29.9 C
Jakarta

Empat Alasan Mengapa Narasi Intoleran-Radikal di Mimbar Keagamaan Harus Dicegah  

Artikel Trending

KhazanahOpiniEmpat Alasan Mengapa Narasi Intoleran-Radikal di Mimbar Keagamaan Harus Dicegah  
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tempo hari, Kepala BNPT Komjen. Pol. Boy Rafli Amar menghimbau agar umat Islam waspada terhadap propaganda intoleransi dan radikalisme yang disebar melalui tempat ibadah dan mimbar keagamaan. Sayangnya, himbauan itu justru direspons negatif oleh sejumlah kalangan. Ada yang menuding, BNPT tengah menebar sentimen islamofobia.

Jika kita mau berpikir obyektif, himbauan Kepala BNPT tersebut sangat rasional, relevan, dan urgen. Tersebab, fenomena penyebaran narasi radikalisme dan intoleransi di mimbar keagamaan memang sudah sedemikian akut. Ironisnya, hal itu terjadi tidak hanya di tempat ibadah umum, namun juga merambah ke tempat ibadah di lingkungan pemerintah dan BUMN serta kampus-kampus negeri ternama.

Jika kita mau sedikit memnaca, sebanrnya banyak daya yang bisa digunakan untuk mendukung pernyataan Kepala BNPT tersebut. Misalnya data Badan Intelejen Negara (BIN) tahun 2019 yang menyebut ada sekitar 70 masjid yang terindikasi disusupi paham radikal. Atau data Kementerian Agama tahun 2020 yang menyebut bahwa paham intoleransi dan radikalisme disebarluaskan salah satunya melalui tempat ibadah dan mimbar keagamaan.

Sayangnya, ada sebagian kalangan yang buru-buru menuding BNPT menyebar sentimen Islamofobia. Padahal, ancaman intoleransi dan radikalisme itu nyata adanya. Ada setidaknya empat alasan mengapa kita wajib mencegah penyebaran narasi intoleransi dan radikalisme di tempat ibadah atau mimbar keagamaan.

Mengapa Intoleransi dan Radikalisme Harus Dicegah?

Pertama, agama merupakan ajaran yang suci alias sakral. Dengan begitu, tempat ibadah dan juga mimbar keagamaan idealnya juga dipahami sebagai ruang yang sakral. Adanya narasi permusuhan dan perpecahan di tempat ibadah atau mimbar keagamaan tentu sama saja dengan menodai kesucian agama itu sendiri.

Di masa Rasulullah, masjid memang didesain tidak semata sebagai ruang peribadatan. Namun, juga sebagai ruang publik untuk membahas dari mencari solusi atas segala problem sosial, politik, dan budaya. Namun demikian, Rasulullah tetap menjaga masjid agar tidak menjadi ruang mengampanyekan kebencian. Bahkan, Rasulullah melarang umat Islam melakukan tindakan sia-sia di masjid seperti mengobrol, tidur, atau bergunjing.

Kedua, narasi intoleran dan radikal yang disebar melalui mimbar agama cenderung lebih efektif memperngaruhi perilaku masyarakat ketimbang yang disebar melalui media lain. Selama ini, agama terutama bagi masyarakat Indonesia yang relijius, merupakan identitas sekaligus orotitas yang selalu menjadi acuan perilaku atau tindakan.

Artinya, segala sesuatu yang diklaim atas nama agama akan memiliki kedudukan tinggi di masyarakat. Demikian pula jika sentimen kebencian, perpecahan, dan permusuhan itu dilabeli unsur keagamaan, maka besar kemungkinan publik akan lebih mudah terpengaruh.

BACA JUGA  Memaknai Toleransi Beragama dan Menyudahi Radikalisme

Belakangan ini dalam konteks Indonesia kita melihat bagaimana agama menjadi alat paling efektif untuk mengadudomba masyarakat. Agama dieksploitasi dan dimanipulasi sedemikian rupa untuk menimbulkan perpecahan dan permusuhan di antara sesame masyarakat dan antara warga dengan pemerintah. Apa pun yang berbau agama, masyarakat akan bersikap sensitif dan reaktif. Itulah mengapa kaum radikal selalu menggunakan simbol-simbol agama untuk membangkitkan emosi publik.

Ketiga, narasi intoleran dan radikal yang disebar melalui tempat ibadah dan mimbar keagamaan akan dicap sebagai sesuatu yang suci dan mulia. Konsekuensinya, tidak sedikit umat Islam yang melakukan tindakan intoleran dan radikal lantas mengklaim tindakannya sebagai jihad memperjuangkan kejayaan agama (Islam). Inilah yang paling berbahaya. Yakni ketika seseorang melakukan tindak kejahatan, namun diatasnamakan kepentingan agama.

Adalah hal yang ironis manakala banyak umat Islam hari ini mengklaim tindakan kekerasan dan teror yang dilakukan sebagai jihad membela agama. Pandangan miring yang demikain itu jelas berbahaya. Jihad tidak bisa didistorsi maknanya menjadi tindakan kejahatan kemanusiaan berbasis kebencian.

Keempat, narasi intoleran dan radikal jelas akan berdampak pada munculnya disintegrasi bangsa. Terlebih dalam konteks negara Indonesia yang majemuk dari segi suku, ras, dan agama. Intoleransi dan radikalisme bisa dibilang merupakan akar dari semua jenis kejahatan kemanusiaan luar biasa yang belakangan menghantui kita. Intoleransi dan radikalisme mendorong individu atau kelompok bersikap destruktif terhadap individu atau kelompok lain hanya karena perbedaan identitas, pandangan hidup, atau sikap sosial-politik.

Sebagai negara majemuk, perpecahan bangsa ialah momok menakutkan. Tersebab, perpecahan bisa bereskalasi menjadi konflik horisontal yang menghancurkan bangsa dari dalam. Kita patut belajar dari tragedi kekerasan berbasis isu SARA yang terjadi di awal-awal era Reformasi. Kala itu, sentimen isu SARA dieksploitasi sedemikian rupa untuk membenturkan masyarakat dalam kubangan konflik dan kekerasan.

Kita tentu tidak mau kisah kelam tragedi kemanusiaan itu kembali terulang. Untuk itu, kita perlu mencegah berkembangnya narasi intoleransi dan radikalisme. Terutama yang disebarluaskan melalui tempat ibadah dan mimbar keagamaan. Agama terlalu suci untuk dijadikan sebagai pemicu konflik. Demikian pula, keutuhan bangsa dan negara ini teramat mahal harganya untuk digadaikan kepada kelompok intoleran-radikal.

Desi Ratriyanti
Desi Ratriyanti
Lulusan FISIP Universitas Diponegoro, bergiat di Indonesia Muslim Youth Forum.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru