31.1 C
Jakarta

FPI, Rijikers, dan Efek Samping Pasca Bubarnya

Artikel Trending

Milenial IslamFPI, Rijikers, dan Efek Samping Pasca Bubarnya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pasca pembubaran Front Pembela Islam (FPI), yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, ada kekhawatiran baru dari masyarakat luas. Mereka seperti menangkap “bau” akan adanya gejolak sektarianisme bahkan radikalisme horizontal.

Sektarianisme Akan Mencuat?

Adanya efek samping dari pembubaran FPI, bisa kita baca dari respons beberapa punggawa FPI. Dengan kefanatikannya orang-orang (rijikers) FPI untuk membela apa yang mereka sebut “membela Islam” dan “amar makruf”, tetapi kini dibubarkan (sepihak) oleh pemerintah, dan dengan berlandaskan laporan aksi cacat FPI selama menjadi ormas, menyebabkan kobaran api menghantam dadanya orang-orang FPI.

Orang-orang yang berlawanan dengan FPI kini mungkin senang, tapi juga mengalami “ketakutan”. Misalnya, seperti teman-teman saya yang Kristiani. Mereka takut apabila FPI melakukan seperti selama ini dia lakukan: kekerasan. Sifat-sifat dasar FPI tentu akan semakin ektrem karena ruang negoisasi ditutup sebab dibubarkan.

Kita jangan lupa, sejak Indonesia menetapkan demokrasi liberal pada 1999, sektarianisme, baik dalam pergumulan agama, sosial, dan politik makin meningkat. Dan kejam. Gelombang sektarianisme yang ditandai dengan aksi kekerasan seperti pengeboman rumah ibadah, pembubaran acara-acara ibadat suci kepercayaan, pasar, dan lain-lain, mengalami peningkatan yang dahsyat.

Lapisan sektarianisme di Indonesia yang berkobar dan seporadis, adalah dengan adanya perbedaan yang meningkat di Indonesia. Mereka membenci atas dasar dan terhadap faksi-faksi kekuatan dan gerakan politik, kebencian antarkelas sosial, kebencian antarkelompok etnis, dan kebencian intra dan antaragama. Apalagi dengan hukum yang tebang pilih dan tidak sehat, bahkan sistem demokrasi yang labil alias belum solid, itulah sebab dari sektarianisme makin berkembang, meningkat, dan akan bertahan di Indonesia.

Meski Indonesia tidak mewarisi sejarah sektarianisme (Azra, 2013), yang berlapis seperti di Timur Tengah (sesungguhnya ada meski sedikit apabila kita mengacu pada fenomena kerajaan dan pada zaman Wali Songo), tapi potensi sektarianisme pasca pembubaran FPI ini akan berlangsung. Sangat tidak masuk akal, jika ormas-ormas fanatik mati sekali digebuk.

Kebencian FPI kepada yang lain intra agama bahkan antaraagama, sejak dulu kala sudah berkobar. Lihatlah sendiri sejarah pertengkaran FPI dan NU. Dan juga lihat jejak rekam kata kasar (semacam permusuhan) Imam Besar FPI kepada umat non-muslim (yang dianggap kafir). Pasca pembubaran ini, mereka akan manyatu, minimal berkompromi dengan ormas-ormas yang memiliki kesatuan dan kesamaan kepentingan untuk aksi-aksinya di 2021 nanti. Dalam konteks ini sektarianisme di Indonesia bisa berlipat dan berkombinasi di antara sektarianisme agama dengan sektarianisme sosial politik. Dan ini jelas menjadi ancaman nyata kita sepanjang tahun 2021 nanti.

Melihat Gelagat FPI dan HTI

FPI berbeda dengan HTI. FPI lebih ekstrem dari HTI. FPI sering melakukan kekerasan atas nama agama, sedang HTI lebih lembut dan jarang melakukan tindak kekerasan. Begitu juga soal sifatnya, FPI lebih gigih dan berani bahkan menantang kekuasan dan aturan pemerintah, sedangkan HTI relatif memilih jalur damai.

Tapi kesamaanya FPI dan HTI adalah mereka tetap tidak mengakui Pancasila dan ingin menggantinya dengan paham yang lain. HTI ingin mengganti dengan sistem khilafah. Sedang FPI dengan NKRI Bersyariah. Dan itu semua bertentangan dengan sistem negera Indonesia yang sah.

Yang menarik, setelah FPI dinyatakan dibubarkan, dan tidak boleh menggunakan atribut FPI, banyak kalangan menyebut bahwa pemerintah mengalami melakukan error strategis melawan radikalisme. Dan itu dianggap menunjukkan kelemahan sistem demokrasi Pancasila di Indonesia.

BACA JUGA  Kelucuan Pengedar Khilafah dalam Menanggapi Perbedaan Awal Bulan Puasa

Menurut beberapa peniliti, pembubaran ormas yang berbeda pendapat dengan negara adalah tindakan dari demokrasi negara yang kurang sehat, dan tidak percaya diri dengan Pancasila yang diemban untuk menjalankan keutuhan negara selama ini. Tapi disitulah implikasi dari negera yang punya kekuasaan penuh dan implikasi dari ormas yang juga “melangkahi” aturan yang berlaku.

FPI Akan Cari Kendaraan Baru?

Menarik disimak, setalah pemerintah melakukan press atas pembubaran ormas FPI, beberapa cabang FPI di Indonesia melakukan respons yang menarik untuk disimak. Karena itulah poros dan tindakan yang bisa dibaca pasca fenomena ini.

FPI Bandung dan FPI Kerawang dan semua cabang FPI, mereka tetap ngotot akan melakukan aksi dan aktivitas sosialnya seperti sediakala. Bahkan ia kini masih menunggu arahan FPI Pusat untuk melakukan langkah dan tindakan selanjutnya. Dan dia menyatakan, apabila FPI digembosi, tinggal cari kendaraan lain. Tinggal ubah “P” depan dengan bikin Front Pejuang Islam (detik/30/Desemeber/2020).

Terakhir ini patut disimak. Mungkinkah orang-orang FPI memilih jalan pintas untuk bergabung dengan ormas lain? Katakanlah dengan HTI, JI, JAT, ISIS, JAD, MIT, dan MIB dan lainnya. Atau membuat nama baru dengan konsep baru tapi wajah lama? Bisa jadi. Mungkin sudah. Namun itu tantangan besar dan butuh waktu lama.

Sejauh amatan saya, ormas-ormas atau organisasi yang ingin bangkit kembali di Indonesia, membutuhkan waktu lama. Anda bisa menyebut ormas-ormas atau organisasi apa saja. Pasti sampai saat ini termehek-mehek, meski sampai saat ini, para petingginya mencoba melakukan “strategi memutar dan berbutar”. Bahkan ada yang pura-pura istirahat dengan bahasa “tobat” atau “eks” sambil mencoba mengedukasi yang lain.

Yang jelas, sektarianisme, radikalisme, dan terorisme atas nama agama, pasca pembubaran FPI, akan menampilkan diri dalam skala yang mengkhawatirkan jika pemerintah gagap.  Bahkan mereka akan beraksi dan beraktivitas sesukanya, dari tokoh-tokoh sentralnya, bila pemerintah lemah dalam penegakan hukum.

Mereka akan mengespolasi kebebasan gerakan yang berbarengan dengan jeratan demokrasi, bila aparat pemerintah tidak menjamin tegaknya hukum yang adil, tegas, hormat dan berkeadaban, konsisten, kepada semua huru-hara yang mereka buat. Ditambah lagi, bila kalangan politisi, yang ingin berangkat jadi pejabat, terjebak dalam “politik jahat/miskin gagasan” dengan memanfaatkan mereka dan ormas anarkis sebagai jalan komprimistis untuk mendapatkan jabatan yang murah, hanya kepentingan perut semata, bukan derita dan harmonisnya warga masyarakat luas.

Tetapi gejala akan hadirnya efek samping dari pembubaran FPI yang berakibat tumbuhnya suburnya sektarianisme, radikalisme, dan terorisme atas nama agama, akan berhadapan dengan lawannya: yaitu masyarakat yang berani cinta damai. Masyarakat ini pasti akan menolak segala macam bentuk rupa apa yang ditawarkan oleh eks-FPI dan sebangsanya.

Sehingga, dengan demikian, sikap sektarianisme, radikalisme, dan terorisme tidak mudah subur di dalam tubuh masyarakat Indonesia. Demikian pula, sebalikinya, jika masyarakat cinta damai itu tumbang dan kalah, maka bukan tidak mungkin sektarianisme, radikalisme, dan terorisme atas nama agama berkobar, bahkan lebih jauh dari itu akan terjadi: Indonesia bubar.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru