26.2 C
Jakarta

Fikih Pandemi: Ketika Ibadah Beradaptasi

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuFikih Pandemi: Ketika Ibadah Beradaptasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Fikih Pandemi; Ibadah di Masa Wabah. Penulis: Faried S. Saenong, Saifuddin Zuhri, Hamka Hasan, dkk. Penerbit: NUO Publishing. Cetakan: April 2020. Tebal: xvi + 182 halaman. ISBN: 978-602-14770-2-1. Peresensi: Muhammad Izul Ridho.

Kalangan awam dan berilmu menanggapi suatu masalah memiliki kecenderungan berbeda. Kalangan awam cenderung menghakimi, memandang negatif pada suatu permasalahan yang terjadi serta menunggu, tanpa berpikir untuk lebih produktif.

Berbeda dengan kalangan berilmu terlebih yang telah faqih fi zamanihi, memahami feleksibilitas hukum sesuai dengan zamannya.  Seperti Faried F. S. dkk yang telah menyusun buku Fikih Pandemi: Beribadah di Masa Wabah,  suatu karya yang benar-benar dibutuhkan sebagai panduan oleh masyarakat dalam melaksanakan ibadah terlebih saat Ramadhan di masa pandemik COVID-19.

Jika kita lebih memahami karakter dari virus ini yang sangat mudah menyebar di kerumunan orang banyak. Maka kita akan sadar bahwa sifat dan sikap baik serta ketaatan dan rajin beribadah bukan jaminan dapat terhindar dari virus mematikan ini [hlm. 3].

Sebab COVID-19 juga dimungkinkan menjangkiti orang-orang yang berkumpul di tempat-tempat peribadatan. Sehingga tidak heran jika pada Ramadhan tahun ini 1441 H/2020 M, kita beribadah dengan cara yang sedikit berbeda dari Ramadhan yang lalu. Jika di setiap Ramadhan biasanya kita, masyarakat Indonesia memiliki berbagai rutinitas dan rangkaian kegiatan ibadah yang dilakukan secara berkelompok, misalnya berbuka bersama, salat tarawih berjamaah, iktikaf, dan berbagai kegiatan lainnya.

Maka atas dasar fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan beberapa ormas semisal NU dan Muhammadiyah untuk meniadakan beberapa jenis kegiatan berkolompok di atas pada Ramadhan tahun ini, dalam rangka mencegah dan memutus penyebaran COVID-19. Fatwa yang telah diamini oleh pemerintah dengan himbauan dan peraturannya untuk tidak melakukan kegiatan ibadah tarawih, ied dan ibadah lainnya di masjid secara berjamaah, namun melaksanakannya di rumah masing-masing.

Fatwa dari MUI dan himbauan dari pemerintah ini sulit diterima oleh masyarakat awam secara penuh jika tidak diimbangi proses edukasi dari para cendekiawan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat di bawah. Semisal para ustaz langgar, takmir masjid, guru ngaji dan remaja masjid. Proses edukasi ini terasa lebih mudah dengan terbitnya buku Fikih Pandemi karya Faried F. S.  dkk.

Dalam kata pengantarnya, Prof. Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa beragam isu ibadah mahdhah dan ghayru mahdhah, ritual-ritual agama dan sosial, yang melibatkan dan mengumpulkan banyak orang dan dicurigai akan menjadi pusat penyebaran Covid-19 telah ter-cover dalam buku tersebut.

BACA JUGA  Keterlibatan Perempuan dalam Kejahatan Terorisme

Misalnya mengenai pelaksanaan taraweh di masjid secara berjamaah. Pelaksanaan taraweh dilaksanakan pertama kali atas instruksi dari Khalifah Umar Ibn Khattab, sebab ia melihat pelaksanaannya di masjid kala itu menjadi kurang elok ketika masyarakat melaksanakannya sendiri-sendiri.

Hukum dari melaksanakan solat tarawih sendiri sunnah muakkadah yaitu ibadah sunnah yang jarang ditinggalkan oleh Nabi. Nabi hampir intens dalam melaksanakannya, namun kala itu Nabi melaksanakan ibadah solat tarawih di masjid dan diikuti oleh para sahabat hanya sekitar tiga sampai empat kali, Nabi kebanyakan melaksanakan ibadah salat tarawih di rumah.

Selain tarawih, iktikaf juga merupakan rutinitas penting saat Ramadhan, terlebih pada sepertiga akhir dari bulan Ramadhan. Sebab ritual ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah guna mendapatkan malam lailah al-qadar. Pada Ramadhan ini terpaksa ritual ini tidak dapat dilakukan, sebab ritual ini harus dilakukan di masjid.

Akan tetapi jika ingin mendapatkan manfaat iktikaf, maka kita bisa mengondisikan rumah seolah-olah tempat iktikaf. Dengan muhasabah, bertafakkur atas dosa-dosa, berzikir, banyak membaca al-Qur’an di rumah bisa bermanfaat seperti iktikaf karena itu juga akan mendatangkan penyucian diri atau tazkiyah al-nafs [hlm. 42. Ritual seperti ini banyak dilakukan oleh para sufi semisal Rabiah Adawiyah dan Hasan al-Basri.

Namun meskipun dalam suasana dengan interaksi sosial yang terbatas karena harus tinggal dan bekerja dari rumah (stay and work from home) seorang Muslim harus tetap produktif dan memiliki etos kerja yang didasarkan pada keimanan yang kokoh (mabniyun ala al-iman), berlandaskan pada pemikiran atau kesadaran yang baik (mabniyun ala al-fikr), serta memiliki tujuan yang jelas (min ajli ghayatin muayyanah) yaitu terciptanya kemaslahatan di bumi. Sehingga kinerja dan produktivitas yang dihasilkan tidak menimbulkan kerusakan pada alam dan bumi.

 

Muhammad Izul Ridho, S.Ag, Mengajar di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru