Harakatuna.com – Tagar #SquadPenjagalKM50 trending di Twitter hari ini. Lebih dari lima ribu cuitan menyorot sejumlah oknum polisi yang dianggap sebagai aktor tewasnya para laskar FPI pada akhir 2020 lalu. Mereka, para polisi yang disorot warganet, dilabeli sebagai polisi penjagal. Akun @opposite6890 bahkan ikut menghubungkan peristiwa KM50 dan rahasia-rahasia di baliknya, yang dianggap memiliki skenario serupa dengan kasus yang saat ini santer dibicarakan publik: penembakan Brigadir J.
Sebenarnya, kasus Brigadir J sudah berselang sebulan. Ferdy Sambo juga sudah dicopot dari jabatannya sebagai Kadiv Propam Polri pada Senin (18/7) lalu. Dua hari berikutnya, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo juga menonaktifkan Karo Paminal Divpropam, Brigjen Hendra Kurniawan dan Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Budhi Herdi. Saat ini juga, Ferdy Sambo telah ditahan di Mako Brimob karena diduga menghilangkan CCTV dan merusak alat bukti di TKP.
Ada dua peristiwa yang disorot publik, yang jika itu tidak diselesaikan secara profesional, maka kasus Brigadir J ini akan menjadi ujung tanduk integritas Polri di mata masyarakat. Pertama, kasus Brigadir J sendiri. Ini karena dianggap terlalu dramatis; polisi dinilai lamban menangani kasus yang sebenarnya tidak sulit hanya karena Sambo adalah elite Polri. Kedua, kasus KM50 yang ditengarai diaktori Sambo cs, salah satunya prajurit bertato yang kemarin mengantarkan Sambo ke Mako.
Dua sorotan tersebut menggeliat karena suatu cita: mencari kebenaran. Pada saat yang sama, Polri juga harus menjaga integritasnya di mata masyarakat. Presiden Jokowi juga sudah meminta kepolisian menuntaskan kasus Brigadir J demi marwah Polri itu sendiri. Di sini hendak menjelaskan satu hal, yaitu bahwa keramaian warganet soal Ferdy Sambo dan KM50 ternyata tidak mempertaruhkan integritas polisi, melainkan integritas kontra-terorisme. Mengapa demikian? Ini penting dijawab.
Kasus Sang Jenderal
Penting untuk dicatat, satu-satunya alasan mengapa KM50 selalu menggeliat dan jadi ancaman bagi kepolisian adalah karena kasus tersebut ditutup dengan dibebaskannya tersangka. Harus diakui, keputusan semacam itu akan melahirkan amarah yang dalam: bagaimana bisa kasus sebesar KM50 bisa berakhir dengan membiarkan tersangka bebas? Maka sampai kapan pun, KM50 akan menghantui negara, dan secara spesifik akan menguliti kepolisian di setiap kinerjanya.
Ferdy Sambo sendiri pernah menangani lima kasus besar, yaitu:
- Insiden bentrok FPI dan Polri di Jalan Tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020 yang menyebabkan 6 orang laskar FPI tewas
- Kasus kebakaran Gedung Kejaksaan Agung (2020), polisi menetapkan 8 tersangka
- Penangkapan dan pengungkapan kasus Surat Palsu DPO Djoko Tjandra (2020), sebelumnya ditangani Irjen Ignatius Sigit Widiatmono
- Bom Sarinah Thamrin (2016), sebelumnya ditangaani Irjen Ignatius Sigit Widiatmono
- Kasus kopi mengandung racun sianida (2016)
Ferdy Sambo, yang waktu itu Kepala Divisi Propam, menunjuk Brigjen Hendra Kurniawan sebagai pimpinan Tim Khusus Pencari Fakta dalam kasus KM50, dengan beranggotakan 30 aparat. Setelah investigasi selesai, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menetapkan dua tersangka, yaitu Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorella. Selain karena investigasi yang lama, tim pencari fakta juga diprotes karena apa yang terjadi pada kasus tersebut setelahnya.
Jadi, PN Jakarta Selatan memvonis bebas dua terdakwa KM50 karena alasan pembenaran dan pemaafan merujuk pleidoi kuasa hukum, meskipun keduanya terbukti bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan secara bersama-sama, hingga membuat 6 laskar tewas sebagaimana dakwaan primer. Publik pun tidak puas, dan tim pencari fakta yang dipimpin Brigjen Hendra dianggap tidak profesional. Karena Ferdy Sambo yang menunjukkan, ia pun juga kena getahnya.
Kasus sang jenderal tersebut yang sampai saat ini disorot warganet. Apalagi dalam konteks kasus Brigadir J, keterangan polisi dari awal dianggap janggal. Nasib Polri pun babak belur dihajar warganet. Karenanya, satu-satunya cara meredam semua itu ialah menuntaskan kasus Brigadir J secara adil. Jika investigasi pada akhirnya menjadikan sang jenderal sebagai tersangka, maka Polri harus menindaknya secara profesional. Sehingga KM50 tidak punya alasan lagi untuk mencuat ke permukaan.
Dampaknya Bagi Kontra-Terorisme
Tentu saja, integritas Polri harus didahulukan daripada nama baik Ferdy Sambo. Dalam satu perspektif, itu karena Polri memegang peran penting dalam kebijakan nasional, di antaranya kontra-terorisme. Densus 88 adalah personifikasi Polri, sebagaimana juga banyak petinggi BNPT berasal dari kepolisian. Keduanya, yang jadi pion kontra-terorisme, harus menjaga diri agar dipercaya masyarakat. Namun itu tidak akan terjadi jika integritas Polri tidak ada.
Integritas tadi bertumpu pada keadilan di mata hukum. Siapa pun yang bersalah, aparat harus menanganinya secara profesional, sekalipun harus menjerat sahabatnya sendiri. Tidak ada pengistimewaan personal, sebab warganet akan berspekulasi yang menggeneralisasi apakah Polri bisa dipercaya atau tidak. Karenanya, tindakan Kapolri kemarin untuk menyangsi dhsdhskjsks adalah keputusan yang tepat dan profesional.
Integritas Polri dan kontra-terorisme benar-benar ada di ujung tanduk. Salah sedikit dalam menangani kasus Brigadir J, maka masyarakat tidak akan lagi percaya kepolisian dan seluruh program mereka. Kontra-terorisme, sebagai salah satu program unggulan, akan dianggap sebagai sesuatu yang diskriminatif—karena tindakan polisi hanya tajam pada rakyat namun tumpul pada sesama polisi. Peristiwa KM50 juga akan terus diangkat sebagai provokasi.
Jadi, pilih mana, menyelamatkan Ferdy Sambo atau Polri? Jawabannya jelas: Polri. Kasus Brigadir J harus terungkap kebenarannya dan keadilan hukum harus tegak. Hanya dengan begitu, integritas Polri tidak akan jatuh di mata masyarakat. Dan jika masyarakat menaruh kepercayaan pada polisi, maka provokasi KM50 tidak akan laku lagi. Tidak hanya itu, kontra-terorisme akan efektif dan aparat tidak lagi akan dituduh mendiskreditkan Islam. Bukankah itu yang seharusnya diperjuangkan?
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…