26.8 C
Jakarta
Array

Empati Digital bagi Generasi Milenial (Bagian II-Habis)

Artikel Trending

Empati Digital bagi Generasi Milenial (Bagian II-Habis)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sejatinya, tidak ada perbedaan mencolok antara “empati digital” dan “empati (konvensional)” dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya sama-sama merujuk pada kemampuan kognitif, emosi dan afeksi seseorang dengan memposisikan dirinya sebagai orang lain sehingga mampu mengenali perasaan dan emosi yang dialami orang lain.

Literasi digital secara holistik menekankan pada aplikasi berpikir kritis, berakal sehat, dan berempati, yakni membuka diri, menyelami perspektif lain sehingga mampu memahami dan merasakan dari perspektif berbeda, yang pada gilirannya memunculkan sikap dan karakter yang berintegritas dan humanis.

Berangkat dari kutipan it takes a village to raise a child, dalam konteks era digital, tantangannya adalah bagaimana mendidik dan mengasuh anak menjadi tugas dan tanggung jawab kolektif semua kalangan. Mulai dari tataran paling besar, yaitu negara (bahkan mungkin warga dunia) hingga unit terkecil, yakni individu. Bukan hanya tanggung jawab orang tua dan guru. Terlebih, jika hanya dibebankan pada orang tua semata.

Semua elemen harus terlibat aktif mempersiapkan dan membekali generasi milenial dalam kehidupan sosial dengan merujuk kepada etika, norma, dan kearifan, baik itu yang bersifat lokal maupun universal. Nilai-nilai agama dan kearifan lokal dapat menjadi code of conduct dalam berinteraksi dan bersosialisasi di internet dan media sosial. Nilai-nilai itu lalu didesain, dikembangkan, dan disosialisasikan secara konstan agar mudah diaplikasikan. Perlu ditekakan bahwa teknologi sejatinya hanyalah agar perolehan informasi dan proses komunikasi menjadi mudah dan efektif.

Singkatnya, memperkuat empati digital harus dilakukan dalam tiga tataran, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Negara, dalam hal ini pemerintah, tentu saja harus hadir dan memfasilitasi penguatan literasi digital yang holistik dalam undang-undang dan kebijakan. Pada tataran keluarga, perlu dikembangkan tradisi berdiskusi antar anggota keluarga tentang nilai dan tata krama yang berlaku universal dan dimana saja. Tekankan pada seluruh anggota keluarga bahwa prestasi yang hakiki adalah dengan menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama dan lingkungan. Bukan dengan capalan artifisial seperti seberapa banyaknya pengikut (followers) dan likes di jejaring sosial.

Pada tataran sekolah, warga sekolah perlu dibiasakan berpikir kritis dan praktik bersosialisasi, termasuk sosialisasi di dunia virtual untuk menumbuhkan empati digital. Pada tataran masyarakat, perlu dikembangkan sanksi sosial hingga perlindungan hukum. Penegakan hukum dan undang-undang tentang apa itu kejahatan siber, bagaimana kriterianya, dan apa saja sanksinya perlu dipertegas dan diberlakukan terhadap pelaku.

Membangun budaya debat dan kritik konstruktif didasari sifat “tabayyun” merupakan bagian dari empati digital. Konsep menghormati dan menghargai pendapat yang dicontohkan para imam madzhab juga semestinya menjadi landasan bagi generasi milenial muslim milenial dalam membangun dan memperkuat kultur berargumentasi. Selain itu, generasi milenial juga perlu didorong untuk aktif terlibat dalam berbagai perjumpaan dan pertemanan, hingga memiliki aktivitas bersama dalam dunia keseharian dan dunia virtual.

Tekankan bahwa media sosial adalah sarana membangun jejaring untuk memperkuat persaudaraan, bukan sebaliknya. Dengan terus mengedukasi generasi milenial mengenai literasi digital dan empati digital, ancaman dan bahaya internet pun tentu dapat dikurangi secara signifikan sekaligus akan memperkuat karakter dan integritas menghadapi era persaingan bebas.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru