Harakatuna.com – Di tengah kemajuan teknologi dan perubahan sosial yang begitu cepat, feminisme semakin menjadi sorotan. Gerakannya bukan lagi hanya tentang memperjuangkan hak pilih atau pendidikan seperti di masa lalu yang kini sudah basi, tetapi juga tentang mengatasi tantangan-tantangan baru yang muncul dalam kehidupan modern. Dari kekerasan berbasis gender yang merambah dunia digital hingga ekspektasi sosial yang terus membebani perempuan, feminisme hadir sebagai jawaban atas ketidakadilan yang masih terjadi.
Salah satu isu besar yang terus menjadi perhatian pada masa kini yaitu kekerasan seksual, yang kini tidak hanya terjadi di ruang fisik, tetapi juga di dunia maya. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang ekspresi bebas, sering kali berubah menjadi medan pelecehan, terutama bagi perempuan. Kasus penyebaran foto atau video tanpa izin dan pelecehan verbal melalui pesan langsung menjadi contoh nyata bagaimana kekerasan berbasis gender telah berevolusi.
Di Indonesia, fenomena ini semakin memprihatinkan, dengan banyaknya laporan yang muncul namun masih sedikit kasus yang benar-benar ditangani dengan serius. Kampanye seperti #MeToo atau gerakan lokal seperti #GerakBersama telah menjadi platform bagi korban untuk bersuara. Namun, di balik keberanian mereka, stigma masyarakat terhadap korban kekerasan seksual masih menjadi tembok besar yang harus dihancurkan.
Di sisi lain, perempuan modern juga dihadapkan pada ekspektasi sosial yang sulit dihindari. Di era di mana perempuan semakin berprestasi di bidang profesional, mereka tetap dibebani tanggung jawab domestik yang besar. Banyak perempuan karier yang harus menghadapi komentar seksis seperti, “Kok kerja terus, kapan nikah?” atau “Apa tidak kasihan anak kalau kamu terlalu sibuk?“. Narasi semacam ini tidak hanya membatasi kebebasan perempuan untuk mengejar mimpi mereka, tetapi juga menciptakan tekanan mental yang tidak perlu. Pilihan hidup perempuan dinilai berdasarkan standar yang ditetapkan masyarakat, tanpa mempertimbangkan aspirasi dan konteks pribadi mereka.
Ketimpangan ekonomi juga menjadi tantangan besar lainnya. Meski perempuan kini lebih banyak yang memasuki dunia kerja, ketidaksetaraan upah masih menjadi masalah global. Data dari laporan Global Gender Gap 2023 menunjukkan bahwa perempuan, rata-rata, menerima gaji 20% lebih rendah dibandingkan pria untuk pekerjaan yang sama. Hal itu terjadi di hampir semua sektor, termasuk di Indonesia. Perempuan juga sering menghadapi hambatan dalam mengakses modal usaha, meskipun mereka mendominasi sektor UMKM. Realitas ini menunjukkan bahwa meskipun banyak kemajuan telah dicapai, perjuangan untuk kesetaraan belum selesai dan perlu disuarakan kembali.
Tetapi, feminisme era digital hadir dengan kekuatan baru yang tidak dimiliki generasi sebelumnya seperti sekarang berupa media sosial. Platform seperti Instagram, X, dan TikTok telah menjadi ruang untuk menyuarakan isu-isu yang selama ini terpinggirkan. Tagar seperti #SayHerName dan #HeForShe membuka diskusi global tentang ketidakadilan gender.
Di Indonesia, gerakan seperti #PerempuanBicara memungkinkan perempuan berbagi pengalaman mereka tanpa rasa takut. Media sosial tidak hanya menjadi alat untuk menyebarkan informasi, tetapi juga menciptakan solidaritas lintas budaya dan negara. Dengan jangkauan yang begitu luas, feminisme modern berhasil melibatkan generasi muda dalam cara yang lebih relevan dan interaktif.
Di balik tantangan dan kemajuan ini, ada banyak kisah inspiratif dari perempuan yang berhasil mendobrak stereotip dan menciptakan perubahan nyata. Salah satunya seperti Nurhayati Subakat, pendiri Wardah Cosmetics, yang membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin di industri yang sering didominasi oleh pria. Dengan metode pendekatan yang inklusif, ia menciptakan lapangan kerja bagi ribuan perempuan di Indonesia, sekaligus mengangkat nilai-nilai lokal ke panggung global.
Contoh lainnya putri Prof. Quraish Shihab yaitu Najwa Shihab, seorang jurnalis dan pembawa acara yang menggunakan platformnya untuk mengangkat isu-isu penting, termasuk kekerasan berbasis gender dan ketidakadilan sosial. Kisah-kisah seperti ini membuktikan bahwa ketika perempuan diberi kesempatan yang setara, mereka mampu membawa dampak besar.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mendukung gerakan feminisme di era ini? Sebenarnya, tidak perlu langkah besar untuk membuat perubahan. Dimulai dari edukasi diri, kita bisa belajar lebih banyak tentang isu-isu gender melalui buku, film, atau diskusi. Dengan memahami masalah, kita akan lebih mampu berempati dan mendukung orang-orang di sekitar kita.
Selain itu, penting juga untuk mendukung korban kekerasan seksual, baik dengan mendengarkan cerita mereka tanpa menghakimi maupun membantu mereka mengakses bantuan profesional. Di dunia digital, kita bisa melawan narasi negatif tentang perempuan dengan menyebarkan informasi positif dan mempromosikan keberagaman.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan yaitu support system pada usaha yang dikelola perempuan. Dengan membeli produk atau layanan mereka, kita tidak hanya membantu secara ekonomi, tetapi juga mendukung pemberdayaan perempuan di masyarakat. Dan yang tidak kalah penting, mari melawan stereotip gender dalam kehidupan sehari-hari. Hindari komentar-komentar seperti “Perempuan harusnya begini,” atau “Itu bukan pekerjaan untuk wanita.” Dengan mengubah cara berpikir kita, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi semua orang.
Pada akhirnya, feminisme bukan hanya tentang perempuan, tetapi tentang menciptakan dunia yang adil untuk semua. Di era digital ini, kita memiliki peluang besar untuk mempercepat perubahan yang selama ini diperjuangkan. Dengan teknologi sebagai alat, kita bisa memperluas jangkauan gerakan ini, menghubungkan orang-orang dari berbagai latar belakang, dan menciptakan solidaritas global. Feminisme itu dapat didefinisikan tentang memberi ruang bagi setiap individu untuk hidup sesuai dengan potensi mereka, tanpa dibatasi oleh gender.
Mari kita jadikan feminisme sebagai gerakan yang relevan, inklusif, dan penuh harapan. Karena ketika perempuan maju, dunia pun ikut maju. Semoga di masa depan, kita tidak lagi berbicara tentang kesetaraan sebagai impian, tetapi sebagai kenyataan yang betul-betul ada tidak hanya idealisme belaka.
Terkadang saya juga mengkritik perempuan yang menggunakan platform digital, sering kali dia memamerkan dirinya demi mendapatkan followers, ini yang menyebabkan juga diskriminasi pelecehan seksual. Jika ingin menafikan diskriminasi maka mulailah dari diri masing-masing, tidak guna menyuarakan hal tersebut tanpa semangat dari perempuan yang memang mampu berjuang demi kesetaraan.