31.7 C
Jakarta

Fungsionalisme Pancasila di Era Politik Teologi

Artikel Trending

KhazanahPerspektifFungsionalisme Pancasila di Era Politik Teologi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam pandangan sosiolog, bahwa ideologi yang tegak sebagai sistem society, sejatinya kekuatan yang ada di dalamnya harus merekonstruksi, mereduksi, dan menjadi jalan educations, ke dalam lapisan masyarakat secara umum. Agar melindungi kesetaraan, keadilan, dan kebersamaan. Emile Durkheim dalam buku Seven Theories of Religion menganalisis landasan teori sosiologinya tentang suatu yang sakral, harus mampu menggerakkan sosial masyarakat agar menjadi lebih baik. Di Indonesia kita dapat mengimplementasikan berbagai terori luar untuk mewujudkan fungsionalisme pancasila yang utuh dan up to date.

Kita tahu, Agama merupakan yang sakral. Kenapa politik teologi saat ini yang kita kenal “Khilafah” justru berusaha merusak suatu sistem ideologi humanity universal yang ada? Dengan mendeklarasikan suatu identitas kebenaran yang subjektif. Sedangkan objektivitas moral hanya terpaku dalam satu kelompok yang akan mereduksi ke dalam lapisan masyarakat yang begitu beragam. Bukankah yang sakral seharusnya mentransformasikan “Jiwa Ruh-Hillah” sebagai kekuatan fungsionalisme sosial bukan justru tegak sebagai teologi identitas? Karena nantinya yang bergerak bukan nilai humanity universal, akan tetapi sebuah kepentingan individu yang justru akan menanggalkan kepentingan-kepentingan secara sosial masyarakat secara universal bagi bangsa ini.

Fungsionalisme Pancasila

Pancasila sebagai ideologi bangsa yang mampu memberikan “Ruh” kemanusiaan serta kenyamanan dalam keberlangsungan hidup umat manusia. Pancasila hadir sebagai yang “sakti” karena mampu realisasikan nilai-nilai yang objektif tanpa menampakkan satu kepentingan saja, akan tetapi setiap kepentingan-kepentingan sosial masyarakat. Ideologi bangsa ini bergerak aktif secara transparan dalam kehidupan sosial masyarakat. Pancasila sebagai yang sakral, karena mampu mengubah pandangan masyarakat yang pelit hati menjadi murah hati, dari yang tidak peduli sama menjadi peduli sesama, dari ketidakadilan menjadi adil, bahkan dari perbedaan justru saling menghargai.

Dalam perspektif Psikologi analisis, bahwa “Pancasila” merupakan “Ruh” dari berbagai aspek kekuatan moral yang ada. Nilai-nilai yang ada di dalamnya mengeksplorasi doktrin moral agama, wahyu Tuhan tentang kemanusiaan, serta hasil filosofis etik kebijaksanaan pemikiran-pemikiran manusia-manusia yang cinta akan kebersamaan, persatuan, serta kepentingan umum demi tercapainya peradaban umat manusia.

BACA JUGA  Kontra-Radikalisme dan Disinformasi di Tengah Hiruk Pikuk Pemilu 2024

Gerakan politik teologi ini memiliki dasar pandangan bahwa pemimpin serta ideologi nya suatu negara itu hak mutlak ajaran Tuhan. Secara universal, ideologi ini akan mereduksi terhadap keragaman agama yang ada di Indonesia. Karena kebenaran harus satu pihak. Sehingga ini akan berdampak kepada perpecahan atau konflik antar agama. Secara kepentingan nasional, dasar ideologi politik teologi hanya akan terpaku terhadap prinsip-prinsip satu identitas yang akan berdampak kepada identitas lainnya.

Pandangan semacam ini bukan lantas mendiskreditkan suatu ideologi atau golongan. Karena ini demi kepentingan bersama bukan kepentingan satu kelompok. Agama harus seperti gula yang meresap, menyebar, serta memberikan rasa manis tanpa kelihatan. Karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, serta bangsa yang menganut keyakinan yang beraneka ragam. Bisakah kita saling menampilkan “Ruh” dalam agama itu sendiri dengan tujuan keberlangsungan hidup bersama?

Pancasila yang Final dan Implementasinya

Pancasila adalah hasil ijtihad dari para pendahulu kita yang telah menyepakati. Karena di dalamnya memiliki nilai-nilai yang tidak merendahkan, atau bahkan melebihkan satu golongan. Dalam Pancasila, memiliki daya bagaimana kita saling menjaga satu sama lainnya. Memiliki tujuan bagaimana ketundukan kepada Tuhan sang pencipta, serta saling menciptakan kebersamaan, persatuan, kesetaraan satu sama lainnya.

Sesuatu yang sakral harus mampu merealisasikan “Ruh” esensi di dalamnya memengaruhi kehidupan sosial masyarakat secara umum. Karena Pancasila lahir dari nilai-nilai yang sakral serta pandangan-pandangan moral dan etika dalam menjalani kehidupan yang profane ini. Jika teologi menjadi menampakkan secara identitas dalam kehidupan bangsa ini, maka ini akan mereduksi terhadap keragaman bangsa Indonesia. Mari kita terus menolak ideologi atau kelompok-kelompok yang berusaha menghancurkan tatanan sosial masyarakat Indonesia dengan merefleksikan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang sakti dalam membentengi kemajemukan masyarakat ini.

*Saiful Bahri,

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru