27.2 C
Jakarta

Fenomena Ustaz Gondrong, Belajar untuk Tidak Melihat Orang dari Pakaiannya

Artikel Trending

Asas-asas IslamAkhlakFenomena Ustaz Gondrong, Belajar untuk Tidak Melihat Orang dari Pakaiannya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sosok yang digadang-gadang mampu menggandakan uang ternyata merupakan seorang memiliki gaya berpakaian bak Kyai besar. Adalah Hermawan nama aslinya, saat ini ia telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penipuan tersebut. Selain itu, ia juga ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan persetubuhan anak di bawah umur.

Profesi yang dilakoni pria asal Bekasi ini bermacam-macam, mulai dari jualan barang antik hingga tukang pijatpun ia lakukan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai dukun yang mengobati pasien yang sakit dengan gaya mistis, jampi-jampi, pelet dan hal lainnya yang bersifat mistis.

Banyak orang yang tidak mengetahui nama aslinya, termasuk tetangga dan pasien yang datang untuk berobat kepadanya. Karena ia memiliki rambut panjang terurai, mereka lebih suka menyebutnya si Gondrong atau Ustaz Gondrong.
Perihal titel keustazannya, hal ini disebabkan Hermawan yang selalu menggunakan peci lengkap dengan baju kokonya, baik saat mengobati pasien, maupun dalam aktivitas kesehariannya. Suatu ketika, ia sengaja memerintahkan seseorang untuk memvidiokan aksinya dalam menggandakan uang. Hal ini dimaksudkan agar aksinya tersebut menjadi viral.

Tujuan lebih jauhnya atas viralnya video tersebut adalah agar apa yang ia promosikan selama ini dapat digandrungi masyarakat. Benar saja, dalam satu dua minggu setelah video tersebut viral, sedikitnya 200 pasien dalam sehari mendatangi tempat praktik di kediamannya yang selalu berpindah dalam 20 tahun masa kerjanya ini.

Terkait dengan kasus dugaan persetubuhan anak di bawah umur, sebenarnya hal tersebut terjadi di tahun 2017. Saat itu, orang tua korban terpaksa menyetujui permintaan Ustaz Gondrong untuk menikahi anaknya yang berusia di bawah 15 tahun. Yang bersangkutan merasa takut apabila keinginan Ustaz Gondrong tidak dipenuhi, maka nyawanya terancam.

Fenomena ini mengingatkan saya pada salah satu pepatah yang sangat masyhur, don’t judge a book by its cover, jangan menilai buku dari sampulnya. Pepatah ini sejatinya berbicara soal pristise. Kita tentu tahu, bagus atau tidaknya suatu buku sama sekali tidak ada kaitannya dengan sampul buku tersebut. Agar kita mengetahuinya, maka kita harus membuka dan membacanya.

BACA JUGA  Mengenal Tiga Jenis Bullying Dalam Al-Quran

Demikian pula dengan manusia. Untuk melihat integritas kepribadiannya, yang harus dilakukan adalah mengamatinya lebih jauh. Melihat bagaimana cara dia berpakaian tentu tidak akan menghasilkan apa-apa. Kalaupun ada, maka hasil itu adalah pikatan, muslihat yang sifatnya tak definit.

Fenomena Ustaz Gondrong ini mengingatkan kita pada kondisi sosio-antroplogis bangsa Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja. Standarisasi agamis dan titel ustaz sudah merosot jauh ke dalam tingkatan paling bawah. Kalau dulu, seseorang bisa disebut ustaz jika keilmuannya sudah betul mumpuni, tauladan baik bagi umat dan mencitrakan Islam yang benar menjadi rahmat bagi semesta.

Sekarang, label ustaz dan muslim religius hanya cukup dengan pakaian yang ia kenakan, dengan covernya. Mereka yang berjubah, disebut kyai. Mereka yang berserban, dibilang ustaz. Mereka yang berikatkan udeng, dipanggil saleh. Mereka yang berkoko, dilabeli religius. Simbol-simbol ini menjadi patokan umat hari ini untuk diikuti dan diteladani.

Simbol-simbol ini tentu bukan substansi ajaran Islam. Akan menjadi sangat buruk, jika simbol-simbol tersebut digunakan untuk menggaet massa guna melancarkan hasrat keji penggunanya. Pepatah Arab yang masyhur dalam hal ini adalah ittibaa’ al-ahwaa’ fi al-danayaanaat a’dzam min itibbaa’ al-ahwaa’ fi al-syahawaat, mengikuti hawa nafsu berkedok agama lebih bahaya dari menuruti kesenagan syahwat.

Saya pikir, keadaan ini harus dikembalikan pada yang seharusnya, dimana tolok ukur agamis dan religius hanya dapat disematkan kepada mereka yang dapat menjadi role model umat meski tidak berhiaskan simbol-simbol yang menempel pada tubuhnya. Ke depan, saya berharap tidak ada lagi umat yang mencari dan mengikuti panutan hanya karena kegilaannya pada simbol belaka.

 

 

 

Azis Arifin, M.A
Azis Arifin, M.A
Alumni SPs UIN Jakarta. Alumni Ponpes Asy-Syafe'iyah Purwakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru