31.6 C
Jakarta
spot_img

Eksklusivisme di Tengah Kita dan Ancamannya untuk NKRI

Artikel Trending

Milenial IslamEksklusivisme di Tengah Kita dan Ancamannya untuk NKRI
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – NKRI saat ini sedang menuju eksklusivisme akut. Beberapa bulan terakhir, isu yang ada di masyarakat tidak pernah bermutu dan tidak ada faedahnya untuk kemajuan bangsa. Kontroversi tentang hukum musik, misalnya, lalu huru-hara salam lintas agama, dan yang terkini adalah asal-muasal Ratib Al-Haddad. Semua polemiknya itu-itu saja, berulang-ulang, dan yang terburuk adalah ‘menggiring masyarakat ke lembah konservatisme’.

Alih-alih bergerak secara progresif menuju inklusivisme, eksklusivisme ternyata masih menghantui banyak masyarakat Indonesia—terutama umat Islam. Tentu saja, eksklusivisme, yang diartikan sebagai sikap-tindakan yang menonjolkan kelompok sendiri dan mengucilkan kelompok lain, adalah ancaman serius bagi stabilitas dan kemajuan suatu bangsa. Ia membuat masyarakat stagnan dan pseudo-intelektualisme.

Eksklusivisme di sini termanifestasikan dalam berbagai hal, seperti rasisme dan diskriminasi. Sikap-sikap tersebut tertanam dalam cara keberagamaan, politik, budaya, dan dapat diwariskan dari generasi ke generasi. Eksklusivisme diperkuat oleh faktor-faktor seperti ketakutan, ketidakpastian, dan kurangnya pengetahuan tentang kelompok lain. Lihat saja sebagai contoh adalah polemik salam lintas agama.

Lalu, mengapa eksklusivisme memerlukan atensi bersama? Sebab, ancamannya untuk NKRI sangatlah nyata. Pertama, ia memicu konflik dan kekerasan antarkelompok. Ketika satu kelompok merasa terpinggirkan dan dihina, mereka menggunakan kekerasan sebagai bentuk perlawanan. Konflik semacam itu bisa menghilangkan nyawa dan meneror masyarakat. Begitu juga konservatisme; di dalamnya memuat anasir perpecahan bangsa.

Kedua, ia menghambat kemajuan sosial-ekonomi. Ketika bangsa Indonesia terpolarisasi dan tidak saling percaya, maka mereka tidak dapat bekerja sama secara efektif untuk mencapai tujuan nasional bersama. Infrastruktur, pendidikan dan sains, teknologi, juga stabilitas politik akan nihil. Sehingga, yang ketiga, eksklusivisme—begitu juga konservatisme—membuat NKRI buruk di mata dunia: dianggap negara-bangsa yang terbelakang.

Isu-isu Eksklusivisme dan Konservatisme

Orang Amerika sudah berencana pindah ke Mars, orang Indonesia masih sibuk berdebat hukum fikih. Negara ini semestinya menjadi contoh toleransi dan harmoni bagi dunia. Namun, hari-hari ini, banyak isu yang mencuat di masyarakat dan menimbulkan perpecahan. Tiga contoh teraktual ialah hukum musik dalam Islam, keharaman salam lintas agama, dan polemik Ratib Al-Haddad. Ironis.

Pertama, hukum musik, polemik yang tidak perlu. Ini polemiknya sudah agak lama, sekitar sebulan lalu. Musik, sebuah ekspresi budaya yang universal, telah menjadi bagian integral dari kehidupan banyak orang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Namun tiba-tiba ia diperdebatkan: apakah boleh dalam Islam atau tidak. Beberapa kelompok konservatif, seperti Wahabi, mencak-mencak dan tebarkan cercaan sesama Muslim.

Perdebatan tersebut, yang seharusnya bisa diselesaikan dengan pendekatan inklusif, malah jadi bahan polemik yang memecah-belah umat. Kelompok konservatif Wahabi menggunakan isu tersebut untuk mencari kesalahan sesama, menganggap Muslim lain sesat, bahkan mengkafirkannya. Padahal, dalam konteks kebhinekaan, keragaman pendapat adalah hal yang niscaya, namun eksklusivisme-konservatisme mengacaukannya.

BACA JUGA  Ironi Wahabi: Ustaznya Munafik, Jemaahnya Dungu

Kedua, salam lintas agama yang menggoyahkan kerukunan. Di negara ini, salam lintas agama telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, yang mencerminkan sikap respek dan toleran—jadi ranahnya muamalah, bukan ibadah. Namun, praktik tersebut kemudian diperdebatkan oleh MUI secara konservatif, dengan menganggapnya sebagai bentuk sinkretisme yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kerukunan pun terancam.

Ketiga, yang masih hangat, ialah polemik Ratib Al-Haddad, sebuah amalan zikir yang berasal dari tradisi Ba’alawi. Hari ini ia jadi subjek perdebatan yang tidak perlu. Beberapa kelompok mengkritik amalan ini, menganggapnya sebagai bentuk bid’ah, dan lainnya menganggap bahwa pengarangnya tidak kredibel. Kontroversi ini tidak hanya memecah ulama dan habaib, tetapi juga menunjukkan kuatnya arus ekskluisvisme dan egoisme beragama di tanah air.

Sebab, ketika amalan tersebut diperdebatkan secara negatif, umat Islam kehilangan kesempatan untuk menghargai dan merayakan keberagaman dalam praktik keagamaan mereka. Alih-alih terjebak dalam polemik, mereka seharusnya bisa melihat amalan seperti Ratib Al-Haddad sebagai bagian dari mosaik khazanah Islam. Siapa pun yang mengarang tidak perlu dipermasalahkan. Apalagi jika sampai merenggangkan sesama Muslim.

NKRI Harus Waspada

Eksklusivisme di Indonesia berpotensi besar sebagai pemicu perpecahan dan disintegrasi bangsa. Jika ditelaah mendalam, ia dipicu oleh sejumlah faktor, seperti seperti kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang budaya dan agama lain. Keawaman dalam agama memantik stereotip dan prasangka negatif, yang pada akhirnya mengarah pada diskriminasi dan ujaran kebencian sesama.

Jika dibiarkan berlarut, maka ancamannya untuk NKRI relatif berbahaya, meliputi konflik kekerasan hingga kemandekan nasional. Eksklusivisme—dan konservatisme—memicu konflik antarkelompok secara intens, hingga mengakibatkan hilangnya nyawa dan merebaknya teror di masyarakat. Secara sosial, ekonomi, dan politik, eksklusivisme sangat merugikan. Di mata internasional pun, NKRI akan dilabelisasi secara negatif dan nir-progresif.

Karena itu, upaya-upaya komprehensif dari berbagai pihak mesti segera dilakukan. Pendidikan multikulturalisme dan inklusivisme harus digalakkan dalam kurikulum, sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Selain itu, pemantik perpecahan harus ditindak tegas agar tidak terbiasa memprovokasi masyarakat. Bangsa Indonesia sudah selesai dengan polemik keagamaan dan ke depan, baiknya, fokus untuk kemajuan negara.

Rakyat Indonesia mestinya sadar, bahwa eksklusivisme merupakan ancaman nyata bagi stabilitas dan kemajuan NKRI. Segenap bangsa perlu bekerja sama untuk melawan eksklusivisme dan membangun Indonesia yang lebih toleran, inklusif, dan progresif baik dalam hal sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan. Jika tidak, maka ancaman eksklusivisme untuk NKRI akan menjadi petaka nasional yang menakutkan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru