26.1 C
Jakarta
Array

Fenomena Cadar di Indonesia: Bukan Syari’at tapi Tafsir atas Syari’at 

Artikel Trending

Fenomena Cadar di Indonesia: Bukan Syari'at tapi Tafsir atas Syari'at 
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Fenomena cadar menjadi menarik ketika diangkat ke ranah publik. Banyak pihak yang mau bicara atau turut berkomentar tapi “takut” ketika dibenturkan dengan konsep agama. Apalagi ketika berhadapan dengan tudingan penghinaan atas syariat Islam.

Mari kita coba telaah secara lugas, tidak ada yang perlu disembunyikan. Pada umumnya ketika berbicara masalah cadar, tidak ada satupun rujukan dari Al Quran dan jumhuriyah ulama sedunia sudah sepakat bahwa wajah wanita bukanlah aurat.

Adapun pemakaian cadar adalah tafsir atas kewajiban bagi wanita untuk melindungi diri. Sekali lagi, dalam hal ini adalah tafsir. Bukan asli nash suci Islam. Sehingga masalah yang muncul adalah pada tataran khilafiyah. Maka sampai kapanpun tetap menjadi khilafiyah.

Dan khilafiyah inipun sebenarnya hanya berlaku bagi kaum Muslimin yang mengenal Madzhab. Jika ada golongan anti madzhab dan merasa ingin istiqomah untuk “kembali ke Quran Hadits”, maka tidak layak juga membawa-bawa Qoul Qodim Imam Syafi’ie, pendapat Imam Hanbali maupun pemikiran minoritas Syiah konservatif yang mewajibkan cadar.

Mengapa? Sebab mereka tidak mengenal madzhab, jadi ya harus konsisten. Jangan bawa-bawa pendapat atau tafsir para Imam Madzhab beserta Imam Mujtahidnya sebagai pembenaran atas cadar.

Jika kita jujur dalam penilaian secara subjektif (objektif dalam hal ini hanyalah kumpulan subjektif secara mayoritas) dalam konteks keindonesiaan masa kini, pertama: aslinya memang tidak ada hubungan antara cadar dengan radikalisme atau terorisme. Tapi ketika ada teroris tertangkap jika masih berhubungan dengan istrinya/sefaham, keseluruhan dari mereka bisa dipastikan: bercadar.

Kedua, mengapa hampir keseluruhan wanita bercadar itu cenderung asosial? Hanya satu-dua saja yang bercadar dan tetap bergaul sebagaimana mestinya di lingkungan masyarakat. Artinya, bukan masyarakat yang mendiskriminasi atau menyingkirkan, melainkan merekalah yang menarik diri dari pergaulan sosial. Dan yang bergaul dengan baik di masyarakat umumnya juga diterima dengan baik, tidak didiskriminasikan.

Selanjutnya, kita menjadi jelas di sini, bahwa urusannya bukanlah sekedar adat kebiasaan masyarakat di Indonesia, tetapi sudah lebih dari itu. Ketika berhadapan dengan berbagai aturan sosial atau lembaga. Ada waktu-waktu tertentu yang memang harus melepaskan cadarnya. Sebagai bentuk ketaatan aturan ulil amri setempat.

Kita tetap berpegang teguh: memaksa orang lain memakai cadar maupun memaksa orang lain melepaskan cadar sama-sama bertentangan dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Sehingga dalam hal ini kita harus tetap proporsional menempatkan cadar sebagaimana mestinya.

Kita hormati mereka yang bercadar, dan yang bercadar juga wajib menghormati tata aturan yang diberlakukan sebagai bentuk ketaatan sosial kita. Tanpa perlu saling mencaci maki atau merendahkan, saatnya kita bergandeng tangan sebagai anak bangsa Indonesia.

Shuniyya Ruhama, Alumni FISIPOL UGM Yogyakarta, dan Pengajar Ponpes Tahfidzul Quran Al Istiqomah Weleri

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru