27.1 C
Jakarta
Array

Dinamika Psikologi Sosial Teroris

Artikel Trending

Dinamika Psikologi Sosial Teroris
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Permasalahan mengenai perilaku teror oleh para teroris saat ini masih menjadi ancaman yang sangat nyata di Indonesia. Aksi teror terus berlanjut, seolah-olah tidak pernah padam. Menurut Sukawarsini (2010), terorisme sebagai aksi kekerasan yang memiliki tujuan pemaksaan kehendak, membuat chaos dan publikasi yang memakan korban masyarakat sipil yang tidak berdosa, menunjukkan hubungan yang erat dengan politik. Aksi teror dan kekerasan sering kali dilakukan oleh kelompok-kelompok yang merasa dirugikan secara politik. Sudah banyak dibuktikan bahwa politik dan terorisme berhubungan satu sama lain. Jika arus komunikasi politik tersumbat, dalam arti media massa maupun sistem perwakilan rakyat tidak efektif dan tidak mampu memenuhi aspirasi rakyat, saat itulah terorisme muncul. Terorisme sama dengan perang, yaitu diplomasi dengan cara lain. Terorisme bersumber dari rasa ketidakpuasan dan frustasi politik.

Melihat sisi psikologis para teroris, mereka cenderung melakukan aksinya untuk menjadi “pahlawan” bagi kelompoknya. Dibekali misi dengan bumbu mendapat “kemuliaan” melalui aksi balas dendam atas perasaan tidak adil membuat para anggota kelompok teroris mau melakukan kejahatan tersebut secara suka rela. Orang-orang yang merasa tidak mendapat panggung akan dengan mudah tercuci otaknya sehingga rela melakukan aksi teror.

Kita harus ekstra hati-hati untuk tidak menyamakan kata ekstrimisme beragama dengan terorisme, karena kedua kata tersebut bukanlah sinonim. Terorisme adalah suatu bentuk ekstrimisme (baik karena agama atau yang lain). Banyak yang bersikap ekstrim dalam beragama tapi tidak serta merta menjadi teroris, oleh karena itu ekstrimis belum tentu teroris.

Lanjut mengenai definisi terorisme menurut beberapa ahli adalah sebuah aksi kekerasan (dalam skala domestik maupun internasional) yang diarahkan kepada masyarakat sipil (non-combatant) bukan dalam keadaan perang, dan dalam kasus tertentu diarahkan ke aparat pemerintah dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan politis, melalui cara menciptakan rasa takut, menebarkan ancaman dan paksaan di tengah masyarakat luas. Teroris percaya kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk meraih tujuan-tujuan ideologis tersebut.

Dinamika Psikologis

Tindakan teror yang dilakukan dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan politis, tidak lain adalah ‘kekuasaan kelompok’. Profil teroris itu sama dengan orang pada umumnya dalam hal psikopatologi. Dengan kata lain, teroris bukan orang yang mengalami gangguan kejiwaan saja. Sumber data menyebutkan lebih dari 95% aksi terorisme dilakukan oleh kelompok teroris, dan aksi terorisme kelompok berskala lebih besar dan lebih merusak dibandingkan aksi individual.

Kita tidak bisa mengabaikan adanya pelaku teror perorangan, yang disebut dengan lone-wolf terrorist. Mereka melakukan aksi secara individual tanpa keterikatan dengan organisasi tertentu, tanpa koordinasi, dan tanpa adanya struktur komando. Terlebih lagi, dilaporkan prevalensi kejadian lone wolf terrorism terus meningkat akhir-akhir ini.

Sarah Teich (2013) mengatakan bahwa pelaku berkategori lone wolf terrorist umumnya penderita psychopathology (kelainan jiwa) dan social ineptitude (anti-sosial dan tidak cakap bergaul). Penyumbang terbesar ketidak-seimbangan jiwa pelaku terror yaitu, anxiety (kecemasan), depresi, OCD (obsessive compulsory disorder), kelainan kepribadian dan kesepian, justru timbul sebagai akibat  penyakit sosial (social pathology) yang tumbuh subur di masyarakat kota sebagai efek samping proses pembangunan, urbanisasi dan globalisasi, termasuk gangguan kejiwaan pada korban perang/konflik serta pengungsi (forced migrant).

Beberapa penyebab dari terorisme itu sendiri adalah; pertama, tingginya sikap kesukuan dan separatisme pada individu; kedua, kemiskinan dan kesenjangan serta kelajuan globalisasi; ketiga; pengaruhnya paham demokrasi dan non-demokrasi; keempat; pelanggaran harkat kemanusiaan; dan kelima; radikalisme agama.

Berbagai hipotesis di bidang psikologi, di mana aksi teror masuk kedalam sebuah penyakit jiwa atau psikis pada manusia. Di mana terbagi menjadi tiga hipotesis; yaitu (1) Frustation-Aggresion Hypothesis (perceived deprivation atau persepsi kehilangan, permasalahan yang menyangkut kebutuhan politik, ekonomi, dan personal), (2) Negative Identity Hypothesis (marah dan perasaan tak berdaya yang melibatkan penolakan dari peran yang diinginkan keluarga dan masyarakat), (3) Narsissistic Rage Hypothesis (permasalahan mental, sosiopatik, arogan, narsistik, gangguan kepribadian).

Atas dasar penebab di atas, upaya untuk mrngatasi teroris agar tidak terus berlanjut, ada beberapaa pendekatan sebagai solusi antara lain; Pertama, Pendekatan Keamanan (hukum) yaitu menggunakan hukuman penjara yang telah disepakati dalam undang-undang, Kedua, Pendekatan Perilaku yaitu dipisahkan dari kelompoknya dan dilakukan pendidikan di tempat penjara digabung dengan kelompok tahanan lain. Ketiga, Pendekatan Ekonomi, yaitu diberi bantuan ekonomi, didalam lapas. Keempat, adalah Pendekatan Sosial, yaitu melalui relasi sosial, keluarga, masyarakat dan pergaulan. Kelima, Pendekatan deradikalisasi (counter-ideology, kognitif), yaitu dengan mengubah belief-nya. Karena di antara kecenderungan psikologis terorisme yang meliputi; belief, value, attitude dan behaviour, aspek belief ini lah yang merupakan hal tersulit untuk diubah kembali ke dalam pemikiran dan sikap yang jauh lebih normal.

Selain pendekatan di atas, yang lebih penting adalah upaya preventif, agar anak-anak kita tidak terjerumus ke kelompok teroris, maka anak-anak kita didik dengan landasan pendidikan agama yang benar sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad Saw. Agama Islam yang rahmatal lil alaamiin.

Ahmad Kholas Syihab, Mahasiswa Magister Psikologi Profesi UII Yogyakarta, Wakil Sekretaris PC GP Ansor Jepara dan Pengurus Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Jawa Tengah.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru