33 C
Jakarta

Egoisme Habib Rizieq dan Revolusi (Tanpa) Akhlak

Artikel Trending

Milenial IslamEgoisme Habib Rizieq dan Revolusi (Tanpa) Akhlak
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sepertinya memang sudah menjadi hukum alam, bahwa yang namanya Habib Rizieq, itu tidak akan pernah lepas dari yang namanya polemik. Setelah kasus chat tiga tahun silam, pelariannya ke Arab Saudi, juga kembalinya ke Indonesia yang disambut puluhan ribu pengikutnya di tengah wabah COVID-19, kini ini diundang kemana-mana—menjadi pusat berkumpulnya massa mendengar orasinya. Ia tetap menjadi oposisi rezim Jokowi, dan Megawati tetap dianggap musuh bebuyutannya.

Polemik terbaru ada dua: menyebut Nikita Mirzani sebagai lonte (baca: pelacur) serta mendoakan Jokowi dan Megawati berumur pendek. Dua kontroversi tersebut disampaikan dalam momen yang seharusnya sakral, yaitu peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sekalipun PDIP merespons itu secara dingin, seharusnya cacian itu tak keluar dari lisan orang yang mengklaim diri sebagai ulama. Dengan kostum serba putih, di atas kursi putih bak simbol kesucian-kebesaran, Habib Rizieq mengatakan:

Saya bersumpah, Saudara. Demi Allah! Saya akan hinakan siapa saja yang menghinakan Al-Qur’an. Saya akan nistakan siapa saja yang menistakan Al-Qur’an. Saya akan hinakan dan nistakan siapa saja yang menyerang Islam, dan memusuhi Islam, serta merugikan umat Islam, Saudara. Takbir! Masih untung gua hina doing lu, kalau gua cekek?

Pernyataan tersebut menggambarkan, ada sejenis penyakit egoisme yang sangat akut dalam hatinya. Selaiknya, sebagai keturunan Rasulullah Saw., ia mencontohkan pekerti yang agung. Apalagi jargonnya NKRI Bersyariah dan Revolusi Akhlak, sangat tidak pantas untuk menyebarkan provokasi dari panggung ke panggung. Tidak saja bagi non-Muslim, bagi sesama umat Islam saja sikap demikian sangat tidak mengenakkan. Kenapa egoisme semacam itu dipertahankan sambari memakai jubah kesucian?

Kita patut mempertanyakan dua gagasan besar Habib Rizieq, yaitu NKRI Bersyariah dan Revolusi Akhlak. Bukan mengenai inti gagasannya, melainkan kenapa itu semua bertentangan dengan perilakunya. Dirinya yang egois: merasa benar sendiri, merasa saleh sendiri, merasa paling getol membela Islam, merasa paling suci, telah melahirkan kegaduhan yang tak berujung. Gagasan Revolusi Akhlak sendiri, kalau didedah, nyatanya nir-akhlak. Lalu kenapa umat masih meneladaninya?

Patutkah Meneladani Habib Rizieq?

“Kepadamu lonte oplosan, penjual selangkangan, saya imbau 1X24 jam kau tidak melakukan klarifikasi dan permintaan maaf di depan publik secara terbuka saya Maaher At-Thuwailibi secara terbuka bersama 800 laskar pembela ulama akan mengepung rumahmu. Saya serius, saya tidak main-main, kita lihat apa yang terjadi. Darah kami kucurkan untuk membela kehormatan cucu Rasulullah SAW,” cuitan Maheer, yang mengaku seorang ustaz, dalam akun Twitter-nya.

Cuitan yang sangat tidak sopan itu dibuat dalam rangka membela Habib Rizieq, yang membuat polisi kemudian berpatroli di kediaman Nikita, Jum’at (13/11) kemarin. Polemik Habib vs Lonte pun viral, hingga Habib Rizieq membawanya ke atas panggung di sebuah acara peringatan Maulid Nabi. Mereka yang terlanjur meneladaninya akan bermain otot, jika Sang Imam Besar dihina. Kesimpulan pun bisa dibuat, bahwa konsekuensi logis dari meneladani Habib Rizieq adalah satu: ketidaksopanan.

BACA JUGA  Menakar Jebakan Isu Pemilu Curang dari Kelompok Ekstrem-Radikal

Keegoisan Habib Rizieq dengan merasa paling berakhlak, dan menuduh negeri ini sudah dikuasai orang zalim, hingga ingin memelopori Revolusi Akhlak, sejujurnya memiliki dampak buruk kepada pengikutnya secara keseluruhan. Bahkan yang menjadi tokoh publik di antara mereka, hari ini, tidak lagi memiliki rasa sungkan untuk mencemooh sesama. Bukan teladan yang baik (uswah hasanah) yang ditampilkan, justru menjadi teladan yang buruk. Kebencian menjadi warisannya yang paling utama bagi umat.

Melihat fakta tersebut, meneladani Habib Rizieq merupakan ketidakperluan. Tantangan kita ke depan adalah meneladani tokoh yang tidak sekadar mengandalkan kekuatan otot, melainkan kejernihan hati dan pikiran. Hati yang penuh kebencian dan pikiran yang mengedepankan egoisme harus dibuang sejauh mungkin, karena agama Islam tidak sejorok itu. Akhlak, lagi pula, tidak perlu direvolusi. Ia tercipta karena ada teladan tadi. Ketika penggagas Revolusi Akhlak sendiri tidak menampilkan pekerti yang agung, maka revolusi yang diusungnya tidak lebih dari sebuah upaya perusakan etika-moral umat.

Revolusi (Tanpa) Akhlak

Ingin melakukan Revolusi Akhlak, tetapi mengesampingkan akhlak itu sendiri, harus kita sebut dengan apa, jika bukan kenaifan. Revolusi di seluruh dunia tidak lahir dari kenaifan, melainkan dari kesadaran kolektif tentang urgensitas perubahan ke arah kemajuan. Revolusi Prancis terjadi untuk menekan ortodoksi gereja, dan Revolusi Iran terjadi untuk menciptakan sebuh republik. Arah keduanya sama: kemajuan. Sementara itu, Revolusi Akhlak berusaha mematenkan eksklusivitas. Bukankah itu berarti upaya menuju kemunduran?

Jika revolusi tidak lebih dari sekadar gaungan belaka, maka gaungan yang memancing provokasi dalah revolusi yang tidak berakhlak. Term “Akhlak” boleh jadi dipilih karena mencerminkan religiusitas sebagaimana term “syariah” dalam wacana NKRI Bersyariah. Faktanya, semua itu justru mencederai sakralitas istilah-istilah keagamaan, dan yang terkena imbas adalah umat Islam secara umum. Non-Muslim, umpamanya, menjadi sensitif terhadap kedua term tersebut. Ulah siapa?

Memperbaiki akhlak mesti berangkat dari kesadaran personal untuk hidup damai di tengah perbedaan. Indonesia memiliki kesepakatan moral dan menjunjung tinggi etika. Akhlak, yang esensinya adalah inklusivitas, tidak bisa dipersempit maknanya menjadi “upaya memperbaiki orang lain”. Bagaimana mungkin seseorang menyadarkan orang lain ketika dirinya sendiri masih menampilkan egoisme dan ketidakberakhlakan?

Habib Rizieq punya ide yang bagus ketika ingin melakukan Revolusi Akhlak. Tetapi, ia harus memulai dari dirinya sendiri. Bahasa-bahasa provokatif, kata-kata yang menyakiti hati seperti kata “lonte”, serta ketiadaan moral dengan mendoakan keburukan kepada orang lain, harus ditinggalkan. Tegas tidak berarti menghina, dan kelembutan bukan berarti ketidakberdayaan. Nabi Muhammad sendiri, menurut Al-Qur’an, diikuti umat lantaran kelembutan-keagungan pekertinya. Karenanya, kita boleh sepakat dalam satu hal, bahwa sampai kapan pun, egoisme ala Habib Rizieq tidak akan menciptakan perbaikan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru