indonesia, Ridwan al-Makassary, mengutip dari Osman (2018: 112), mengatakan, ada dua cara aktivis HTI mencari dukungan tokoh masyarakat, politisi, atau birokrat, dalam rangka memperkuat barisan mereka. Pertama, aktivis HTI membentuk sebuah organisasi payung yang melingkupi berbagai kelompok Muslim di Indonesia dengan tujuan yang sama: penegakan syariat Islam. Kedua, mereka memiliki hubungan personal dengan pemerintah atau tokoh nasional.

Pada pola yang pertama, polarisasi merupakan sesuatu yang mesti. Misal, Forum Umat Islam (FUI). Organisasi payung tersebut menampung berbagai komunitas umat Islam. Mereka heterogen, bahkan sering tidak seideologi, tetapi sama-sama ber-grand theme ‘Islam’. Infiltrasi menjadi dampak paling serius dari modus ini, yang bisa kita saksikan, umpamanya, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) berat sebelah, lepas dari fungsi idealnya. Apakah ini merupakan salah satu propaganda? Jelas.

Yang lebih menjijikkan dari itu ialah cara aktivis HTI yang kedua: kooperatif dengan pemerintah. Jika gamangnya pemerintah hari ini disebabkan fakta persekongkolan mereka—termasuk misal hanya oknum dari pemerintah—dengan aktivis HTI, maka perselingkuhan ini mesti segera digeruduk. Ketika infiltrasi sudah tidak terkontrol sedemikian rupa, maka yang harus dinormalisasi ialah pemerintah itu sendiri. Oknum yang dirasa terlibat kongkalikong harus segera ditindak dan tidak diberikan ruang.

Apa yang kita semua saksikan: kajian masif selama Ramadhan yang bahkan berlanjut hingga sekarang melalui kanal YouTube Khilafah Channel, provokasi antarumat dan pemerintah, atau diluncurkannya film Jejak Khilafah, atau sederet provokasi riskan lainnya, adalah bukti nyata bahwa aktivis HTI gencar sekali menebarkan propaganda. Andai pemerintah bersikap tegas, menindak siapapun yang provokatif, bahkan memenjarakannya jika perlu, pasti itu semua tidak terjadi.

BACA JUGA  Fitnah Keji Aktivis Khilafah Terhadap Toleransi di Indonesia

Apakah kita ingat perkataan Zainullah Muslim ketika diinterogasi Banser? Ia bilang, kira-kira begini: “Ini negara hukum, proseslah secara hukum. Bawa bukti bahwa saya salah.” Bukankah aneh orang yang tidak mengakui keabsahan hukum di negara demokrasi tetapi meminta dirinya diproses hukum? Apakah para aktivis HTI tengah mengolok-olok kita dengan hukum kita sendiri, seolah Indonesia, pemerintahnya, terskakmat aktivis HTI melalui sistem hukumnya sendiri?

Apakah karena dirasa tidak cukup bukti, kemudian pemerintah tidak menindak? Apakah kita sedang diskakmat aturan hukum kita sendiri sehingga aktivis HTI bebas berkeliaran? Mengecewakan. Padahal, sekarang, ke depan, tindakan tegas adalah kebijakan yang sangat urgen.

Tindakan Tegas Adalah Urgen

Tindakan tegas yang diharap seluruh masyarakat, tentunya kebijakan yang sudah sesuai ketentuan konstitusi. Menindak mereka memang berpotensi mendapat reaksi agresif oleh orang-orang yang sekelompok. Sebagai contoh, andai Ismail Yusanto, juru bicara HTI, provokator umat melalui film Jejak Khilafah, ditangkap lalu dipenjara. Pasti akan terjadi demo di Monas, di DPR, bahkan di istana. Seperti modus yang sudah berlalu, mereka akan berteriak, “Stop kriminalisasi ulama!” sembari “Takbir!!!

Dan, yang sudah kita alami sebelumnya akan terulang kembali. Keadaan akan semakin panas, bahkan bisa terjadi makar. Dalam konteks ini, semua orang menyadari, tidak mudah memproses para aktivis secara hukum, saking kuatnya mereka menghasut umat menggunakan term-term Islam di satu sisi, dan di sisi lainnya disebabkan manipulasi mereka yang tidak mengaku sebagai “aktivis HTI”, melainkan sebagai “umat Islam”. Mereka mempermainkan emosi umat, menuduh penegak hukum sebagai pihak yang tidak ingin Islam bangkit.

Alot, bisa jadi adalah kata yang pas untuk menggambarkan keadaan ini. Tindakan tegas adalah sesuatu yang urgen kita lakukan sekarang, tetapi pada saat yang sama, kesadaran umat sangat terbatas: mudah terpengaruh provokasi aktivis HTI. Andai kita bisa mengedukasi umat untuk tidak lagi percaya semua kelicikan aktivis HTI, andai umat Islam mau sadar bahwa agama mereka tengah dipermainkan para dedengkot khilafah untuk kepentingan politiknya, apakah kesukaran tersebut masih mungkin terjadi?

Masalahnya adalah, semua ini berpusat pada ketegasan pemerintah. Mereka seharusnya bergandengan tangan dengan civil society, menerapkan kebijakan yang tepat-tegas-berani, yang tidak gamang hingga memicu anggapan yang tidak-tidak di benak masyarakat. Penindakan mereka, bahkan dengan memenjarakan setiap aktor provokatif para aktivis HTI, jauh lebih efektif daripada kebijakan wacana belaka, misal dengan mengagendakan moderasi beragama.

Bagaimana mungkin moderasi beragama bisa diterapkan, sementara umat Islam masih dalam cengkeraman aktivis HTI? Ke depan, kita, rakyat, sangat berharap, bahwa kepada siapapun yeng membahayakan NKRI, satu kata: “Hukum mereka.” Para aktivis HTI tidak boleh diruang sejengkal pun. Dan tentu itu tidaklah merenggut hak mereka sebagai warga negara. Kita sedang mau bicara perihal hak, atau mau menyelamatkan eksistensi negara? Berpikirlah!

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru