25.6 C
Jakarta
Array

Etika Berdebat dalam Al-Qur`an (Bagian 3)

Artikel Trending

Etika Berdebat dalam Al-Qur`an (Bagian 3)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

3. Menghormati Lawan Bicara dan Tidak Merendahkannya

Memulai perdebatan dengan sikap merendahkan dan menghina akan menimbulkan serangan balik dari pihak lain, sehingga perdebatan tidak akan kondusif dan produktif, maka perlu ada ketenangan dan keseimbangan dalam berdebat dalam situasi apapun. Walaupun lawan bicara menggunakan cara-cara tersebut, pendebat yang baik teteap tidak boleh terpancing. Mengenai larangan merendahkan pandangan orang lain, meskipun itu adalah kekeliruan, Allah berfirman :

“Dan  janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”(al-An’âm 6 : 108)

Dalam ayat lain Allah berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[2] dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (al-ẖujarât 49 : 11)

Berdasarkan ayat di atas para ulama menyusun kode etik debat dan dialog menekankan agar tidak merendahkan lawan bicara, Imam al-Juwaini menulis, “seseorang hendaknya tidak memandang rendah lawan bicara karena kesalahan dalam pandangan atau argumentasi, sebab boleh jadi dia benar dalam hal lain, merendahkan atau mamandang rendah lawan bicara sama halnya memandang remeh api kecil,yang apabila dibiarkan akan merembet dan akan menimbulkan korban besar yang dapat membumihanguskan semua yang ada.”

Apabila dalam berdebat salah satu pihak merendahkan pihak yang lain maka hasil perdebatan tidak akan efektif, kendati pihak yang merendahkan itu menang dalam adu argument, lawan bicara tidak akan menerimanya karena disampaikan dengan cara yang salah, meskipun mereka mengakui kebenaran argumentasinya tapi akan sulit untuk menerimanya karena sudah diawali dengan emosi dengan merendahkan lawan bicaranya, bila sudah demikian bukan kebaikan yang akan dicapai melinkan kebencian antara pihak yang merendahkan atau menghina dengan pihak yang direndahkan atau dihina. Kebenaran yang disampaikan dengan cara yang salah akan sulit untuk diterima.

4. Menghindari Sikap Fanatisme dan Berlebihan

Sikap fanatik sudah ada sejak dahulu di setiap masyarakat. Dalam berdebat sikap ini juga muncul karena melihat kebenaran hanya pada diri sendiri. Salah satu bentuk fanatisme yang dikecam oleh al-Qur’an adalah sikap taqlid (mengikuti secara buta) tradisi nenek moyang, dan tidak mau mngkaji ulang. Allah berfirman :

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”(al-Baqarah 2 : 170)

Ulama besar al-Gazali, menilai sikap fanati sebagai salah satu penyakit yang banyak diderita para ulama yang disebutnya sebagai ulama as-sû’. Tidak jarang mereka merendahkan orang lain yang berbeda pandangan, sehingga menimbulkan serangan balik untuk memenangkan kebatilan. Sikap ini sekilas ingin memperjuangkan Islam dan membela umat Islam, tetapi bila diteliti justru merusak, demikian menurut al-Ghazali. Salah satu untuk menghilangkan sikap fanatisme berlebihan adalah dengan melatih diri untuk bersiap menerima keragaman yang merupakan sunatullah. Sikap merasa paling benar dan yang lain salah dapat mengganggu keberlangsungan debat atau dialog. Kebenaran bukan monopoli sekelompok orang. Allah berfirman :

“Katakanlah: “Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah”, dan Sesungguhnya Kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.” ( Saba’ 34 : 24)

Ayat diatas menunjukan adanya asas netralitas yang dijunjung tinggi oleh al-Qur’an dalam berdebat. Di situ tida ada keraguan dalam hal siapa yang benar dan siapa yang sesat, tetapi asas netralitas dalam berdebat menuntut agar keduanya didudukkan dalam posisi yang sama, agar mereka yang terlibat dalam berdebat dapat berpikir dan memilih apa yang benar dengan penuh kesadaran, bukan paksaan.

5. Menghindari Sikap Tidak Mau Mengalah dan Ingin Menang Sendiri (egois)

Berdebat sejatinya dapat menghilangkan sifat merasa lebi dari orang lain, dan ini bisa dicapai dengan cara berendah hati untuk menerima kebenaran.karena itu sikap egois hanya akan berujung pada debat kusir yang tidak bermanfaat dan hanya membuang waktu. Itulah yang disebut al-Mirâ seperti dalam surat al-Kahfi ayat 22 yang telah dijelaskan di atas. Dalam sebuah hadis, mereka yang meninggalkan sikap Mirâ meskipun ia benar dijanjikan oleh Rasulullah tempat di surge. Demikian pula yang meninggalkan dusta walaupun sekedar bercanda dan orang yang selalu berhias diri.

Sikap egois dapat menutup berlangsungnya debat, sebab mendorong kedua pihak yang terlibat dalam berdebat untuk berpikiran salah, yaitu perdebatan yang mereka lakukan lebih seperti sebuah pertandingan yang intinya mencari siapa yang menang dan kalah bukan mencari kebenaran, tetapi segala upaya dilakukan untuk menggiring lawannya kedalam berdebatan panjang yang tidak berujung dan hanya menghabiskan waktu tanpa hasil yang kongkret. Sikap ini bertentangan dengan perintah untuk senantiasa berdebat dan berdialog dengan cara-cara yang terbaik seperti yang sudah dijelaskan dalam surat an-naẖl ayat 125. Keyakinan akan kebenaran yang dimiliki tidak sepatutnya ditunjukan melalui cara-cara yang tidak terpuji.

 

[1] Jangan mencela dirimu sendiri Maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.

[2] Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan sebagainya.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru