Harakatuna.com – Fikih peradaban yang digagas oleh Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf yang telah diselenggarakan pada momentum puncak 1 abad Nahdlatul Ulama (NU), beberapa bulan lalu, menjadi landasan dalam merawat NKRI dan pola hubungan antarmasyarakat yang beda agama.
Event tersebut dilatarbelakangi oleh kegelisahan terhadap produk fikih yang dirasa telah usang dalam konteks dunia modern ini. Misalnya, berkaitan dengan pola hubungan internasional yang diwakili oleh PBB yang legitimate dan sah dalam menetapkan kebijakan, karena bedasarkan pada konsensus negara-negara dunia.
Namun, pada realitanya masih banyak terjadi pelanggaran bahkan konflik yang berkepanjangaan terus terjadi di beberapa negara seperti konflik antara Israel dan Palestina, Rusia-Ukraina dan beberapa kasus lain yang berdampak terhadap tatanan dunia global.
Di sisi lain, banyak bermunculan kelompok-kelompok ekstremisme yang mengatasnamakan agama dengan dalih jihad membela agama semakin menjamur di beberapa negara Timur Tengah.
Misal, penembakan terhadap jemaah yang salat di masjid, pembunuhan dokter dan perawat klinik aborsi, membunuh penguasa, bahkan mengulingkan negara yang berdaulat serta pembunuhan dan aksi pengeboman yang dipelopori oleh beberapa Islam fundamentalis al-Qaeda, ISIS, Abu Sayyaf dengan menjadikan non-muslim sebagai musuh yang harus diperangi dan dibinasakan (Damayanti, Aksi Kekerasan, 2018).
Kasus serupa juga terjadi di Indonesia, Datasemen khusus (Densus) 88 Anti Teror seperti yang diwartakan oleh Harian Kompas, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menyebutkan ada 26 terduga teroris berasal dari jaringan Jama’ah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Islamiyah (JI) diiringi dengan penangkapan di lima lokasi yang berbeda dan yang terbaru adalah penangkapan mahasiswa Universitas Brawijaya Malang menjadi simpatisan ISIS.
Beberapa peristiwa diatas dilatar belakangi oleh pemahaman keagamaan yang masuk dalam kajian fikih. Oleh sebab itu, rekontruksi fikih yang dilakukan oleh Ketum PBNU yang disampaikan dalam puncak 1 abad di Sidoarjo perlu kiranya diinternalisasikan di kalangan mahasisiwa.
Isi atau hasil dari muktamar fikih perdaban tersebut ialah; menolak sistem khilafah, mewujudkan kemaslahatan umat Islam sedunia dengan memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia, dan menerima piagam PBB walaupun tidak sempurna karena tujuanya terbentuknya untuk mengakhiri perang dan praktik-praktik biadab yang jauh dari etika kemanusiaan.
Oleh sebab itu, perguruan tinggi yang sering diasosiasikan dengan pola pendidikan yang memberikan kebebasan diungkapkan oleh Paulo Freire dalam bukunya “Pendidikan Yang Membebaskan” dicirikan dengan kebebasan berfikir dan objektif dalam memandang suatu persoalan.
Untuk itu, gagasan fikih peradaban yang diinisiasi oleh Nahdlatul Ulama (NU) patut dijadikan sebagai langkah preventif dengan prinsip keterbukaan perlu diinternalisasaikan di lingkungan intelektual kaum muda di beberapa perguruan tinggi.
Idealitas Perguruan Tinggi dalam Kontra-Radikalisme
Membicarakan idealitas perguran tinggi, penulis ingin merefleksikan moment 1902 sebagai tonggak awal perguruan tinggi yang dibentuk dengan nama school tot opleiding van inlandsche artsen yang kemudian disahkan pada tahun 1927 dengan tujuan sebagai sarana pengajaran, penelitian dan pengabdian dengan project utamanya adalah mengatasi penyakit cacar yang sedang mewabah. (Indhie, Sejarah Perguruan Tinggi, 2023)
Lahirnya perguruan tinggi tersebut menginisiasi munculnya beberapa perguruan tinggi lainnya. Seperti, Sekolah Tinggi Pertanian Bandung pada tahun 1941 yang saat ini bernama Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM) 1946 dan beberapa perguruan tinggi Islam yang diinisiasi oleh Hatta dan Moh. Natsir dan mengalami perkembangan pesat, bahkan saat ini jumlahnya mencapai 3.107 unit.
Dengan iklim akademik yang sehat sangatlah tepat ketika fikih peradaban dengan nilai-yang kontekstual yang bertujuan merawat keberagaman demi terciptanya harmonisasi antar antar sesama umat manusia. Apalagi dunia kampus dengan tanggung jawab pengemban amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi berupa Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat.
Di pihak lain, kontra-radikalisme dan ekstremisme melalui dialektika dan internalisasi fikih peradaban di perguruan tinggi sangatlah tepat, mengingat perguruaan tinggi menjadi lembaga pendidikan yang paling ideal, karena dihuni oleh kaum muda yang progrevis dengan pemikiran yang fress.
Hal tersebut sejalan dengan gagasan J. Piaget dalam bukunya Suparno berjudul “Filsafat Kontruktivisme Dalam Pendidikan” bahwa pengetahuan yang diperoleh siswa bukanlah tiruan dan hasil transfer dari guru semata. Namun merupakan konstruksi yang berasal dari hasil dialogis dan partisipasi aktif siswa atas realita yang ada.
Oleh karenanya, internalisas nilai-nilai fikih peradaban tentang relasi agama dan negara sangatlah penting untuk dibangun di ruang-ruang akademik terutama di perguruan tinggi Indonesia.
Seiring dengan pergulatan pemikiran yang dinamis dan keberagaman berpikir yang menjadi ciri khas kaum intelektual muda, nilai-nilai fikih peradaban sebagai hasil dari dialektika dan kajian para ulama kontemporer penting untuk ditanamkan kepada mahasiswa dalam rangka menstrerilkan aksi radikalisme dan penyalahgunaan simbol-simbol agama di perguruan tinggi.