Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Sholawat bergema melalui toa-toa masjid. Di berbagai wilayah Indonesia sebagian besar, malam ke-12 bulan rabi’ul awal masyarakat berbondong-bondong ke masjid, anak-anak bersholawat, lalu ditutup dengan makan bersama. Adapula  yang merayakan dengan sholawat keliling kampung, semua masyarakat ikut serta dengan membawa obor.

Pembacaan sholawat barzanji menjadi salah satu bagian dari parayaan malam itu. Memuji kekasih Allah, berbangga hati atas kehadirannya. Euforia ini dilakukan sebagai wujud bahagia, cinta kasih atas kelahiran kekasih Allah, yaitu Nabi Muhammad Saw. Fenomena ini akan kita lihat di Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Siapa yang bisa menyalahkah wujud cinta semacam ini?

Bulan Rabi’ul Awal, menjadi salah satu bagian dari bulan hijriyah yang sangat dinanti. Apalagi sebagian dari budaya masyarakat yang lain, setiap rumah merayakan maulid, sehingga bulan maulid menjadi bulan yang penuh dengan hingar bingar pembacaan sholawat yang tidak pernah berhenti.

Apakah perayaan semacam itu hanya terjadi di Indonesia? nyatanya diberbagai belahan dunia, gema perayaan kelahiran Rasulullah Saw. disemarakkan begitu ciamik. Mesir, Sudan, Maroko, Malaysia, Brunei Darussalam, dan negara-negara lain juga merayakan kelahiran baginda Rasulullah Saw.

Pro Kontra yang terjadi setiap tahun

Dari Ibnu Mas’ud Ra. Bahwa suatu hari datang seseorang ada Rasulullah Saw, lalu ada orang berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang anda katakan terhadap seseorang yang mencintai suatu kaum, tetapi dia tidak bisa bertemu kaum itu?” Maka Rasulullah bersabda, “Al-Mar’u ma’a man ahabba”(seseorang akan bersama yang dicintainya. [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

Melalui hadis ini, menjadi sebuah sikap semangat positifistik bahwa kelak kita akan bertemu dengan Rasulullah Saw. Ekspresi cinta yang ditunjukkan atas kecintaan tersebut, tentu beragam, salah satunya melalui perayaan maulid. Amiin.

Meskipun demikian, pro kontra yang terjadi pada perayaan maulid nabi selalu menuai perdebatan. Setidaknya, ada dua kelompok yang tercipta, yakni: pertama, orang setuju dengan perayaan maulid. Kedua, orang yang menolak perayaan maulid.

Dalam penentangan perayaan maulid, orang-orang yang melaksanakan maulid dianggap bodoh, karena beramal tanpa ilmu, mereka juga dituduh sebagai bid’ah karena telah melakukan perbuatan yang tidak diajarkan oleh Rosulullah. Dengan melakukan bid’ah, maka mereka (red: orang yang melaksanakan maulid) adalah sesat (Waskito:2014,16).

BACA JUGA  Suara Ulama: Penentu Pemilu 2024 Berjalan dengan Damai

Tidak hanya itu, alasan lain yang disampaikan oleh kelompok penentang maulid yaitu mencintai Rasulullah tidak hanya pada bulan Rabi’ul awal saja. Seharusnya yang perlu dilakukan bukanlah mualid, melainkan pembacaan sholawat dalam setiap nafas yang kita keluarkan, menjujung tinggi sikap Rasulullah dan menjadikan teladan adalah hal utama. Sehingga perayaan maulid tidak perlu dilaksanakan.

Sebenarnya, inilah kekeliruan yang seharusnya tidak terjadi. Sebab pada perayaan maulid yang dilakukan para umat Islam, semata-mata wujud bahagia atas kelahiran kekasih Allah. Ketiadaan dalil, anggapan sesat nyatanya disampaikan oleh para salafi-wahabi, ataupun sejenisnya karena tidak ada tuntunan dari Allah. Apakah tidak boleh berbahagia atas kelahiran makhluk nomor satu di dunia ini? apalagi dalam setiap 5 waktu yang kita dijalankan, nama Rasulullah menjadi bagian dari ritual ibadah yang kita jalankan.

Pengajian menjadi tempat paling apik dalam membid’ahkan kegiatan maulid. Para pendakwah yang tidak setuju dengan perayaan maulid, menjadikan tempat pengajiannya sebagai ladang bid’ah membid’ahkan. Tidak hanya itu, dalil-dalil yang dikemukakan juga turut menyertai segala fatwa yang diberikan. Akhirnya, bukanlah sebuah sikap toleransi yang ditampakkan atas perbedaan keberagamaan, melainkan fatwa kebencian, menyudutkan pihak yang lain, dan sejenisnya.

Inilah masalah yang sering kita temukan pada saat ini. Toleransi menjadi sebuah soal yang belum bisa dijawab oleh umat muslim di Indonesia. Sikap ini nyatanya belum bisa terwujud dengan baik. Sikap menanggapi dalam perbedaan yang tercipta pada wujud keberagamaan menyebabkan sekat yang begitu berjarak antara muslim yang satu dengan yang lain. Umat muslim masih memiliki PR besar yang belum bisa selesai, khususnya menanggapi setiap perbedaan yang tercipta. Kita selalu sibuk dengan urusan bid’ah membid’ahkan, kafir mengkafirkan, sedangkan bangsa lain sudah gerak cepat untuk melakukan perubahan besar yang bisa bermanfaat untuk khalayak. Wallahu’alam

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here