25.7 C
Jakarta
Array

Etika Berdebat dalam Al-Qur`an (Bagian 2)

Artikel Trending

Etika Berdebat dalam Al-Qur`an (Bagian 2)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Karena setiap pihak yang berdebat atau berdialog berusaha untuk memenangkan argumentasinya dengan berbagai cara , maka perlu ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya, sehingga tujuan yang ingin dicapai yakni kebenaran dapat terwujud. Ketentuan ini juga diperlukan agar perdebatan ataupun dialog yang diharapkan dapat mempertemukan perbedaan, tidak berubah menjadi perpecahan dan permusuhan, berikut adal etika-etika berdebat (mujadâlah) perspektif al-Quran :

1. Menggunakan kata yang baik, lemah lembut dan tidak keras kepala seperti firman Allah dalam surat Al-Nahl ayat 125 dan Al-‘Ankabut ayat 46.

 “serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”( Al-Nahl 16 : 125)

Ayat ini dipahami oleh sebagian ulama sebagai penjelasan tentang tiga metode dakwah yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah, tiga metode ini juga sangat perlu untuk dilakukan dalam berdebat ataupun berdialog, yakni dengan melihat lawan bicara, ketika berdakwah dikalangan cendikiawan yang memiliki pengetahuan yang tinggi diperintahkan untuk menyampaikan dakwah dengan hikmah, yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Sedangkan ketika berdakwah dikalangan kaum awam, diperintahkan untuk menerapkan mau’izhah, yakni memberikan nasihat dan memberikan perumpaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana, berbeda lagi ketika berdakwah dikalangan Ahl al-Kitab dan penganut agama-agama lainyang diperintahkan adalah jidâl/perdebatahn dengan cara yang terbaik, yaitu dengan logika dan retorika yang halus tidak dengan kekerasan.

Kata hikmah anatara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu , baik perbuatan maupun pengetahuan, hikmah adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan atu kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang apabila digunakan atau diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besat, serta mengahalangi terjadinya kesulitan yang besar atau lebih besar. makna ini ditarik dari kata akmah yang berarti kendali karena kendali menghalangi hewan/kendaraan mengarah kearah yang tidak diinginkan, atau menjadi liar. Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari ikmah. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun dinamai ikmah dan pelakunya pelakunya dinamai akîm(bijaksana).

Pakar tafsir al-Baqâ’i menggarisbawahi bahwa al- akîm, yakni yang memiliki hikmah, harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya, sehingga dia tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara dengan ragu, atau kira-kira dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba.

Kata al-mau’izhah diambil dari kata wa’azha yang berarti nasihat, mau’izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan. Sedangkan kata jâdilhum diambil dari kata jidâl yang bermakna diskusi atau bukti-bukti yang memathakan alasan atu dalih mitra diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkannya itu diterima semua orang atau hanya oleh mitra bicara.

Diungkapkan pada ayat diatas bahwa mau’izhah hendaknya disampaikan dengan asanah/baik, sedangkan perintah berjidâl disifati dengan kata asan/yang terbaik, bukan sekedar yang baik. Keduanya berbeda dengan ikmah yang tidak disifati oleh satu sifatpun. Ini berarti bahwa mau’izhah ada yang baik dan ada yang tidak baik, sedangkan jidâl ada yang buruk, baik dan terbaik. ikmah tidak perlu disifati dengan sesuatu karena dari maknanya telah diketahui bahwa ia adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasar ilmu dan akal, seperti yang dikatakan oleh Ibn ‘Âsyur bahwa ikmah adalah segala ucapan atau pengetahuan yang mengarah pada perbaikan keadaan dan kepercayaan manusia secara bersinambung. Di sisi lain ikmah yang disampaikan itu adalah yang dimiliki oleh seseorang akîm dan ini tentu saja akan disampaikan setepat mungkin, sehingga tampa menyifatinya dengan satu sifatpun otomatis dari namanya dan sifat penyandangnya pastilah dalam bentuk yang paling sesuai.

Adapun mau’izhah, baru akan mengena hati sasaran bila ucapan itu disampaikan dengan halus dan lemah lembut disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang menyampaikannya. Inilah yang bersifat ẖasanah, kalau tidak, itu adalah mau’izhah yang buruk yang harus dihindari, di sisi lain karena biasanya mau’izhah digunakan untuk mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang baik, dan ini biasanya dapat mengundang emosi, baik dari yang menyampaikan mapun yang menerimanya, maka mau’izhah sangat perlu untuk mengingatkan kebaikannya itu.

Mau’izhah yang bersifat asanah itu disampaikan dengan kata-kata yang baik dan lemah lembut begitu juga ketika dalam berdebat/berdialog, seperti pesan Allah kepada nabi Musa ketika akan menghadap Firaun dalam firmanya surat Thâhâ ayat 43 – 44 :

“Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas, Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut”.

2. Berbekal Ilmu dan Menggunakan Argumentasi yang Kuat

Debat yang konstruktif hanya dapat dilakukan oleh mereka yang menguasai materi dialog atau debat. Allah mengingatkan agar tidak berdebat tanpa bebekal ilmu karena akan mudah terglincir kepada jalan setan, Allah berfirman :

 “Diantara manusia ada orang yang membantah tentang Allah[1] tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti Setiap syaitan yang jahat.”(al-ẖajj 22 : 3)

Ayat yang sebelumnya menjelaskan keadaan semua manusia menjelang kiamat atau saat kiamat, semua takut, tapi ada manusia yang ketakutannya berlanjut dan ada juga yang terhenti, yang percaya dan bertakwa akan memperoleh keselamatan, sedang yang durhaka akan mendapat siksa. Dan memang ada di antara manusia walau telah diberi penjelasan dan peringatan, yang buta hatinya serta tidak menggunakan pikirannya sehingga memperdebatkan sifat-sifat Allah yang maha Esa dan mengingkari kekuasaanNya membangkitkan manusia dari kubur.  Perdebatan dan perbantahan itu dilakukan tampa pengetahuan, yakni tampa dasar dan pemikiran bahkan dengan kebodohan dan dengan mengikuti secara sungguh-sungguh, jejak dan tipu daya setiap setan yang sangat jahat, telah ditetapkan terhadapnya yakni terhadap setan yang sangat jahat itu, bahwa siapapun yang menjadikannya kawan dan mengikuti rayuannya, maka pastilah dia yakni setan it uterus menerus menyesatkan, dan memberinya petunjuk yang membawanya ke siksa neraka.

Dari ayat di atas telah jelas bahwasanya berdebat tampa ilmu hanya akan membawa pada keburukan karena setiap orang berdebat akan mempertahankan argumentasinya dan ketika argumentasinya itu tanpa dilandasi oleh ilmu itu hanya akan mengikuti emosinya saja  dan tanpa disadari telah mengikuti jejak setan yang menyesatkan.

Dalam surat yang lain Allah juga menjlaskan bantahan orang-orang kafir yang tidak berlandaskan ilmu pengetahuan, mereka hanya mengikuti nafsu mereka saja. Allah berfirman :

“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.” (Luqmân 31 : 20)

Allah telah memberikan anugrah dan nikmat-nikamt yang sudah jelas namun diantara manusia berbeda-beda dalam menyambutnya, ada yang patuh serta mengakui keesaanNya, serta mensyukuri nikmat-nikmat itu, dan ada juga yang membantah tentang keesan, agama dan tntunan Allah dengan bantahan tanpa dasar ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari siapapun yang memiliki otoritas, baik secara lisan maupun tertulis. Bahkan mereka membantah setelah ilmu membuktikan kebatilan pandangannya, atau membantah tanpa berdasar petunjuk, yakni hasil pengemabngan nalar atau jiwanya yang suci tampa obyektif atau tanpa kitab yang bercahaya yakni keterangan kitab suci yang dapat dijadikan pelita hidup serta memberi penerangan kepada kebenaran. Pada ayat selanjutnya Allah berfirman :

”Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”. mereka menjawab: “(Tidak), tapi Kami (hanya) mengikuti apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya”. dan Apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?” (Luqmân 31 : 21)

Dalam setiap dialog, setiap pihak yang terlibat hendaknya mengajukan argumentasi dan bukti yang dimilikinya. Sikap emosional akan berdampak kontra produktif dala perdebatan. Perhatikan sikap al-Qur’an dalam menghadapi dakwah ahl al-kitab bahwa merekalah yang layak masuk surge. Allah berfirman :

“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”.(al-Baqarah 2 : 111)

Sikap senada juga dapat ditemukan dalam QS. Âli ‘Imrân : 39 dan QS an-Nml : 64. Karena itu tidak diperkenankan melakukan debat bagi mereka yang tidak menguasai masalah. Al-Qur’an mengingatkan :

“Dan  janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”(al-Isrâ’ 17 :36)

Pentingnya ilmu untuk meyakinkan orang dalam berdebat atau berdialog dinyatakan oleh Nabi Ibrahim ketika berdialog dengan sang ayah dalam rangka berdakwah. Allah berfirman :

“Wahai bapakku, Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, Maka ikutilah Aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.”(Maryam 19  : 43)

Dalam hal ini, ulama besar Ibnu taimiyah mengatakan: “kadang kala orang tidak boleh berdebat atau bedialog kalau tidak memiliki argumentasi yang kuat dan tidak menguasai masalah dengan baik. Dihawatirkan mereka yang keliru atau sesat akan mengalahkannya.” Jika salah satu pihak tidak menguasai masalah, maka itu pertanda perdebatan tidak akan produktif dan justru akan melemahkan pihak yang menguasai masala. Imam syafi’i pernah mengeluh dan berkata: “setiap kali aku berdebat dengan orang yang lebih pandai, aku berhasil mengalahkannya tapi kalau aku berdebat dengan orang bodoh, aku malah kalah.”

[1] Maksud membantah tentang Allah ialah membantah sifat-sifat dan kekuasaan Allah, misalnya dengan mengatakan bahwa malaikat-malaikat itu adalah puteri- puteri Allah dan Al Quran itu adalah dongengan orang-orang dahulu dan bahwa Allah tidak Kuasa menghidupkan orang-orang yang sudah mati dan telah menjadi tanah

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru