30.1 C
Jakarta

FPI dan Laskar “Hidup Mulia atau Mati Syahid” yang Naif

Artikel Trending

Milenial IslamFPI dan Laskar “Hidup Mulia atau Mati Syahid” yang Naif
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ribuan Laskar Pembela Islam (LPI) berbaris, menjadi pengaman, pengawal, saat Imam Besar FPI Muhammad Rizieq Syihab tiba di Indonesia beberapa waktu lalu. Di lain hari, jumlah yang tidak kalah sedikit juga arak-arakan merespons ditahannya Imam Besar mereka. Situasi memanas. Para laskar juga pernah menghadang polisi di Petamburan. Kenapa FPI harus bembentuk laskar dan apa maksud jargon “Hidup Mulia atau Mati Syahid” di punggung seragam mereka?

Penting untuk dicatat, saya pernah menjadi bagian dari laskar. Tidak perlu saya jelaskan kapan dan di mana. Tidak perlu juga saya bocorkan laskar apa. Yang jelas, misinya sama. Jaket bertuliskan “Hidup Mulia atau Mati Syahid” juga saya punya. Saya juga pernah dikomando untuk menghadapi ‘sesuatu yang dianggap musuh’ menggunakan seragam tersebut. Jadi apa yang para laskar FPI lakukan itu, bagi saya, bukan sesuatu yang baru—apalagi istimewa. Sebab saya pernah menjadi bagian darinya.

Ketika di Twitter tagar #BubarkanFPITerorisLokal sudah mendapat dua belas ribu cuitan lebih, saya yakin itu karena ulah para laskar di FPI. Premanisme dan barbarisme FPI telah saya ulas pada tulisan sebelumnya, semuanya bermuara pada track record mereka sebagai—meminjam bahasa Gus Dur—ormas bajingan; mengandalkan kekerasan dalam menyikapi permasalahan. Tewasnya enam laskar FPI di KM50 Tol Cikampek, yang mereka anggap syuhada, berkelindan dengan doktrin FPI itu sendiri.

FPI dan laskarnya, hari-hari ini, tengah bersitegang dengan pemerintah. Gesekan tersebut akan berlangsung selama kematian enam laskar belum menemui titik terang dan polisi mendapat balasan setimpal, juga selama Imam Besar mereka mendekam di penjara. Aksi demonstrasi perdana telah mereka gelar pada Jum’at (18/12) lalu. Mereka menunggu instruksi seolah tidak takut mati. Karena kalau mati, imbalannya tinggi: akan mengklaim diri sebagai syahid yang mati memperjuangkan Islam.

Kenaifan penafsiran, lalu pengamalan, terhadap jargon tersebut yang akan saya ulas di sini. Jargon tersebut tidak buruk. Tetapi bagaimana laskar FPI mengamalkannya menjadi prinsip pergerakan mereka, itu adalah sesuatu yang naif, keliru—tidak esensial.

Esensi Hidup Mulia atau Mati Syahid

Jargon “Hidup Mulia atau Mati Syahid” sejatinya merupakan terjemahan dari kata-kata yang masyhur, dalam bahasa Arab, yakni “‘Isy karîmân aw mut syahîdân”. Saya menelusuri apakah itu hadis atau bukan. Ternyata itu mirip dengan redaksi salah satu riwayat Nabi, tetapi sama sekali tidak semakna dengan yang FPI pahami. Bahkan, riwayat tersebut dianggap hadis munkar, sebab perawinya lemah, terputus, dan kontradiktif.

Akan tetapi, sebagai kata-kata yang sudah dijadikan prinsip hidup, salah satunya oleh laskar FPI, menafsirkannya menjadi sesuatu yang krusial, sehingga dengan demikian bisa dipahami kenapa mereka suka sekali dengan yang namanya kegaduhan. Nabi Muhammad Saw dan para sahabat memang hidup untuk menegakkan Islam, mulia dalam kebenaran atau syahid dalam peperangan. Tetapi, dalam konteks yang berbeda hari ini, apakah kita akan menempuh kemuliaan dengan menebar perang—kegaduhan?

BACA JUGA  Di Tengah Gusarnya Politik, Ada Teroris Bermain Pendanaan dan Intrik

“Hidup Mulia” yang laskar FPI yakini, jelas berkonotasi pada keinginan untuk mensupremasi Islam dalam segla aspek. Sejauh ini tujuannya mulia. Tetapi ketika dibulatkan menjadi agenda, NKRI Bersyariah misalnya, sementara konsensus kebangsaan kita adalah kesetaraan tanpa menonjolkan satu identitas, termasuk Islam, maka itu sudah tidak mulia lagi. NKRI bukan negara agama. Hidup mulia dalam NKRI pun ialah persatuan, kerukunan, dan keadilan, tidak lagi nafsu islamisme belaka.

Akibatnya, “Mati Syahid” itu tidak mudah. Aparat pemerintah bukan orang kafir, dan berperang di negeri ini tidak sama dengan ketika Nabi berperang melawan musuh di masanya. Karenanya, sangat naif jika laskar FPI sok menjadi yang paling bersyariah lalu bercita-cita memerangi segala yang dianggap musuh di NKRI. Kekufuran boleh jadi ada, karena itu laku individual, tetapi keliru jika mengecap NKRI sebagai negara kafir. Di negeri ini tidak ada warga musuh, justru musuhnya ialah perpecahan.

Yang Harus Laskar FPI Sadari

Laskar FPI harus menyadari itu. Mau sampai kapan menentang pemimpin (uli al-amr) yang dianggap zalim lantaran tidak sejalan dengan peta politik mereka sendiri? Apakah prinsip “Hidup Mulia atau Mati Syahid” akan terus dikonotasikan sebagai peperangan dan tebar kegaduhan? Mengapa nafsu sekali berkuasa hingga mengesampingkan perintah Allah tentang persatuan, keadilan, kesetaraan, musyawarah, dan kedamaian? Sampai kapan berlaku naif dengan jargon tersebut?

Hidup mulia di NKRI adalah bersatu, gotong royong menuju kesejahteraan bangsa. Syahid di NKRI ialah apabila gugur dalam menebarkan misi kemanusiaan, bukan karena gugur akibat anarkisme sendiri. Jika ada laskar FPI yang frontal, berlaku bak preman, lalu gugur, lalu dianggap syahid, itu jelas adalah kenaifan. Tidak gampang untuk menjadi syahid, apalagi melabelkannya kepada orang yang laku hariannya suka menciptakan perpecahan dan kegaduhan antarwarga Negara.

Sudah waktunya semua pihak introspeksi diri. Saya rasa, tidak boleh ada yang merasa paling berislam dan melabeli lainnya sebagai yang dekat kezaliman-kekafiran. Jargon “Hidup Mulia atau Mati Syahid” harus ditafsirkan dengan benar, yakni yang berorientasi pada peneguhan persatuan bangsa, bukan perpecahan sesama. Saya yakin, pemerintah dan aparat tidak zalim dan rela membunuh, kecuali itu mendesak dilakukan; menghindari mudarat yang lebih besar. Yang terpenting laskar FPI sadari ialah, mereka bukan pemegang kebenaran tunggal. Egoisme itu harus dibuang agar tidak suka membuat kegaduhan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru