Ayo ayo ganyang Fufufafa, ganyang Fufufafa sekarang juga / Semua / Ayo ayo ganyang Fufufafa, ganyang Fufufafa sekarang juga
Harakatuna.com – Tidak asing dengan yel-yel tersebut? Penciptanya adalah eks-Imam Besar FPI, Habib Rizieq Syihab. Ia menyanyikan lagu tersebut dalam suatu ceramah dan diikuti oleh seluruh jemaahnya. Senin (4/11) kemarin, sejumlah massa FPI menggelar aksi yang menuntut penangkapan eks-Presiden RI, Jokowi, dan Wapres RI Gibran RR yang mereka sebut Fufufafa. Dalam aksi itu, foto Jokowi dan Gibran terpampang jelas.
Sepekan sebelumnya, Ahad (27/10), sekitar tiga ratus pemuda dan aktivis mahasiswa menghadiri gelaran Temu Muslimah Muda 2024 bertajuk “The Next Level Activism: We Aspire, We Engage, & We Stand for Islam Kaffah” di Kota Palembang. Agenda itu merupakan bagian dari Temu Muslimah Muda 2024 yang diselenggarakan serentak secara hybrid dari berbagai penjuru, yang diikuti 17 ribu pemuda dan aktivis Muslim tanah air.
Apa yang bisa dipahami dari kedua berita tersebut? Jawabannya: kebangkitan FPI dan HTI.
FPI sudah lama dibubarkan, dan itu terjadi saat Jokowi memerintah. Ada kejengkelan besar FPI kepada Jokowi, sampai kapan pun. Ketika mereka melihat peluang karena Jokowi sudah tidak berkuasa, mereka bermaksud memainkan politik populis lagi melalui aksi-aksi seperti kemarin. Tujuannya, agar masyarakat terprovokasi dan berbondong-bondong menuntut pemerintahan Prabowo mengadili Jokowi. Jelas, bukan?
Begitu pula dengan HTI. Mereka juga dibubarkan oleh Jokowi melalui Perppu Ormas, pada 2017 silam. Hari ini ketika Jokowi tidak lagi memerintah, HTI merasa melihat ada peluang untuk bangkit kembali. Narasi mereka tetap tentang khilafah. Sekalipun embel-embel HTI tidak lagi dimunculkan, tapi substansi propagandanya terpampang jelas. Islam kaffah. Apa itu Islam kaffah yang dimaksud? Tidak lain adalah tegaknya khilafah di Indonesia.
FPI dan HTI Bangkit Lagi!
Tidak ada yang mampu menyangkal bahwa FPI dan HTI saat ini kembali bangkit. Transisi pemerintahan, bagi FPI-HTI, merupakan kesempatan untuk kembali tampil, menyuarakan agenda lama dengan propaganda baru. Bagi keduanya, ketiadaan Jokowi sebagai presiden menjadi titik balik melakukan ideologisasi, yang notabene kontradiktif dengan sistem pemerintahan yang ada. FPI ingin NKRI Bersyariah, HTI ingin Khilafah Tahririyah.
FPI, dengan coraknya yang populis dan kadang-kadang anarkis, berusaha menyuarakan kritik tajam terhadap pemerintah—Fufufafa. Aksi 411 kemarin menyiratkan tujuan politis bahwa mereka masih eksis dan tetap memegang pengaruh di masyarakat. Strategi populis tersebut bertujuan untuk membangun persepsi bahwa FPI masih relevan dan mampu menjadi suara rakyat di tengah dinamika sosial-politik tanah air.
Pada saat yang sama, HTI mencoba bangkit kembali melalui narasi Islam kaffah, penerapan Islam holistis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara—tidak lain dengan cara mendirikan khilafah. Inspire yang mereka maksud adalah mempropagandakan khilafah; engange adalah bersatu-padu menyuarakan khilafah; dan stand for Islam kaffah yang mereka maksud adalah melakukan apa pun demi tegaknya khilafah di Indonesia. Bahaya!
The next level activism, demikian tajuk HTI dalam acara kemarin. Maksudnya, HTI hendak mengumumkan bahwa kini saatnya menyatukan tekad lagi untuk menegakkan khilafah dengan aktivisme baru, yang lebih solid, lebih propagandis, dan lebih militan daripada sebelumnya. Dunia maya adalah bukti konkret aktivisme baru HTI tersebut, di mana konten mereka mudah sekali dijumpai di website, YouTube, dan berbagai platform medsos.
Bangkitnya FPI dan HTI itu fakta, dan kalau dibiarkan maka konsekuensinya besar. Ancaman yang muncul tidak saja berupa ideologi radikal yang mereka tawarkan, tetapi perpecahan jika semakin banyak masyarakat yang terpengaruh. Karena itu, respons yang tepat tidak hanya berorientasi hukum, tetapi juga melibatkan pendidikan dan literasi, khususnya bagi generasi muda, agar tidak terjerat FPI-HTI dan justru ber-ghirah untuk mengganyang mereka.
Mengganyang Propaganda FPI-HTI
Jika FPI begitu gencar dengan narasi ‘ganyang Fufufafa’, bagaimana jika semangat tersebut dibalikkan dengan mengganyang propaganda mereka sendiri? Tentu saja di sini ‘mengganyang’ tidak dalam arti kekerasan fisik, tetapi melalui cara yang lebih efektif: melawan narasi mereka dengan pengetahuan, kesadaran kritis, dan dukungan terhadap prinsip kebhinekaan yang menjadi landasan bangsa.
Pertama, mengganyang propaganda FPI-HTI lewat figur-figur lokal yang berpengaruh di daerah untuk membuat konten kontra-narasi berdasarkan lokalitas. Konten medsos dengan bahasa atau logat lokal khas akan lebih diterima oleh pendengar dibandingkan narasi dari figur nasional yang kadang terasa jauh bagi masyarakat. Namun ini perlu kesediaan masyarakat, sebab banyak yang tidak mau bergerak kalau tidak dibiayai.
Kedua, alih-alih fokus pada narasi kontra-radikalisme, coba buka ruang diskusi terbuka. Pandangan kelompok pro-khilafah bisa diuji secara intelektual dalam framework keislaman-kebangsaan sesuai konteks Indonesia. Acaranya dapat disiarkan di YouTube atau TikTok, dan dikemas sebagai debat terbuka yang demokratis. Masyarakat dibiarkan melihat kelemahan argumen khilafah HTI dan populisme FPI. Penting dicatat, Gen Z tidak terlalu suka didikte.
Ketiga, coba kontraskan propanda FPI-HTI itu dengan seni populer yang menyentil namun konstruktif. Misalnya, pementasan teater modern, komik, atau film pendek yang mengangkat kisah-kisah tokoh masyarakat yang tetap memegang teguh Pancasila meski terus dicekoki propaganda khilafah. Jika HTI melakukan khilafahisasi dengan teknik kamuflase seminar, mengapa hal yang sama tak diterapkan untuk melawannya?
Keempat, coba inisiasi program Q&A Islam progresif-moderat di berbagai masjid setiap pekan, di seluruh pelosok negeri. Jemaah bisa mengajukan pertanyaan terkait isu-isu yang sering dimanfaatkan FPI dan HTI, seperti khilafah, jihad, dan Islam kaffah. Ustaz yang menjawab mesti moderat, sehingga bisa langsung mengoreksi salah kaprah yang beredar di masyarakat seperti narasi bahwa Islam bertentangan dengan nasionalisme.
Kelima, konsepkan sebuah program kepemudaan yang orientasinya menjadi katalisator moderatisasi di tanah air. Sebagai contoh, program “Sahabat Milenial Kebangsaan” untuk mengonter narasi FPI dan HTI. Prospek programnya ialah narasi diskursif yang mengimbangi narasi FPI-HTI dengan data, sejarah, dan ajaran yang benar. Atau juga program “Sejarah Berbicara”, yang menyuguhkan track-record dan histori FPI-HTI itu sendiri.
Selain itu, masih banyak yang lainnya untuk diupayakan untuk mengganyang FPI dan HTI di tengah kebangkitan mereka kembali. Namun, pertanyaan krusial ihwal FPI dan HTI yang lahir kembali itu adalah: akankah pemerintahan Prabowo bertekad memusnahkannya? Harapan tentang hal itu disebabkan satu fakta, bahwa represi atas FPI-HTI setiap rezim tidak sama. Jika Prabowo tidak bertekad, maka kelahiran kembali FPI-HTI akan berjalan mulus.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…