32.1 C
Jakarta
spot_img

Etika Eudamonisme, Wasatiah, dan Moderasi Beragama

Artikel Trending

KhazanahOpiniEtika Eudamonisme, Wasatiah, dan Moderasi Beragama
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dewasa ini, kita menyaksikan manusia sibuk dengan kesehariannya yang terus-menerus diulang. Pekerja sibuk dengan pekerjaannya, mahasiswa sibuk dengan kuliahnya, pedagang sibuk dengan dagangannya, dan seterusnya. Namun, pernahkah kita berpikir, atau muncul pikiran-pikiran liar tanpa kita ketahui asalnya, yang mempertanyakan apa sebenarnya tujuan mereka melakukan itu? Jika ditanya tentang tujuan atas apa yang mereka lakukan, pasti jawaban yang muncul akan berbeda-beda.

Seorang pekerja atau pedagang mungkin akan menjawab bahwa aktivitasnya bertujuan untuk mendapatkan uang, memenuhi kebutuhan keluarga, menjalankan kewajiban sebagai seorang kepala keluarga, dan lain sebagainya. Ketika seorang mahasiswa ditanya mengapa ia berkuliah, jawabannya mungkin untuk mencari pekerjaan, mendapatkan ijazah, atau sekadar memenuhi tuntutan orang tua. Refleksi lebih dalam atas tujuan hidup manusia kemudian muncul: apakah ada tujuan manusia yang benar-benar bersifat final? Mungkinkah ada suatu tujuan yang bersifat universal—yang dicari oleh semua manusia?

Pertanyaan semacam itu telah menggelitik para pemikir filsafat Yunani Kuno. Salah satu tokoh yang membahasnya adalah Aristoteles (384-322 SM), seorang murid Plato sekaligus guru privat Alexander Agung. Ia menjadi figur penting dalam refleksi tentang manusia, terutama karena pada masanya peradaban filsafat mulai menjadikan manusia sebagai objek kajian serius dalam diskursus filsafat. Tema tersebut kemudian berkembang menjadi salah satu bagian utama dari filsafat, yaitu etika.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika adalah ilmu yang mengkaji tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta berbicara mengenai hak dan kewajiban moral. Oleh karena itu, etika mencakup studi tentang hubungan manusia dengan manusia lain, alam, lingkungannya, bahkan dengan dirinya sendiri.

Dalam pandangan Aristoteles, etika merujuk pada tujuan hidup yang disebut eudaimonisme. Gagasan tentang etika eudaimonisme dijelaskan dalam karyanya Etika Nikomakheia. Dalam buku The Nicomachean Ethics yang diterjemahkan oleh David Ross (2009), Aristoteles menyebut bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan. Menurut Kamus Filsafat karya Lorens Bagus, kebahagiaan di sini juga mencakup arti tambahan, seperti kesejahteraan atau kesentosaan.

Aristoteles menjelaskan, eudaimonisme dapat dicapai melalui praktik kebajikan (arete) dan hidup selaras dengan rasionalitas serta etika yang baik. Kebahagiaan tidak hanya terletak pada kenikmatan fisik atau materi, tetapi juga pada pengembangan potensi diri, menjalani kehidupan bermoral, dan mencapai tujuan hidup yang sesuai dengan akal budi serta nilai-nilai moral. Bagi Aristoteles, kebahagiaan patut diraih demi kebahagiaan itu sendiri, bukan karena alasan lain. Untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna, seseorang harus mengamalkan keutamaan-keutamaan dalam kehidupannya.

Dalam bukunya Etika, Bertens menyebut bahwa Aristoteles membagi keutamaan menjadi dua jenis: keutamaan intelektual (sophia) dan keutamaan moral. Keutamaan intelektual diartikan sebagai kemampuan rasio untuk menyempurnakan dirinya sendiri. Dalam konteks itu, kesempurnaan rasio untuk membedakan antara baik dan buruk didasarkan pada pengetahuan. Filsafat dan ilmu pengetahuan menjadi unsur penting untuk melatih serta mengembangkan kapasitas rasio manusia. Kesempurnaan intelektual mampu menuntun manusia menuju kebijaksanaan.

Sementara itu, keutamaan moral berkaitan dengan kebiasaan dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Aristoteles, jika seseorang ingin hidup bahagia, ia harus berbuat baik kepada sesama manusia. Keutamaan moral perlu dilatih melalui kebiasaan. Secara praktis, hal itu terlihat dari kenyataan bahwa seseorang yang tidak berbuat baik berdasarkan tuntutan moral tidak akan menemukan kebahagiaan sejati. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup, seseorang harus bekerja dengan cara yang baik dan halal.

Walaupun mencuri juga dapat menghasilkan uang, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan. Mencuri tidak akan membawa kebahagiaan sejati. Seorang pencuri akan selalu dikejar oleh pihak keamanan, merasa waspada setiap kali bertemu orang lain karena takut ketahuan, dan bahkan secara naluriah akan dihantui rasa bersalah. Oleh karena itu, untuk mencapai kebahagiaan, keutamaan-keutamaan di atas harus berjalan beriringan dan harmonis. Bagi Aristoteles, keutamaan harus didasarkan pada sikap jalan tengah atau phronesis (Bertens, 2013).

Jalan tengah, atau dalam istilah lain keseimbangan, merupakan konsep yang berada di antara dua ekstrem: “kurang” dan “terlalu banyak”. Kebijaksanaan memungkinkan seseorang untuk bersikap moderat di antara ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Contohnya, ketika menghadapi bahaya, seseorang yang bijaksana akan memilih sikap “berani” sebagai jalan tengah antara “nekad” dan “pengecut”. Dalam hal pengelolaan keuangan, sikap “hemat” adalah pilihan moderat antara “boros” dan “pelit”. Begitu pula saat makan, seseorang harus memilih porsi yang pas—tidak berlebihan dan tidak kekurangan.

BACA JUGA  Menciptakan Pendidikan Inspiratif: Dari Kurikulum ke Karakter Bangsa

Tentu, teka-teki terkait tindakan semacam itu sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Aristoteles mendorong manusia untuk memiliki prinsip keseimbangan (balance). Perbincangan serupa juga dapat kita temukan dalam ajaran Islam mengenai moderasi beragama. Istilah yang digunakan untuk konsep tersebut adalah wasatiah. Dalam buku Moderasi Islam di Indonesia, Maimun menyebutkan bahwa wasatiah berasal dari kata wasath, yang berarti posisi tengah di antara dua ekstrem yang berlawanan. Makna lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam buku yang sama, adalah adil, berada di tengah-tengah antara dua ujung, atau bersikap sewajarnya.

Istilah wasathiyah dapat ditemukan dalam Al-Qur’an, yaitu:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا

“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 142)

Menurut At-Thabari dalam Jami’ul Bayan fi Ta’wil Ayi al-Qur’an, istilah wasath dalam ayat tersebut merujuk pada umat Islam sebagai umat yang tidak berlebihan dan tidak lalai dalam suatu perkara (Maimun, 2019).

Jika kita menerapkan konsep ini pada kenyataan pluralisme agama di masyarakat, khususnya di Indonesia, data menunjukkan bahwa penerapan wasatiah masih memerlukan penguatan. Berdasarkan laporan Setara Institute pada tahun 2023, tercatat 217 peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama-Berkeyakinan (KBB) dengan 329 tindakan. Peristiwa dan tindakan itu dibedakan, di mana peristiwa merujuk pada kejadian yang terjadi pada satu hari yang sama, sedangkan tindakan mencakup variasi pelaku pelanggaran dan kategori pelanggaran yang terjadi dalam satu peristiwa.

Dengan kata lain, satu peristiwa pelanggaran KBB dapat mencakup lebih dari satu tindakan pelanggaran. Data tersebut menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan tahun 2022, di mana tercatat 172 peristiwa dengan 334 tindakan. Fakta tersebut menggambarkan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pluralisme agama masih rendah. Padahal, Islam menekankan pentingnya toleransi dalam perbedaan, sebagaimana yang diajarkan dalam konsep ummatan wasathan.

Dengan demikian, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa fanatisme terhadap agama yang kita anut, seolah-olah hanya agama kita yang paling benar, harus dihindari. Kita juga tidak boleh menyalahkan agama lain yang berbeda dengan keyakinan kita. Sebaliknya, kita harus menjauhi sikap diskriminatif terhadap agama atau kepercayaan lain. Meskipun berbeda dalam keyakinan, pada hakikatnya semua manusia, terlepas dari agama yang dianut, tetaplah saudara. Kasih sayang dan penghormatan terhadap pemeluk agama lain merupakan bagian dari hablum minannas, yang juga menjadi ajaran Islam dalam interaksi antarmanusia.

Sebagai umat Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, konsep wasatiah dalam pergaulan lintas agama harus terus dilestarikan. Hal itu sejalan dengan pandangan Aristoteles tentang kebahagiaan, di mana kebahagiaan harus dibangun atas dasar keseimbangan—tidak kekurangan dan tidak berlebihan. Sama halnya dengan kehidupan beragama, menjaga harmoni antarumat, menghormati perbedaan, dan menjunjung persatuan adalah keutamaan yang harus diraih. Sikap saling menjaga, tidak saling mencaci atau menghina, serta menghindari fanatisme buta terhadap agama sendiri akan menciptakan hubungan harmonis.

Penekanan pada moderasi dan toleransi dalam kemajemukan beragama menjadi kunci untuk membangun kehidupan yang damai, tenteram, dan bahagia (eudaimonik). Dengan nilai-nilai tersebut, masyarakat yang beragam tidak hanya akan hidup berdampingan secara damai tetapi juga akan saling mendukung dalam mencapai tujuan bersama sebagai sesama manusia. Itulah wujud nyata dari moderasi Islam yang berkontribusi pada terciptanya harmoni di tengah keberagaman dunia.

Hilmy Harits Putra Perdana
Hilmy Harits Putra Perdana
Mahasiswa S-1 UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam. Santri di Pusat Kajian Filsafat dan Teologi Tulungagung (PKFT). Motto: khoirunnas anfauhum linnas. Instagram: https://www.instagram.com/hilmyharits_.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru