30.8 C
Jakarta
spot_img

Efisiensi Anggaran: Aktualisasi Pancasila sebagai Kebijakan Nasional Indonesia

Artikel Trending

Milenial IslamEfisiensi Anggaran: Aktualisasi Pancasila sebagai Kebijakan Nasional Indonesia
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kabar menggembirakan datang dari Istana Negara. Presiden Prabowo Subianto, dalam 100 hari kinerjanya, menerbitkan Inpres No. 1 Tahun 2025, tentang efisiensi anggaran. Di tengah tantangan ekonomi dan alokasi anggaran yang semakin ketat, efisiensi memanglah keniscayaan. Namun, mari urai dulu, sebenarnya apa itu efisiensi anggaran? Apakah sekadar pemangkasan biaya, atau yang lainnya?

Secara prinsipil, efisiensi anggaran ialah soal seberapa hemat sumber daya digunakan, juga seberapa besar manfaat dihasilkan dari setiap rupiah yang dikeluarkan. Pendekatan anggaran berbasis outcome merupakan jawaban: memastikan setiap pengeluaran terukur dan berdampak langsung pada masyarakat—kesejahteraan mereka sesuai amanat Pancasila. Berbeda dengan output yang fokus pada kuantitas, outcome mengukur nilai manfaat yang dirasakan si penerima kebijakan.

Sebagai contoh, pembangunan jembatan. Bukan soal panjangnya atau berapa lama proyek selesai, sebab outcome-nya adalah eskalasi akses warga terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Pendekatan semacam itu meniscayakan setiap institusi berpikir jauh ke depan, melampaui rutinitas laporan keuangan yang kerap ‘ketilep’ untuk acara-acara seremonial yang tak berguna; studi banding, sosialisasi, dan agenda buang-buang lainnya.

Tentu, kendati terdengar ideal, implementasi anggaran berbasis outcome punya tantangannya sendiri. Pertama, diperlukan indikator yang jelas dan terukur untuk menilai keberhasilannya. Kedua, transparansi dan akuntabilitas jadi syarat mutlak agar masyarakat menilai sendiri apakah kebijakan yang dicanangkan pemerintah benar-benar memberi dampak. Termasuk, dalam hal ini, penanganan radikal-terorisme.

Solusinya terletak pada perencanaan yang matang, evaluasi rutin berbasis data, dan kolaborasi lintas sektor—membuang ego sektoral ke tong sampah. Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan pelibatan masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan prioritas. Mereka lebih tahu soal keperluan kolektif, bukan? Artinya, efisiensi anggaran berbasis outcome bukan tentang menghemat uang saja, tetapi juga soal ‘dampak nasional’.

Inpres No 1 Tahun 2025: Dari Kebijakan ke Manfaat Nyata untuk Rakyat

Pada 22 Januari kemarin, Presiden Prabowo Subianto menandatangani instruksi presiden (Inpres) efisiensi belanja APBN serta APBD untuk Tahun Anggaran 2025. Instruksi itu jadi sorotan, bukan saja karena besarnya angka yang disebutkan—efisiensi senilai lebih dari Rp306 triliun—melainkan karena pendekatan yang menekankan nilai outcome atau manfaat nyata bagi masyarakat. kabar baik untuk rakyat, tentu saja.

Efisiensi anggaran adalah strategi yang besar dan komplek, juga tak populer. Memastikan setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan rakyat boleh jadi tak disukai oleh pejabat yang tamak. Apalagi, misalnya, dalam diktum yang dikeluarkan, efisiensi bahkan menyasar belanja operasional seperti pemeliharaan, perjalanan dinas, pengadaan peralatan, hingga nominal transfer ke daerah.

Jelas, Inpres tersebut tak serta-merta menyasar semua aspek belanja. Beberapa pos, seperti anggaran dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Badan Layanan Umum, dikecualikan dari pemangkasan. Pemerintah paham, menjaga keseimbangan penghematan dan keberlanjutan program strategi situ krusial. Efisiensnya tujuannya memusnahkan proyek-proyek fiktif kementerian/lembaga (K/L).

BACA JUGA  Dedoktrinasi: Resolusi Kontra-Radikalisme di Tahun 2025

Selain itu, langkah efisiensi mengharuskan setiap K/L menyampaikan rencana efisiensi kepada mitra Komisi DPR sebelum revisi anggaran diajukan kepada Menkeu RI. Proses tersebut urgen demi transparansi dan akuntabilitas, serta memerlukan waktu dan komitmen politik yang kuat agar tak menghambat pelaksanaan program prioritas itu sendiri. Langkah efisiensi tersebut, pada akhirnya, mesti dinilai dari dampaknya terhadap rakyat.

Outcome, bukan sekadar output, adalah indikator keberhasilan. Penghematan anggaran besar-besar lewat Inpres tersebut laik diterjemahkan lewat manfaat konkretnya: peningkatan akses masyarakat terhadap layanan publik, pembangunan infrastruktur yang merata, dan tentu penguatan ekonomi daerah. Efisiensi berbasis outcome memastikan bahwa kebijakan fiskal benar-benar berorientasi pada manfaat bagi masyarakat.

Inpres No. 1 Tahun 2025 merupakan kebijakan 100 hari kerja Presiden Prabowo yang orientasinya kesejahteraan rakyat. Namun, perlu juga dicatat, efisiensi itu tidak boleh sebatas jadi jargon. Perlu komitmen, sinergi, dan transparansi dalam pelaksanaannya. Rakyat akan menilai keberhasilan kebijakan tersebut dari seberapa besar manfaat yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-harinya. Kalau ada yang masih korup, penjarakan!

Efisiensi sebagai Aktualisasi Pancasila

Efisiensi anggaran yang dicanangkan pemerintah dalam APBN dan APBD 2025 adalah strategi pengelolaan fiskal super bagus, yang menyiratkan visi ideologis selaras Pancasila, terutama sila keempat dan kelima. Efisiensi yang berorientasi pada outcome mencerminkan upaya riil merevitalisasi demokrasi dan keadilan sosial sebagai dasar keberlanjutan pembangunan bangsa. Sekali lagi, ini kabar yang menggembirakan.

Efisiensi anggaran negara—yang melibatkan identifikasi, review, dan persetujuan DPR—merupakan wujud nyata demokrasi yang berkeadaban. Sila keempat Pancasila berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Langkah efisiensi, seperti diketahui, bukan keputusan sepihak; melibatkan koordinasi para K/L dan dialog dengan DPR, sebagai representasi suara rakyat.

Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” juga jadi landasan utama. Pemangkasan belanja negara yang tidak produktif itu kebijakan yang adil sekali. Transfer ke daerah, umpamanya, jadi instrumen krusial untuk memastikan bahwa pembangunan tidak terpusat hanya di wilayah perkotaan, tetapi juga menjangkau daerah-daerah terpencil yang selama ini tertinggal. Itulah titik tolak keadilan sosial.

Lebih dari sekadar angka, keadilan sosial juga terlihat dalam prioritas belanja negara yang tetap dijaga. Anggaran untuk pendidikan dan kesehatan yang tak dipangkas itu menegaskan bahwa penghematan mesti dilakukan tanpa mengorbankan hak-hak fundamental rakyat. Hal tersebut sangat linear dengan spirit sila kelima Pancasila; menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama pembangunan nasional. Jelas, itu perlu diapresiasi bersama.

Karena itu, efisiensi anggaran—jika dilakukan konsisten—berpotensi menciptakan budaya baru dalam tata kelola negara: anggaran lebih efektif, manfaat lebih besar untuk rakyat, dan keberlanjutan pembangunan yang adil. Dengan cara itulah, Pancasila mengejawantah sebagai ideologi negara sekaligus inspirasi kebijakan nasional pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru