32.7 C
Jakarta
Array

Fanatisme Agama yang Melupakan Toleransi

Artikel Trending

Fanatisme Agama yang Melupakan Toleransi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Indonesia kembali diramaikan degan kasus intoleransi yang berasal dari Sumatera Utara. Bahkan sampai saat ini, tersangka dalam kasus tersebut telah diberikan label sebagai penista agama dan dikurung dalam penjara selama 18 bulan. Hingga saat ini, dukungan dalam kasus tersebut tentunya terus mengalir sangat deras, karena tanpa dipungkiri memang kasus tersebut merupakan kasus yang sangat kontroversial, ada beberapa yang mengatakan bahwa hukuman yang diberikan sangat tidak adil, ada beberapa juga yang mengatakan bahwa kasus tersebut bukan penistaan agama. Bahkan petisi untuk Meiliana pun sudah dipersiapkan untuk melawan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) yang berhasil menghukumnya.

Di Indonesia sendiri memang sangat tidak mengeherankan jika permasalahan mengenai SARA menjadi konsumsi publik dalam beberapa tahun belakangan ini, karena memang seiring berjalannya waktu, semakin hukum itu dapat dikatakan adil, maka semakin banyak juga orang yang mudah menggunakan hukum tersebut untuk melaporkan orang-orang yang di duga melakukan penistaan terhadap agama. Oleh karena itu, pada saat ini dapat dikatakan sebagai era culture conflict (konflik budaya), artinya konflik yang diakibatkan perubahan norma yang terus menerus menyebabkan anomie (kekacauan) dalam masyarakat, sebab individu tidak tahu lagi norma mana yang harus diikuti (Jacobus Ranjabar, 2015: 61).  Begitupun dengan saat ini, jika kebiasaan yang saling lapor tersebut terus menerus disalahgunakan, maka yang terjadi adalah konflik antarmanusia yang sangat kompleks sehingga sulit untuk menemukan mana yang benar dan mana yang salah.

Thomas Hobbes (1588-1679) pernah menyatakan “belum omnium contra omnes”, yang artinya semua akan berperang melawan semua. Menurut Hobbes untuk mempertahankan diri, pada suatu saat nanti manusia akan agresif dan melakukan peperangan dengan sesama manusia, pernyataan Hobbes tersebut pada akhirnya terjadi.  Peperangan saat ini selalu diwarnai dengan perdebatan ideologi, perdebatan mengenai pasal, perdebatan mengenai mayoritas dan minoritas, ataupun perdebatan yang ditengarai oleh fanatisme agama. Terlebih lagi peperangan tersebut terkadang disebabkan oleh hukum, artinya semakin banyak orang yang saling lapor karena dugaan penistaan agama, maka masyarakat Indonesia pun akan semakin terpecah belah.

Meneladani Sifat Rasulullah SAW

Jika kita dapat belajar dari masa lalu, maka Rasulullah SAW juga pernah mengalami hal yang serupa dengan permasalahan saat ini. Dikisahkan pada suatu hari, Rasulullah SAW baru saja berpulang dari pertempuran Hunain, yaitu pertempuran antara Rasulullah SAW beserta sahabatnya dengan kaum Badui. Ketika Rasulullah SAW sedang berjalan, tiba-tiba di tengah perjalanannya bertemu dengan salah seorang kaum Quraisy bersama dengan rombongannya. Salah satu orang Quraisy itu bernama Abu Mahdzurah, tiba-tiba ditengah perjalanan tersebut waktu untuk melaksanakan shalat maghrib telah tiba, dan salah satu sahabat Rasulullah SAW pun melaksanakan adzan maghrib. Alih-alih menghargai seruan adzan tersebut, Abu Mahdzurah dan rekan-rekannya tiba-tiba menjauh dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya, yang sangat disayangkan lagi Abu Mahdzurah menirukan suara adzan tersebut sambil memberikan ejekan kepada Rasulullah SAW beserta para sahabatnya.

Setelah mendengar ejekan tersebut dari kejauhan, Rasulullah SAW mengutus salah satu sahabatnya untuk memanggil orang yang telah mengejek seruan adzan tersebut, tak lama kemudian Abu Mahdzurah dan rekan-rekannya sampai di hadapan Rasulullah SAW. Sambil menatap dengan raut wajah yang cemas, Rasulullah pun bertanya, “Siapa di antara kalian yang aku dengar keras suaranya?” Dengan perlahan-lahan, mereka menunjuk Abu Mahdzurah. Tanpa berpikir panjang, Abu Mahdzurah pun tak dapat mengelaknya, pada akhirnya Rasulullah SAW membebaskan semua rombongan orang Quraisy tersebut, kecuali Abu Mahdzurah. Tiba-tiba Rasulullah SAW berkata kepada Abu Mahdzurah, “Berdiri dan adzanlah untuk shalat!” Dengan raut wajah yang sangat kesal Abu Mahdzurah pun akhirnya menerima perintah dari Rasulullah SAW.  Ketika adzan dari Abu Mahdzurah sangat terbata-bata, Rasulullah SAW pun selalu membantu Abu Mahdzurah. Singkat cerita, pada akhirnya Abu Mahdzurah menjadi muadzin sampai akhir hayatnya.

Jangan Melupakan Toleransi

   Jika fanatisme agama menjadi alasan untuk melindungi agama Islam agar lebih terlihat saleh, maka hal tersebut sangat baik. Tetapi juga alangkah lebih baik jika kita lebih mengutamakan logika untuk membedakan kalimat seperti apa yang bisa dikatakan sebagai penistaan terhadap agama. Seperti yang dilakukan oleh Meiliana, walaupun pada dasarnya Meiliana beragama Buddha, tetapi bukan berarti karena menegur untuk mengecilkan volume speaker masjid langsung saja kita menggunakan langkah hukum untuk menyelesaikannya, padahal teguran dan ejekan adalah dua kata yang jelas berbeda. Jika hanya menegur, maka cobalah untuk diterima dengan baik, berbeda dengan ejekan yang merupakan hal yang memang tidak dapat dimaklumi dengan baik.

Jika Abu Mahdzurah saja mendapatkan toleransi dari Rasulullah SAW, maka mengapa kita tidak meneladani sifat Rasulullah SAW untuk memberikaan toleransi juga untuk Meiliana. Memang sangat sulit untuk membuka hati kita agar lebih melapangkan dada dalam menerima teguran dari orang lain, di satu sisi memang kita lebih asyik untuk menyalahkan perilaku orang lain, tapi kita juga sering lupa apakah perilaku kita selama ini dapat dikatakan benar. Begitupun mengenai adzan, jika adzan menjadi alasan yang kuat untuk memberikan ajakan shalat untuk orang lain, dan harus memberikan volume yang kencang terhadap speaker yang berada di masjid. Maka artinya hal tersebut merupakan tindakan yang tidak memikirkan orang yang terganggu dengan volume speaker yang sangat kencang tersebut, bukan terhadap adzannnya, tetapi hanya kepada volume speaker masjid yang sangat kencang.

Maka dari itu Allah SWT berfirman bahwa, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (QS Al-A’raaf: 55).  Marilah kita berpikir dan berkontemplasi secara terus menerus mengenai perilaku kita selama ini, agar kita selalu mengutamakan kelembutan hati untuk menerima berbagai macam teguran.

*Ilham Akbar, Mahasiswa Universitas Serang Raya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu   Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Public Relations.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru