32.1 C
Jakarta
spot_img

Edukasi Kesetaraan Gender sebagai Strategi Kontra-Ekstremisme, Mungkinkah?

Artikel Trending

KhazanahPerempuanEdukasi Kesetaraan Gender sebagai Strategi Kontra-Ekstremisme, Mungkinkah?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kajian mengenai gender merupakan disiplin ilmu yang sering menjadi perbincangan yang dinamis, temporer, dan berkelanjutan. Menurut penulis, kajian gender memiliki urgensi dalam pengembangan ilmu sosial yang bersifat interdisipliner, transdisipliner, dan multidisipliner. Hal ini mencakup berbagai dimensi, seperti sosial, hukum, politik, agama, dan ekonomi, yang terus berkembang seiring dengan tantangan zaman yang semakin kompleks.

Untuk memahami lebih dalam mengenai posisi dan peran ilmu gender, baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat, perlu diperhatikan masih adanya praktik patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang dominan atas perempuan, serta matriarki yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang dominan atas laki-laki. Kedua sistem ini mencerminkan struktur sosial di mana salah satu gender memegang otoritas lebih besar, baik dalam ranah keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat.

Sayangnya, dalam praktiknya, masih banyak individu yang mengabaikan persoalan gender. Kurangnya wawasan intelektual menyebabkan terbatasnya sudut pandang, sehingga melahirkan pemikiran yang fanatik dan cenderung melegitimasi pemahaman keagamaan maupun norma sosial secara tunggal dan absolut. Hal ini berdampak pada ketidakharmonisan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, karena perbedaan pemahaman sering kali menjadi penghambat dalam membangun kehidupan keluarga dan sosial yang lebih inklusif.

Selain itu, kesalahpahaman mengenai gender sering kali dikaitkan dengan anggapan bahwa peran laki-laki dan perempuan telah ditetapkan secara kodrati dan tidak dapat diubah. Dalam kepercayaan mengenai penciptaan manusia, perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan memang melekat secara fisik. Namun, penting untuk membedakan antara aspek kodrati yang bersifat fisik dan aspek non-kodrati yang berkaitan dengan struktur sosial. Sayangnya, banyak yang masih menganggap bahwa pembagian peran sosial bersifat mutlak dan tidak dapat dinegosiasikan.

Cara pandang seperti ini sangat mengkhawatirkan dalam membangun tatanan sosial yang menghargai keberagaman dan pluralisme. Ketika tidak ada ruang untuk diskusi yang kritis dan konstruktif antara laki-laki dan perempuan, proses pengambilan keputusan berbasis musyawarah dan mufakat akan mengalami kebuntuan.

Bentuk diskriminasi gender pun masih sering ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satunya adalah marginalisasi, di mana salah satu gender mengalami peminggiran atau pemiskinan, seperti tidak dilibatkannya perempuan dalam proses perumusan kebijakan atau musyawarah karena dianggap lebih emosional dibanding laki-laki.

Bentuk lainnya adalah subordinasi, yakni ketika salah satu gender ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dibanding yang lain. Misalnya, anggapan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang lebih rendah daripada laki-laki, atau bahwa keterlibatan laki-laki dianggap lebih penting dalam berbagai bidang kehidupan sosial.

Bentuk diskriminasi gender lainnya juga masih sering terjadi dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satunya adalah stereotipe, yaitu pelabelan atau pemberian cap negatif terhadap salah satu jenis kelamin. Perempuan, misalnya, mendapat stereotipe sebagai pelacur, perusak rumah tangga, atau berbagai anggapan negatif lainnya yang tidak berdasar.

Selain itu, terdapat pula beban ganda, yaitu kondisi ketika salah satu gender, biasanya perempuan, harus menjalani beban kerja yang berlapis-lapis. Banyak perempuan yang bekerja sebagai wanita karier atau pencari nafkah, tetapi tetap dibebani dengan pekerjaan domestik tanpa adanya pembagian tugas yang adil dari suami.

Bentuk-bentuk diskriminasi gender ini dikhawatirkan berimplikasi pada meningkatnya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa korban KDRT umumnya adalah perempuan. Berdasarkan Catatan Tahunan 2023 yang dirilis oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), tercatat sebanyak 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun tersebut. Data ini mencerminkan ironi besar, di mana realitas masih jauh dari keadilan gender.

Kekerasan terhadap perempuan dapat menyebabkan penderitaan fisik, seksual, maupun psikologis, seperti ancaman, pemaksaan, dan perampasan kebebasan yang dilakukan secara sewenang-wenang. Data dari World Health Organization (WHO) dalam laporan pertamanya pada tahun 2002 menunjukkan bahwa 40-70 persen kasus pembunuhan terhadap perempuan dilakukan oleh mantan pasangan mereka. KDRT melibatkan tindakan kekerasan sebagai cara untuk mempertahankan dominasi dalam hubungan, seolah-olah perempuan harus hidup di bawah kendali dan belas kasihan laki-laki.

Ketidakadilan gender ini tidak hanya menghancurkan perasaan dan martabat perempuan, tetapi juga menghambat mereka dalam mengembangkan pemikiran serta berekspresi secara bebas dan bertanggung jawab. Lebih parahnya, pemerkosaan dan pemukulan terhadap istri dianggap sebagai hal yang wajar di tengah situasi sosial yang sulit. Fenomena ini tidak terbatas pada kelas sosial, agama, kasta, atau wilayah tertentu, tetapi menjadi masalah universal yang dihadapi oleh perempuan di berbagai belahan dunia.

BACA JUGA  Menyelamatkan Perempuan dari Jebakan Propaganda Terorisme

Dalam konteks keluarga, sebelum membangun rumah tangga yang sakinah (tenang), mawaddah (penuh cinta-kasih), dan rahmah (penuh kasih-sayang), sangat penting untuk memahami konsep kesetaraan gender. Kepala KUA Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, Anis Fuad, menegaskan bahwa sakinah berarti ketenteraman, mawaddah mengandung makna kasih yang diwujudkan dalam sikap saling memberi dan memahami, sedangkan warahmah menekankan pada sikap saling menerima kekurangan masing-masing.

Penulis juga mengutip pendapat Alimatul Qibtiyah, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang dikenal sebagai bagian dari mazhab Sapen. Menurutnya, kolaborasi adalah kunci utama dalam menciptakan kesetaraan gender, bukan dominasi salah satu pihak. Dengan adanya kolaborasi dan musyawarah antara laki-laki dan perempuan, keseimbangan dalam keluarga dapat terwujud, sehingga tidak hanya menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga, tetapi juga memberikan energi positif bagi tatanan sosial yang lebih luas.

Mengutip pernyataan Tan Malaka, esensi dari pendidikan adalah “Mempertajam pengetahuan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan.” Falsafah pendidikan ini menginspirasi penulis untuk menaruh perhatian pada pendidikan sebagai sarana bagi kemanusiaan yang dapat memberikan manfaat bagi banyak orang.

Lebih dari itu, pendidikan kesetaraan gender menjadi penting sebagai upaya mengurangi ketegangan dalam rumah tangga, menyelesaikan konflik melalui dialog, serta membangun pemahaman yang lebih dalam antara pasangan mengenai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sikap kritis terhadap berbagai permasalahan dalam kehidupan berkeluarga sangat diperlukan agar dapat ditemukan solusi yang berpihak pada prinsip kemanusiaan.

Namun, dalam praktiknya, ajaran kesalehan dijadikan instrumen untuk mengeksploitasi perempuan. Salah satu contoh nyata adalah praktik yang dilakukan oleh kelompok ISIS. Organisasi ini memanfaatkan doktrin keagamaan untuk membenarkan tindakan kekerasan terhadap pihak yang tidak sepaham, sekaligus melakukan hegemoni dan eksploitasi terhadap perempuan, yang dijadikan sebagai budak seksual bagi para kombatan mereka.

ISIS juga melakukan persekusi terhadap perempuan yang menolak dipaksa menjadi budak seksual dengan menggunakan istilah “jihad seksual.” Yang lebih mengerikan, perempuan-perempuan itu dijual dan dibeli oleh beberapa pria yang berbeda.

Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka ditawarkan kembali kepada keluarganya dengan tebusan ribuan dolar, seolah-olah diperlakukan seperti barang dagangan di pasar ternak. Pengakuan ini disampaikan oleh Nadia Murad, peraih Nobel Perdamaian 2018, yang pernah menjadi korban penyiksaan, pemerkosaan, dan perbudakan seksual oleh ISIS.

Selain itu, laporan dari NU Online tahun 2014 berjudul “Tiga Perempuan Malaysia Jihad Seks bersama ISIS” mengungkap bagaimana doktrin keagamaan yang diselewengkan telah meracuni pemikiran perempuan hingga mereka bersedia bergabung dengan ISIS.

Misalnya, tiga perempuan Malaysia secara sukarela menawarkan diri sebagai pemuas nafsu para pejuang ISIS. Bahkan, di kamp tahanan ISIS di Suriah, perempuan militan ISIS memaksa beberapa anak laki-laki di bawah umur untuk dijadikan budak seksual dengan dalih membantu meningkatkan populasi khilafah.

Doktrin keagamaan yang diselewengkan seperti di atas tidak boleh dibiarkan menyebar di Indonesia. Hal ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian, terutama dalam menciptakan kesetaraan gender yang inklusif. Upaya ini dapat dimulai dari ruang lingkup terkecil, yaitu keluarga, dalam membina rumah tangga yang harmonis.

Kesetaraan gender dalam keluarga dapat diterapkan melalui diskusi yang sehat antara laki-laki dan perempuan, di mana keduanya memiliki kedudukan yang sama serta saling bertukar informasi dan menelaah isu-isu terkini. Jika pasangan memiliki anak, penting bagi mereka untuk menanamkan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan beragama. Hal ini bertujuan agar anak tidak mudah terpengaruh oleh paham ekstremisme keagamaan.

Penting pula untuk memahami dan menerapkan pembagian peran dalam rumah tangga secara adil, serta menyebarluaskan pemahaman ini kepada masyarakat luas. Terlebih lagi, keterlibatan dalam memberikan edukasi mengenai ideologi Pancasila dan bahaya ekstremisme keagamaan menjadi aspek yang krusial. Pemahaman keagamaan yang kontekstual dan berlandaskan prinsip kemanusiaan merupakan cerminan dari masyarakat yang berkeadaban. Jangan sampai ketimpangan gender justru menghambat upaya pencegahan ekstremisme keagamaan.

Peran berbagai stakeholders sangat diperlukan dalam mendukung kesetaraan gender dan mencegah ekstremisme keagamaan. Pemerintah, lembaga sosial, serta sektor swasta memiliki tanggung jawab dalam menjalankan program-program yang mengedukasi masyarakat mengenai isu gender dan bahaya ekstremisme. Sementara itu, pengusaha juga perlu berperan aktif dalam memberikan dukungan bagi kesejahteraan rumah tangga, sehingga tantangan yang dihadapi dapat diatasi secara lebih efektif.

Aji Cahyono
Aji Cahyono
Saat ini mengenyam pendidikan di Magister Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sebelumnya mengenyam Sarjana di Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Kesehariannya saat ini menulis kolom atau opini seputar atau isu aktual, serta mengkaji dalam perspektif akademik secara konstruktif.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru