32.7 C
Jakarta

Fatwa MUI Sebagai Antisipatif Virus Corona dan Wabah Radikalisme

Artikel Trending

EditorialFatwa MUI Sebagai Antisipatif Virus Corona dan Wabah Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan Fatwa tentang Penyelenggaran Ibadah Dalam Situasi Terjadi Covid-19. Fatwa ini memiliki ketentuan umum bahwa Corona-19 adalah Corona Virus Desease, yaitu sebuah penyakit menular disebabkan corona virus pada tahun 2019. MUI menekankan bahwa setiap orang wajib melakukan ikhtiar kesehatan dan menjauhi setiap hal yang diyakini dapat menimbulkan terpapar penyakit. Hal tersebut sesuai dengan tujuan pokok beragama yaitu al-Dharuriyah al-Khams.(mui.or.id 16/03/20)

Pasca fatwa MUI diterbitkan, namun kian timbul perbedaan dari sebagian kalangan. Di antaranya, Ebit B.T, SH politisi PPP, dan Derry Sulaiman. Penolakan keduanya, setidaknya mencerminkan sosok figur yang lebih paham soal agama daripada MUI. Pentingnya lagi, bagaimana agar penolakan tersebut harus berdasarkan dalil-dalil keagamaan yang kuat.

Dalam pelbagai alasan, tentu fatwa terkait larangan ibadah bagi umat Islam ini bertujuan untuk menjaga kesehatan bersama (al-maslahatul ummah). Sehingga jika muncul sikap kontra terhadap pertimbangan hukum MUI telah mencerminkan pemikiran dan pemahaman keagamaannya yang cenderung ekstrem, dan radikal (tekstual).

Apalagi dilansir dari detiknews.com Derry Sulaiman mengatakan “Kita tinggalkan masjid, masjid nggak salah apa-apa. Kenapa mal-mal nggak ditutup? Kenapa harus masjid?” Pertanyaan seperti demikian sesungguhnya dapat dinilai menyulut api radikalisasi dan ekstremisasi doktrin agama yang terkesan berlabel provokatif.

Perbedaan pendapat (ikhilaful ulama) itu lantas tujuannya bukan untuk menimbulkan permusuhan. Akan tetapi, bertujuan untuk masyarakat yang masih pro-kontra tentang pandangan keagamaan. Oleh karena itu, toleransi terhadap perbedaan itu tidak hanya dalam praktik keberagamaan, tetapi bagaimana kita merepons fatwanya dengan baik, sopan dan santun.

Perbedaan pendapat tentang fatwa MUI setidaknya menjadi kekayaan ilmu bagi umat Islam dan non-Muslim. Di mana perbedaan itu sesungguhnya keberuntungan kita dalam beragama untuk menjaga hubungannya dengan negara. Sikap hukum MUI setidaknya dipandangan dari keagamaan, tetapi dari sisi sosial kemanusiaan.

Fatwa MUI dan Kemaslahatan Umat

Dalam beberapa catatan, fatwa MUI memuat banyak alasan hukum tentang larangan sementara bagi umat Islam yang terpapar virus corona agar tidak melakukan shalat jum’at di masjid. Dan kenapa harus diganti dengan shalat dhuhur di rumah? Karena untuk menghindar dari kekerasan wabah virus corona itu sendiri.

Di sisi lain, penetapan hukum larangan shalat jum’at telah mengandung unsur kemaslahatan umat, sebab tujuaanya menjaga kesehatan dari gangguan penyakit yang sangat radikal dan ekstrem. Meskipun ada yang kontradiktif seharusnya lebih besikap bijaksana dan tidak membuat kita rugi memahami fatwa tersebut, terutama sebagai umat Islam.

Bahkan dengan fatwa MUI ini membuat masyarakat semakin positif bahwa virus corona tidak menular. Karena itu, putusannya sesuai dengan kaidah fikih “dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih”. Artinya, menolak bahaya harus lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan. (Harakatuna.com 12/02/20)

Esensi dari kemaslahatan umat dapat dimaknai sebagai bentuk perhatian ulama-ulama moderat dalam rangka mencegah wabah virus corona. Di satu sisi, peran penting ulama MUI berpandangan tentang paham keagamaan yang sungguh menjunjung tinggi akan pentingnya menjaga kesehatan. Baik itu, secara jasmani maupun rohani.

BACA JUGA  Menyikapi Zionis sebagai Terorisme Global

Konteks hukum tersebut sebagaimana mengutip dalam fatwa MUI no. 14 tahun 2020. Hadis Nabi saw sesungguhnya beliau bersabda: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. al-Bukhari)

Hadis ini, setidaknya membuat kita semua sadar. Sehingga larangan shalat jum’at di masjid semata-mata bukan karena tanpa alasan dan dasar hukum yang kuat. Utamanya, masyarakat dan figur yang kontra untuk tidak menolak ketetapan fatwa yang didasarkan terhadap peduli kesehatan sosial dan prinsip kemanusiaan dari seorang ulama moderat.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama (ikhtilaful ulama), tentu merupakan persoalan lumrah terjadi bukan hanya sekarang. Melainkan sebelumnya pun kerapkali terjadi, sehingga. Pada dasarnya, agama tidak hanya mengajarkan kemanusiaan. Namun, agama sejatinya mengajarkan pentingnya menjaga kesehatan jasmani dan rohani. Terutama dalam hal menjaga harkat dan martabat kemanusiaan.

Prioritas Hukum

Peran ulama MUI dalam memproduksi fatwa no. 14 tahun 2020, sebenarnya tidak hanya membantu keringanan tenaga medis, dan masyarakat. Melainkan membantun kita semua untuk tetap waspada agar terhindar dari paparan virus corona. Sebab itu, virus berbahaya yang potensi penularannya pun sangat massif dan cepat.

Tanpa peran MUI mungkin masyarakat awam tidak terbantu secara pemahaman keagamaan. Paling tidak, eksistensi fatwa MUI mampu membantu negara untuk mengatasi virus corona dalam pendekatan meditasi keagamaan. Yaitu, menjaga kesehatan sebagai bentuk ketaatan kita dalam praktik keagamaan yang moderat.

Fatwa MUI dalam perspektif sosiologi agama ingin mengajak masyarakat bagaimana cara memahami substansi keagamaan itu dengan benar sesuai dengan situasi dan kondisi hukum yang berlaku. Ditambah lagi, adanya wabah virus corona, tentu hal ini menjadi pedoman prioritas hukum supaya dapat terhindar dari wabahnya.

Jika kemudian, muncul tokoh atau figur yang menolak fatwa MUI itu sesungguhnya mencerminkan pemahaman agamanya yang dangkal. Sehingga hal itu mudah membuatnya berpikir ekstrem dan radikal. Persoalan seperti demikian perlu masyarakat hindari demi menjaga seluruh kesehatan masyaraka Indonesia (kemaslahatan umat).

MUI dengan fatwanya, telah menjadi hikmah bagi kita sebagai umat beragama. Tanpa ulama moderat yang ada dalam wadah tersebut, maka masyarakat tidak mungkin mengetahui dan tetap akan shalat jum’at di masjid. Padahal, tujuan MUI sangat jelas memperlihatkan kemanusiaannya untuk melindungi masyarakat beragama, bangsa dan negara dari wabah virus corona dan wabah radikalisme. Wabah radikalisme ini, adalah penyakit yang selalu mengganggu kesehatan kita dalam memahami agama dengan toleran, moderat, dan penuh kemaslahatan.

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru