26.1 C
Jakarta
Array

Diskusi Semakin Panjang karena Mantan Aktivis HTI Bicara

Artikel Trending

Diskusi Semakin Panjang karena Mantan Aktivis HTI Bicara
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Bandung. Hari telah berganti dari Senin ke Selasa (26-27/2/2018). Rasanya, bedah buku “Kontroversi Dalil-dalil Khilafah” yang digelar Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PW IPNU) Jawa Barat dalam rangka Harlahnya yang ke-64 ini menjadi bedah buku terlama. Pasalnya telah melewati hari. Saat moderator mau mengakhiri diskusinya, seorang aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tetiba bicara menggunakan pengeras suara yang menganggur di hadapannya.

Ia mengawali pembicaraannya dengan mengingatkan Nahdliyin yang hadir pada kesempatan tersebut, bahwa Hadlratussyaikh KH Hasyim Asyari adalah murid dari kakeknya pendiri HT Taqiyuddin al-Nabhani, yakni Syaikh Yusuf al-Nabhani.

Pria tersebut juga menyangkal pernyataan penulis buku tersebut, Sofi Mubarok, bahwa HTI menyatakan Pancasila kafir. “Saya kira terlalu berlebihan jika dikatakan bidah dan kafir,” katanya.

Saat moderator ingin melanjutkan acara dengan penyerahan buku oleh penulis kepada tiga peserta yang telah bertanya, Muhammad Sofi Mubarok pun meminta waktu untuk kembali berbicara guna menanggapi pembicaraan orang tersebut.

“Kalau khilafah jadi berdiri di Indonesia, Pancasila mau ditaruh di mana Pak?” tanya kandidat doktor UIN Jakarta itu.

“Kita tidak membahas Pancasila di HTI,” sangkalnya.

Mengutip pernyataannya Ainur Rofiq al-Amin dalam disertasinya, Sofi mengungkapkan bahwa dalam dokumen yang disembunyikannya, HTI menyebut Pancasila itu kufur, falsafatu kuffrin laa tattafiqu ma’a al-islam, falsafah kufur yang tidak sejalan dengan Islam. Hal tersebut jelas bertentangan dengan pandangan para kiai NU. Ia pun menengahkan kaul gurunya, KH Afifuddin Muhajir.

“Pancasila itu tattafiqu ma’a al-syariah aw laa yukhalifuha aw hiya al-syariah bi‘ayniha, sepakat dengan syariah atau tidak bertentangan dengan syariah ataupun Pancasila itu syariah itu sendiri,” kata Sofi.

Pembicara lainnya, Asep Salahuddin juga terpancing untuk kembali angkat suara. Ia yang hadir sebagai pembanding juga menanggapi pernyataan anggota HTI tersebut. Sebelum menanggapi dengan argumennya, ia bertanya kepada mantan aktivis HTI itu perihal namanya.

“Siapa namanya, punten?” tanyanya.

“Dodi,” jawabnya.

“Pak Dodi, namanya seperti (orang) NU,” balas Wakil Rektor IAILM Suryalaya tersebut yang segera disambut tawa para peserta.

Kang Asep menulis di jurnal Tashwirul Afkar edisi Maret 2018 dengan judul Pancasila, NU, dan Gerakan Kebudayaan. Dalam tulisannya tersebut, Ketua Lakpesdam NU Jawa Barat tersebut mengungkapkan bahwa tulisannya menjawab diskusi pada malam hari tersebut. Ia pun menyarankan agar anggota HTI membacanya, tidak hanya orang NU. Perdebatan melalui oral hanya menghabiskan waktu.

Sementara itu, KH Ahmad Dasuki yang hadir mewakili Ketua PWNU yang berhalangan hadir, mengapresiasi HTI dalam membangun keumatan yang lebih kuat. Walaupun demikian, NU memiliki gerakan yang berbeda, yakni demi menjaga keutuhan bersama.

“NU tidak pernah memusuhi HTI ataupun lainnya. Tetapi yang kita perjuangkan adalah kemaslahatan bersama,” tegas Kiai Dasuki.

Tujuan HTI, menurut Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat itu, tidaklah salah. Tetapi caranya bermasalah. “Cara yang harus kita bangun adalah cara yang sesuai dengan karakter dan situasi kondisi (Indonesia),” katanya pada suatu diskusi tahun lalu menanggapi pernyataan tentang penegakan syariah oleh HTI.

Kiai yang aktif mengamati HTI sejak tahun 1996 itu juga menanggapi pernyataan anggota HTI berkaitan dengan silsilah keilmuan Mbah Hasyim yang pernah berguru pada kakeknya Taqiyuddin al-Nabhani. Ia pun membaca dan mengamalkan Afdal al-salawat dan Sa’adat al-Darain. “Nasab secara genealogi itu belum tentu nasab secara ahlussunnah wal jamaah,” katanya.

Meskipun terjadi adu argumen dan berdialektika, para pembicara dan mantan aktivisi HTI itu pun berjabat tangan di akhir diskusi. Tidak ada saling hujat dan tidak ada caci maki. Para peserta pun mengikuti acara dengan penuh khidmat hingga benar-benar selesai ditutup dengan potong tumpeng sebagai tanda tasyakkur Harlah ke-64 IPNU. Acara berakhir pada pukul 01.00 WIB setelah lebih dari empat jam para hadirin berdialektika.

Dialog kebangsaan tersebut dihadiri oleh rekanita IPPNU Jawa Barat, anggota PMII Bandung, anggota Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi), dan perwakilan organisasi lainnya.

Syakirnf

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru