31 C
Jakarta

Ekspansi Islam Transnasional dan Minusnya Spirit Kebangsaan

Artikel Trending

KhazanahPerspektifEkspansi Islam Transnasional dan Minusnya Spirit Kebangsaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Beberapa waktu yang lalu, Presiden Jokowi mengungkapkan kewaspadaannya terhadap ideologi transnasional. Menurutnya, ditengah era konektivitas internet global seperti saat ini, sangat penting untuk menjadikan Pancasila sebagai fondasi dasar dalam menjadi titik pijak pandangan kebangsaan di tengah ekspansi ideologi Islam transnasional.

Menurut Presiden Jokowi, urgensi untuk menjadikan Pancasila sebagai pijakan dasar tersebut berangkat dari kerapnya ideologi transnasional memberikan dampak negatif dengan terkikisnya spirit kebangsaan bagi masyarakat. Kecenderungan ideologi transnasionalisme yang terlalu bercorak internasionalis, kerap dipandang sebagai penyebab kurangnya spirit kebangsaan yang bercorak menyeimbangkan spirit nasionalisme dan internasionalisme.

Dalam setengah abad terakhir, tantangan transnasionalisme yang paling berdampak terhadap wacana kebangsaan kita adalah ekspansi Islam Transnasional yang dimulai pada tahun 1980-an. Menurut sebuah buku penelitian berjudul Ilusi Negara Islam (2009) mengatakan bahwa ada tiga gerakan Islam transnasional yang masuk dan berkembang di Indonesia: 1). Ikhwanul Muslimin, 2). Hizbut Tahrir, dan 3). Wahabi.

Pertama, Ikhwanul Muslimin. Kelompok ini didirikan oleh Hassan Al-Bana pada tahun 1928 di Mesir. Gerakan ini adalah gerakan politik yang bertujuan untuk membangkitkan peradaban Islam dan melawan kolonialisme yang terjadi di Mesir dan Timur Tengah pada umumnya. Salah satu aspirasi politiknya adalah dengan memformalkan ajaran Islam kedalam negara. Menurut mereka, islamisasi negara seperti ini adalah satu-satunya solusi bagi kebangkitan peradaban Islam.

Gerakan para ikhwan ini masuk di Indonesia pada kisaran tahun 1980-an. Kelompok ini melakukan infiltrasi ke Indonesia melalui gerakan lembaga-lembaga dakwah kampus yang menjamur di era Orde Baru. Pada masa itu, Pemerintah Orde Baru yang melakukan represi terhadap gerakan aktivisme sosial politik mahasiswa, kecolongan dengan gerakan lembaga dakwah yang sebenarnya juga berwatak politis.

Gerakan melalui lembaga-lembaga dakwah kampus ini berkembang sangat besar dan berhasil mendirikan gerakan keislaman yang mapan melalui kelompok pengajian Tarbiyah. Kemudian, secara politis gerakan ini berhasil mendirikan Partai Keadilan yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sosial (PKS).

Kedua, Hizbut Tahrir (HT). Gerakan ini didirikan oleh Taqiyuddin An-Nabhani pada 1952 di Yerussalem Timur yang saat itu masih menjadi bagian dari Yordania. Kelompok ini berdiri karena merasa kecewa dengan Ikhwanul Muslimin yang dianggap terlalu moderat. Aspirasi utama dari gerakan ini adalah untuk mendirikan kekhilafahan Islam secara global.

Gerakan ini pada tahun 1980-an juga sudah mulai masuk di Indonesia. Bahkan mereka juga pernah mendirikan cabangnya di Indonesia dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun, lembaga mereka beberapa waktu yang lalu telah dibubarkan oleh pemerintah karena menolak prinsip kebangsaan.

BACA JUGA  Lawan Propaganda Radikalisme di Media Sosial, Ini Strateginya

Ketiga, Wahabi. Gerakan ini beberapa abad yang lalu didirikan oleh seorang ulama’ konservatif di Arab Saudi bernama Muhammad bin Abdul Wahab. Gerakan ini memiliki spirit untuk melawan tradisi yang meraka anggap sebagai bid’ah dan khurafat di masyarakat.

Gerakan Wahabisme masuk di Indonesia pada tahun-tahun yang sama dengan infiltrasi Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Gerakan Wahabi memiliki kekuatan ekonomi yang lebih kuat dibandingkan dengan dua organisasi Islam transnasional sebelumnya.

Gerakan Wahabisme konon disokong oleh pemerintah Saudi melalui lembaga Rabihtat Al-Alam Al-Islami atau International Islamic Relief Organization (IIRO) yang kemudian menyalurkan dananya kepada lembaga di Indonesia bernama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

Kemudian, melalui lembaga tersebut kemudian gerakan Wahabisme masuk ke Indonesia melalui berbagai strategi dan skema. Mereka misalnya memberikan beasiswa kepada para pelajar beasiswa untuk kuliah di Arab Saudi atau memberikan pembiayaan terhadap pendirian berbagai masjid di Indonesia. Para alumni beasiswa tersebut belakangan yang menjadi aktor penyebaran Wahabisme di Indonesia.

Krisis Kebangsaan Kaum Islam Transnasional

Gerakan Islam transnasional ini memiliki problem dalam integrasinya dengan wacana kebangsaan di negara yang mereka masuki. Spirit mereka yang terlalu menganggap Islam sebagai satu-satunya alternatif masa depan politiknya, sehingga sering membenturkan dan menganggap spirit Islam bertentangan dengan wacana kebangsaan.

Padahal, Islam sebenarnya tidak perlu dibenturkan dan dipertentangkan dengan spirit kebangsaan. Adapun klaim kaum Islam transnasionalis yang menganggap Islam bertentangan dengan spirit kebangsaan telah disanggah oleh eksperimentasi yang sudah dilakukan oleh dua organisasi keislaman seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Dua organisasi keislaman tersebut berhasil membuktikan bahwa Islam tidak perlu dipertentangkan dengan kebangsaan. NU dan Muhammadiyah dalam khittahnya berfokus dalam pemberdayaan sosial dan ekonomi umat daripada fokus kepada gerakan politis seperti para kelompok Islam transnasional.

Krisis spirit kebangsaan pada kaum Islam transnasionalis tersebut adalah tantangan bagi dinamika perkembangan Islam dan integrasinya dengan spirit kebangsaan di Indonesia. Dan salah satu solusinya adalah kaum transnasionalis harus meneladani apa yang sudah dikembangkan NU dan Muhammadiyah yang berfokus kepada gerakan sosial, bukan politik.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru