34 C
Jakarta

Fenomena Mabuk Arab di Kalangan Umat Islam

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuFenomena Mabuk Arab di Kalangan Umat Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul buku: Nabi Muhammad bukan Orang Arab? Penulis: Ach Dhofir Zuhri, Penerbit: Cetakan: Kedua, 2021 Tebal: 204 halaman ISBN: 978-623-00-1301-0 Peresensi: Fathur Roziqin.

Harakatuna.com – Belakangan, kita dapati sebuah ironi sosial keberadaan kelompok-kelompok yang mencoba-bangkitkan kembali gerakan-gerakan mengatasnamakan agama dan jualan agama demi tujuan tertentu, dengan cara merongrong kesucian ideologi Pancasila. Salah satunya adalah Khilafatul Muslimin tersebut.

Sudah saya ulas pandangan saya terhadap kelompok tersebut (baca: waspada terorisme!) pada bulan-bulan lalu, dan kali ini, saya akan mengulas sebuah buku menarik, Nabi Muhammad Bukan Orang Arab?, sebagai bantahan sekaligus bertujuan mengetuk kesadaran mereka bahwa Nabi Muhammad saja memerangi khilafah.

Satu bukti bahwa Nabi Muhammad perangi khilafah adalah misi kenabian Nabi pada saat itu menghapus kesukuan dan kebudayaan Arab Jahiliyyah yang cenderung tribalistik dan etnosentris. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad tidak segan-segan memberi julukan baik kepada para sahabatnya.

Sayyidina Abu Bakar dari suku Taimi oleh Kanjeng Nabi diganti dengan sebutan al-Shiddiq (yang jujur), Umar bin Khattab dari klan ‘Adi menanggalkan kesukuannya lalu diganti al-Faruq (pembeda benar-salah), Utsman bin ‘Affan berganti Dzun-Nurain (pemilik dua cahaya), dan Ali bin Abi Thalib oleh Nabi diganti al-Murtadha (yang diridhoi Allah).

Dan begitu pula Salman al-Farisi dari Persia, oleh baginda diganti Salman Alu Muhammadi. Itu maknanya, kata penulis buku ini, bicara dan membanggakan suku saat itu sangat memalukan di zaman Nabi (hlm. 165).

Pada umumnya, gerombolan para pengasung khilafah itu berupa keras bagaimana kiranya Indonesia yang kita cintai ini diganti oleh ideologi mereka. Dan kiranya sumber daya bernama Pancasila ini dibongkar dan dirusak, yang idealnya menurut mereka harus diganti dengan sistem khilafah, maka jalan satu-satunya adalah dengan mengganti sistem negara ini, dengan sistem negara agama, yaitu Islam di bawah payung khilafah.

Potret penting buku ini menguraikan tentang fenomena para pengasong khilafah, orang-orang yang tidak mencintai negara kelahirannya serta para agamawan yang lebih mementingkan atribut dalam beragama dan kelompok yang menuhankan kesukuan. Dan resensi ini fokus pada yang terakhir dan mengaitkannya dengan fenomena pengasong khilafah serta implikasi cara beragama kelompok-kelompok tersebut.

BACA JUGA  Trik Pintar Berdebat Dengan Wahabi

Salah satu artikel bagus dalam buku ini, setidaknya menurut saya, yang sedikit akan saya ulas, adalah tentang agama yang hanya diartikulasikan sebatas atribut. Orang-orang yang masuk ke dalam kelompok ini biasanya dalam beragama cenderung mengutamakan simbol-simbol agama semata, seolah itulah Islam sebenarnya.

Padahal Islam, yang sebenarnya tidak sesempit itu, menurut penulis buku ini, adalah agama substansial, yaitu agama kemanusiaan, agama yang, jika boleh saya bahasakan, rasional. Atau dengan kata lain, Islam adalah agama ilmu.

Sebab, menurut penulis buku ini, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi pengetahuan. Kita tahu bahwa bukankah ayat yang, meminjam bahasa Ach Dhofir Zuhri, mula-mula turun adalah perintah membaca, belajar, menyibak lautan makna. Oleh karena itu, agama bukanlah melulu soal atribut-atribut, ia adalah pesan langit yang diperuntukkan untuk manusia untuk mencintai manusia.

Kelompok agamawan yang agak dangkal pemahaman keagamaannya pada dasarnya kurangnya ilmu dalam memahami agama. Maka implikasi cara beragama kelompok ini bisa kita lihat bagaimana mereka menampilkan budaya bangsa lain, yaitu Arab, sebagai identitas keagamaannya. Misalnya saja terlampau banyak kita saksikan sebagian orang Indonesia yang ingin menjadi orang Arab.

Artinya, sebagian kelompok ini baik cara bertutur kata, berpakaian, bahkan beragama, cenderung menampilkan diri seperti orang Arab. Mereka lupa bahwa Indonesia memiliki budaya sendiri; pun juga Arab. Mereka lupa cara membedakan mana agama dan mana keagamaan; mana budaya dan mana ajaran. Oleh sebab itu, yang hendak ditekankan penulis buku ini, bahwa dalam beragama kita butuh Ilmu, dan Islam adalah agama ilmu itu sendiri.

Orang karena itu, dalam buku ini, penulis memberi perspektif baru bagaimana Nabi Muhammad Saw sesungguhnya bukanlah orang asli. Orang karena beliau bukan orang Arab asli, maka tidak mengherankan jikalau beliau, sebagai Nabi dan Rasul, tidak suka umatnya membusungkan dada, mengedepankan kesukuan.

Penulis hendak memberi satu nasehat penting bahwa menjadi orang Islam tidak semestinya menjadi orang Arab. Kita berislam di Indonesia semestinya berislam tanpa harus mencederai identitas keindonesiaan kita sendiri.

Singkatnya, berislamlah sekaligus ber-Indonesia. Sebab Indonesia adalah tanah air kita, tanah di mana kita dilahirkan, tanah di mana kita akan berpulang. Sadarlah, jangan mabuk Arab.

Fathur Roziqin
Fathur Roziqin
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru