34 C
Jakarta

Fabrikasi Thaghut Sebagai Alat Justifikasi Teror Atas Nama Agama

Artikel Trending

KhazanahOpiniFabrikasi Thaghut Sebagai Alat Justifikasi Teror Atas Nama Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Thaghut telah menjadi isu yang sengaja difabrikasi oleh pihak untuk mengobarkan sentimen kebencian terhadap individu, kelompok, institusi, bahkan pemerintah atau negara. Fabrikasi dalam artian, isu itu sengaja diciptakan, dideseminasikan, dan diviralkan oleh pihak-pihak tertentu secara masif, sistematis, dan terstuktur. Asumsi ini dikuatkan oleh fakta bahwa selama ini, istilah thaghut ini muncul di momen-momen tertentu, dan didengungkan oleh kelompok yang itu-itu saja.

Termutakhir, isu thaghut kembali mencuat berbarengan dengan euforia hari kemerdekaan Indonesia ke-77, Agustus kemarin, yang berlangsung sangat meriah di seantero negeri. Ada kesan, kaum radikal-teroris ingin merusak suasana semarak HUT RI dengan mengangkat kembali isu thaghut.

Sasarannya siapa lagi jika bukan negara dan pemerintah. Bagi kaum radikal-teroris, istilah thaghut memang kerap digunakan untuk mengidentifikasi musuh yang wajib dilawan dan diperangi. Maka, siapa pun yang dilabeli thaghut, besar kemungkinan ia akan menjadi obyek sasaran teror dan kekerasan.

Bagi kaum radikal-teroris, label thaghut yang disematkan pada individu, kelompok, institusi, maupun lembaga negara—pemerintah—ialah alat untuk menjustifikasi aksi teror dan kekerasan atas nama agama yang mereka lakukan. Seolah-olah, semua hal yang dilabeli thaghut lantas menjadi halal darahnya alias boleh dibunuh.

Jika ditarik ke belakang, penggunakan istilah thaghut sebagai alat untuk menjustifikasi kekerasan ini sebenarnya merupakan fenomena yang tergolong baru. Dalam literature fiqih klasik, istilah thaghut lebih banyak merujuk pada tindakan melampuai batas seperti perilaku sombong, angkuh, atau perilaku syirik seperti praktik perdukunan dan sebagainya.

Manipulasi Istilah Thaghut oleh Kaum Wahabi

Penggunakan istilah thaghut dalam konteks politik kenegaraan untuk mendeskreditkan pemerintah atau negara yang sah baru muncul di era kebangkitan Wahabi. Para ulama Wahabi umumnya melabeli pemerintahan atau negara yang tidak menjalankan hukum syariah secara formal sebagai thaghut. Klaim atau label negara thaghut inilah yang dijadikan sebagai alat untuk membenarkan tindakan teror dan kekerasan atas nama agama yang dilakukan kaum radikal-teroris.

Dalam konteks Indonesia, kata thaghut kerap disematkan pada negara atau pemerintah dan segenap aparatusnya. Label thaghut itu disematkan lantaran para pemimpin atau penguasa negeri ini dianggap memutuskan segala sesuatu tidak berdasar pada hukum Islam (Allah).

Ringkas kata, bagi kaum radikal-teroris segala sesuatu yang berhubungan dengan negara Indonesia, mulai dari konstitusinya yakni UUD 1945, ideologi Pancasila), sampai sistem pemerintahannya merupakan thaghut yang harus dimusnahkan. Keyakinan yang demikian inilah yang menjadi faktor suburnya aksi teror dan kekerasan yang menyasar aparat pemerintah dalam beberapa tahun belakangan.

BACA JUGA  Kebebasan Manusia dan Peradaban Anti-Radikal

Jika kita melihat fenomena terorisme di Indonesia, maka salah satu motif utamanya ialah melawan pemerintahan yang dicap thaghut. Para teroris yang melakukan aksi penyerangan biasanya meninggalkan pesan atau wasiat di mana di dalamnya biasanya berisi kecaman-kecaman terhadap pemerintah Indonesia yang dicap thaghut.

Pola pikir yang demikian ini sebenarnya absurd dan irasional. Menuding pemerintah sebagai kafir istihlal ialah sebuah bentuk kerancuan berpikir yang akut. Melabelisasi Indonesia sebagai negara thaghut ialah bukti kedangkalan berpikir kaum radikal. Indonesia memang bukan negara Islam, namun tata hukum dan perundangan di Indonesia sangatlah islami.

Mengakhiri Fabrikasi Label Thaghut

Merujuk pendapat Thaha Jabir al Ulwani, otoritas pembuat hukum atau disebut hakimiyyah itu ada dua. Pertama, hakimiyah Allah yakni otoritas hukum yang merujuk pada teks-teks keagamaan yakni Alquran dan hadis. Dalam konteks ini, yang dimaksud hakimiyah Allah adalah segala urusan yang menyangkut urusan hablum min allah alias ibadah mahdhah.

Di titik ini, seluruh umat Islam diharapkan merujuk pada Alquran dan hadist tanpa menambah-nambahi hukum atau ketentuan dengan jalan ijtihad. Dalam urusan ibadah mahdhah, hukum Allah itu bersifat tetap.

Kedua, hakimiyah basyar yakni otoritas hukum yang berbasis pada kesepakatan alias konsensus bersama masyarakat untuk hidup di bawah aturan yang telah disepakati bersama. Hakimiyah basyar ini berlaku dalam konteks relasi sosial-politik antar-manusia. Dalam konteks hubungan sosial-politik, manusia diberikan kewenangan dan keleluasaan untuk menyusun sebuah sistem atau tata hukum yang disepakati bersama dan mengikat secara universal. Di sini, manusia diberikan hak untuk berijtihad sesuai dengan situasi zaman dan tantangannya.

Negara Republik Indonesia yang berbasis pada Pancasila, UUD 1945 dan UU lainnya tidak lain merupakan wujud dari hakimiyah basyar. Yakni kesepakatan seluruh entitas bangsa, termasuk di dalamnya ulama untuk menyusun sebuah aturan perundang-undangan yang mampu mengakomodasi kepentingan seluruh kelompok masyarakat.

Falsafah bangsa dan konstitusi serta UU memang dibuat oleh manusia, dan dihasilkan oleh pikiran manusia. Namun, semua itu dikerangkakan untuk kemaslahatan bersama sebagaimana menjadi tujuan agama.

Arkian, kita perlu mengakhiri fabrikasi isu negara thaghut demi memutus mata rantai teror dan kekerasan atas nama agama di Indonesia. Labelisasi negara thaghut hanyalah akal-akalan kaum radikal untuk memprovokasi umat agar melawan pemimpin dan pemerintahannya sendiri. Narasi itulah yang harus kita tolal dan lawan bersama.

Desi Ratriyanti
Desi Ratriyanti
Lulusan FISIP Universitas Diponegoro, bergiat di Indonesia Muslim Youth Forum.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru