30.9 C
Jakarta

FPI Reborn; Organisasi Persatuan Islam yang Berpotensi Memecah Belah Umat

Artikel Trending

Milenial IslamFPI Reborn; Organisasi Persatuan Islam yang Berpotensi Memecah Belah Umat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – FPI hadir kembali. Setelah menjadi ormas terlarang di penghujung tahun lalu, dari sejumlah nama pengganti yang mencuat ke permukaan, Front Persatuan Islam menjadi yang paling resmi. Awal tahun 2021, FPI Reborn dideklarasikan, dan butuh lebih dari setengah tahun untuk menyusun AD/ART hingga hari ini mengemuka ke publik dengan struktur yang lengkap dan diklaim berbeda dari FPI lama. Benarkah FPI yang baru akan menyatukan aspirasi umat Islam?

Idealnya begitu. Sama halnya dengan Forum Umat Islam (FUI) dan PA 212, FPI Reborn diproyeksikan untuk menyatukan aspirasi politik keumatan—Muslim yang merasa tertindas oleh, dan teralienasi dari, politik kekuasaan. Bedanya mungkin di sepak terjang politik, yang pasti belajar dari pendahulunya yaitu FPI pimpinan Habib Rizieq Syihab. Namun demikian, ada sesuatu yang lain yang perlu kita curigai, dan di sini kita akan membahasnya.

Ketua Umum FPI Reborn adalah Ahmad Qurthubi Jaelani, mantan Imam FPI Banten. Sementara itu, mantan Ketua Umum FPI lama, Ahmad Shabri Lubis, yang kini mendekam di tahanan, diangkat menjadi penasihat. Dalam ART-nya, FPI Reborn memiliki sembilan visi-misi, di antaranya mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin, dengan tiga program utama yakni menjaga Islam dan Pancasila dari liberalisme, ateisme, komunisme, kapitalisme, hingga ekstremisme.

Lalu di mana letak potensinya memecah belah umat? Sampai ada bukti konkret, kita tentu tidak memiliki kesimpulan akhir bahwa FPI Reborn akan menciptakan konflik horizontal. Bahkan, jika melihat cita-cita ideal ART di atas, FPI yang baru ini akan bergerak dua kaki: menghalau komunisme dan ekstremisme, yang selama ini keduanya terkesan saling tuduh. Para ekstremis tidak jarang menuduh pihak lain sebagai komunis dan sebaliknya.

Potensi tersebut dari sematan garis besar haluan organisasi yang, faktanya, tidak berbeda dari FPI yang dulu. Revolusi akhlak, sebagai contoh, masih sama kuat narasinya dengan narasi anti-komunis, padahal keduanya hanya wacana belaka dan lebih merupakan manipulasi perlawanan belaka. Di samping itu, aktornya juga tidak banyak berubah. FPI Reborn tidak bisa menyangkal fakta bahwa sampai kapan pun, dengan wujud dan nama apa pun, FPI tetaplah FPI.

FPI Akan Selalu FPI

Anggota tim hukum Front Persaudaraan Islam Aziz Yanuar menyebut bahwa Front Persatuan Islam tidak memiliki korelasi secara langsung dengan Front Pembela Islam yang telah dibubarkan pemerintah. FPI yang baru, jelas Aziz yang juga merupakan pengacara Imam Besar FPI Habib Rizieq, didirikan sebagai bentuk kepatuhan warga negara untuk menghindari kegaduhan. “FPI ini tidak ada korelasi secara langsung dengan FPI. Ini adalah suatu hal berbeda,” ungkapnya.

Ungkapan Aziz tersebut secara jelas mengisyaratkan bahwa secara tidak langsung, FPI yang sekarang muncul dan pendahulunya cukup intens. Pendek kata, FPI akan selalu FPI. Penyangkalan hubungan secara langsung boleh jadi benar karena secara struktural, kepengurusannya merombak yang dulu—kendati menyisakan sejumlah petinggi FPI awal. Tetapi apa gunanya jika secara substansi dan orientasi gerakan masih memiliki keterkaitan?

Keterkaitan tersebut bisa ditinjau melalui dua sudut. Pertama, FPI yang sekarang maupun yang dulu tetap merupakan gerakan politik yang mengatasnamakan kepentingan umat—yang pada praktiknya lebih banyak bermuatan manipulasi ketimbang faktual. FPI Reborn memang berjanji menentang ekstremisme, tetapi itu bukan agenda utama. Musuhnya tetap sama: rezim ini yang dicap komunis. FPI lama maupun FPI baru tetap memainkan populisme Islam.

BACA JUGA  Menerima Hasil Pemilu 2024 sebagai Wujud Kedewasaan Berdemokrasi

Kedua, garis-garis besar FPI lama belum hilang, dan klaim pergantian identitas serta tidak adanya hubungan dengan FPI lama hanya dilakukan bukan dengan mengubah orientasi awal, melainkan menambah orientasi baru yang seolah-olah seragam dengan pemerintah. Misalnya, FPI baru akan memerangi ekstremisme agar terlihat sehaluan dengan pemerintah. Tanpa bermaksud menuduh, siapa pun akan mudah melihat: itu adalah upaya pengelabuan belaka.

Melalui dua sudut ini, hubungan secara tidak langsung FPI baru dengan FPI versi lama menjadi jelas. Tanpa menegasikan komitmennya memerangi ekstremisme, wajah lamanya sebagai kelompok ekstrem—suka sweeping, mencaci maki, mempersekusi, dll—sukar hilang. Terus terang saja, FPI akan selalu FPI. Tidak akan berubah. Tidak akan menyatukan umat kecuali demi tujuan yang sangat politis. FPI baru hanya tengah mengubah lapisan terluar dari imej garangnya.

Wajah Baru Demi Apa?

FPI Reborn, istilah yang sering disebut dalam tulisan ini, jelas bukan nama resmi. Istilah tersebut hanya agar mempermudah sebutan bahwa idealnya FPI baru berbeda dengan FPI lama dari segala aspek: susunan struktural, orientasi gerakan, dan cita-cita politiknya. Kalau tujuannya tetap untuk melakukan revolusi akhlak—istilah yang sangat politis dan stigmatis—bukankah artinya FPI yang baru tetap menginginkan NKRI Bersyariah seperti FPI lama?

Cita-cita politik tersebut meniscayakan satu hal, yaitu budaya sweeping terhadap segala sesuatu yang dianggap mencederai agama. Artinya, kultur awal Front Pembela Islam tetap lestari. Kata ‘pembela’ tidak dipakai karena berkonotasi kekerasan dan konfrontasi, namun bagaimana misalnya kata ‘persatuan’ justru jauh lebih buruk dan menjadi upaya konsolidasi kelompok tersebut atas pembelaan sepak terjang pergerakannya?

Kalau begitu demi apa FPI mengganti wajah baru, toh tetap mengedepan egoisme dan massa Muslim? Segenap pertanyaan ini, juga masih banyak lainnya, harus dijawab oleh FPI Reborn. Setelah Imam Besar Habib Rizieq Shihab mendekam di penjara, dan pengaruh politik populis menurun, tampaknya aktor-aktor politik tidak bisa menunggu Sang Imam bebas, lalu mereka mendirikan organisasi baru dengan mengais sisa-sisa militansi pendahulunya.

Jika hal itu benar, maka FPI Reborn adalah residu kekuatan politik yang putus asa dengan narasi keislaman. Meskipun namanya memakai istilah ‘persatuan Islam’, sejatinya ia adalah ‘persatuan politik kalangan sakit hati’. Masalahnya adalah, ART-nya benar-benar bisa mengelabui para simpatisan. Di Banten, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim dan Madura, FPI baru sudah dideklarasikan. Simpatisannya benar-benar banyak dan tampil percaya diri.

Setelah sekian lama hidup tanpa FPI dan umat Islam tidak terpecah, untuk apa bikin forum persatuan jika bukan karena kepentingan politik terselubung yang mencari aman di bawah legalitas konstitusi? Ini butuh uraian lanjutan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru