Harakatuna.com – Joko Susilo adalah salah satu mantan narapidana teroris (napiter) yang pernah terlibat dalam jaringan radikal di Indonesia. Nama Joko Susilo mungkin tidak sepopuler tokoh-tokoh besar terorisme lainnya, namun kisah hidupnya mencerminkan perjalanan panjang seorang individu yang terjerumus dalam dunia radikalisasi dan berusaha keluar dari jerat tersebut. Melalui proses panjang, Joko kini menjadi simbol dari pentingnya deradikalisasi dan upaya pemberdayaan eks napiter dalam masyarakat.
Joko Susilo lahir dan tumbuh besar di Indonesia, namun hidupnya mengalami perubahan drastis ketika ia terjerumus dalam dunia radikalisme. Sebagai bagian dari kelompok teroris yang terhubung dengan Jemaah Islamiyah (JI) dan kelompok-kelompok lainnya, Joko menjadi bagian dari jaringan yang bertanggung jawab atas sejumlah aksi terorisme di Indonesia. Radikalisasi yang dialaminya tidak terjadi dalam sekejap, melainkan melalui proses panjang yang melibatkan doktrinasi ekstrem dan pengaruh dari kelompok-kelompok yang memiliki pandangan radikal.
Seiring berjalannya waktu, Joko terlibat dalam sejumlah perencanaan aksi terorisme yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan Indonesia dan mendirikan negara Islam. Pengaruh pemikiran radikal yang mengutamakan kekerasan sebagai solusi menguasai banyak pikiran dan tindakannya. Seperti kebanyakan eks napiter lainnya, Joko juga mendapatkan pelatihan untuk melakukan serangan terhadap target-target yang dianggap sebagai musuh oleh kelompoknya.
Namun, perjalanan hidupnya berubah setelah ia ditangkap oleh pihak berwajib. Penangkapannya menjadi titik balik dalam kehidupan Joko Susilo. Setelah ditahan, ia menjalani masa hukuman yang tidak hanya memberikan waktu untuk merenung, tetapi juga memungkinkan dirinya untuk mulai bertemu dengan program deradikalisasi yang dirancang oleh pemerintah Indonesia. Program ini adalah salah satu inisiatif yang bertujuan untuk merubah pandangan hidup para eks napiter melalui pendekatan-pendekatan yang lebih humanis dan berbasis pada pemahaman agama yang moderat.
Selama di penjara, Joko mulai terlibat dalam berbagai kegiatan yang ditujukan untuk mengubah cara pandangnya. Salah satunya adalah pelatihan spiritual yang diberikan oleh lembaga-lembaga keagamaan dan para pembimbing yang berfokus pada penanaman pemahaman Islam yang lebih moderat dan damai. Proses ini tidak mudah, mengingat Joko sudah terlanjur terpapar pemikiran-pemikiran radikal yang telah mengakar dalam dirinya. Namun, secara perlahan ia mulai membuka hati dan pikirannya terhadap pandangan yang lebih luas.
Salah satu kunci dari perubahan Joko adalah kesadaran bahwa tindakan kekerasan tidak akan membawa kebaikan. Dengan bimbingan para ahli deradikalisasi, ia mulai memahami bahwa agama, terutama Islam, sebenarnya mengajarkan perdamaian, toleransi, dan kerukunan antar umat manusia. Kesadaran ini menjadi titik awal dari proses transformasi dirinya menjadi sosok yang lebih menerima perbedaan dan berkomitmen untuk hidup dalam harmoni dengan sesama.
Setelah menjalani proses panjang di dalam penjara, Joko akhirnya dibebaskan. Namun, meskipun ia sudah menjalani masa hukumannya, tantangan terbesar masih menunggu di luar sana: bagaimana ia bisa diterima kembali oleh masyarakat dan membuktikan bahwa dirinya bukan lagi bagian dari kelompok radikal yang berbahaya. Tentu saja, ini adalah proses yang penuh dengan tantangan, mengingat banyak orang masih memandangnya sebagai seorang teroris yang berbahaya.
Namun, berkat program deradikalisasi yang telah membantunya mengubah pandangan hidupnya, Joko mencoba untuk membuktikan bahwa ia telah benar-benar berubah. Ia mulai terlibat dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan yang bertujuan untuk menyebarkan pesan-pesan perdamaian. Dalam beberapa kesempatan, Joko berbicara tentang pengalaman hidupnya, bagaimana ia dulu terjerumus dalam dunia radikal, dan bagaimana ia akhirnya menemukan jalan keluar melalui pemahaman agama yang lebih moderat dan damai.
Meskipun begitu, perjalanan Joko untuk diterima kembali oleh masyarakat tidak selalu mulus. Banyak orang masih memiliki prasangka terhadapnya, melihatnya sebagai ancaman atau bahkan sebagai seorang yang masih terpengaruh oleh radikalisasi. Namun, Joko tidak menyerah. Ia terus berusaha menunjukkan melalui tindakan dan kata-katanya bahwa ia telah benar-benar meninggalkan masa lalunya yang kelam.
Pada saat yang sama, Joko juga menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam mengatasi ancaman terorisme di Indonesia. Ia terlibat dalam program deradikalisasi yang lebih luas, dengan menjadi narasumber bagi para mantan napiter lainnya. Joko berbagi kisah hidupnya sebagai contoh bahwa perubahan itu mungkin dilakukan, dan bahwa tidak ada orang yang terlalu terlambat untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar.
Joko Susilo, melalui pengalaman hidupnya, menjadi contoh konkret bahwa deradikalisasi bisa sukses jika diberikan kesempatan yang tepat. Proses ini tidak hanya melibatkan perubahan pola pikir, tetapi juga memerlukan dukungan dari masyarakat dan berbagai pihak terkait untuk menghindari stigmatisasi yang dapat menghambat reintegrasi mantan napiter ke dalam masyarakat.
Kini, meskipun masa lalunya sebagai seorang teroris masih menjadi bagian dari dirinya, Joko Susilo berusaha keras untuk menjadi bagian dari solusi, bukan masalah. Ia mengajak masyarakat untuk melihat lebih jauh daripada label teroris yang pernah melekat padanya, dan lebih memfokuskan pada potensi seseorang untuk berubah. Dalam pandangan Joko, setiap individu memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, asalkan diberikan kesempatan dan dukungan yang tepat.
Joko Susilo adalah contoh nyata bahwa seseorang yang pernah berada di titik terendah kehidupannya, bahkan terlibat dalam aksi terorisme, masih memiliki peluang untuk bangkit dan bertransformasi menjadi pribadi yang lebih baik. Ia menjadi simbol bahwa harapan selalu ada, asalkan ada niat yang tulus untuk berubah dan masyarakat memberikan ruang untuk pemulihan.
Kesuksesan Joko dalam menjalani proses deradikalisasi dan reintegrasi masyarakat memberikan harapan bahwa program serupa dapat diterapkan dengan lebih luas di Indonesia dan negara-negara lain yang menghadapi masalah serupa. Dalam menghadapi terorisme, bukan hanya penegakan hukum yang penting, tetapi juga pendekatan berbasis deradikalisasi yang memberi peluang bagi individu untuk menemukan kembali tujuan hidup mereka yang lebih baik.[] Shallallahu ala Muhammad.