28.9 C
Jakarta
Array

Dilema Para Pengungsi Suriah di Yordania

Artikel Trending

Dilema Para Pengungsi Suriah di Yordania
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saat ini, sebagian negara tengah menghadapi persoalan yang cukup pelik, yakni kedatangan pengungsi eks militan ISIS/Daish. Bagi kombotan eks ISIS, tak ada cara lain untuk bertahan hidup selain mengungsi ke suatu negara. Begitupun bagi warga Suriah (red: pengungsi suriah), konflik yang berkepanjangan membuat mereka memutuskan untuk mengungsi ke berbagai negara.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa setidaknya sudah 8 tahun lamanya warga Suriah digempur oleh kelompok militan Daish/ISIS. Bisa dibayangkan dalam rentan waktu yang lama itu; bagaimana nyawa tak ada harganya. Pemenggalan kepala oleh ISIS sudah menjadi tontonan saban hari. Kepala manusia dijadikan bak bola, yang bisa ditendang kapan saja, juga menjadi pelengkap suasana konflik yang terjadi.

Ali-alih mencari keamanan dan perlindungan di Suriah, yang ada justru ancaman kehilangan nyawa dengan mengenaskan. Sebab, ISIS atau Daish brutalnya tak ketulungan; siapapun yang menentang, Daish pasti menyerang.

Namun kekuasaan tidak selamanya mulus. Kini tiba saatnya, warga Suriah mendapatkan kabar gembira. Kelompok yang menamakan dirinya sebagai Daulah Islamiyah itu akhirnya kehilangan Baghouz, sebuah kota terletak di Suriah Timur, dekat perbatasan Irak. Kehilangan kota ini dianggap sebagai babak berakhirnya kekhalifahan Daish.

Tak hanya itu, basis kekuatannya di Raqqa juga telah digempur. Sehingga frekuensi yang digunakan para jihadis untuk berkomunikasi sekarang sudah mati. Artinya, mereka benar-benar terjepit dan tidak banyak berbicara satu sama lain. Sejak inilah, pasukan Demokrat Suriah/Syrian Democratic Forces (SDF) bergerak mengumumkan penghapusan total apa yang disebut dengan Khilafah.

Ilusi Kemenangan ISIS

Kabar gembira ini tentu tersebar luas kepada seluruh warga Suriah, baik yang masih bertahan di Damaskus, ataupun yang sudah mengungsi. Salah satu negara destinasi pengungsi mereka adalah Yordania. Selain aman, Yordania juga memiliki pengawasan pemerintah yang ketat. Sehingga tidak sembarangan orang bisa keluar masuk negara tersebut tanpa urusan yang resmi dan jelas. Berbeda dengan Turki yang visanya sudah on arrival.

Di Yordania, tercatat kurang lebih 671.000 ribu pengungsi Suriah atas naungan UNHCR (Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi). Bahkan, sumber lain mengatakan jumlahnya sampai 1,2 juta pengungsi. Setengah dari jumlah itu adalah anak-anak. 83,2 persen mereka hidup bergabung dalam kerumunan warga setempat, dan sisannya 16.8 persen mereka hidup dalam tenda-tenda (camps) yang sudah disiapkan.

Sekitar 78,5 ribu pengungsi berada di tenda al-Ja’tari, 41 ribu di tenda al-Azraq, dan 7 ribu di tenda al-Imaroti. Walaupun pemerintah Yordania turut mendonasikan bantuan hingga 131 Triliun rupiah, akan tetapi 86 persen mereka hidup dalam kondisi kemiskinan. Kondisi mereka di tenda (mukhoyyam) sangat tidak layak, penuh dengan kekurangan. Terlebih ketika musim dingin datang menimpa. Banyak korban yang wafat akibat dingin yang sangat ekstrem.

Dilema Para Pengungsi

Hingga saat ini, tercatat 250.000 pengungsi Suriah dari berbagai negara dinyatakan sudah kembali ke tanah airnya. Tentunya dengan berbagai rintangan yang mereka hadapi. Artinya, sekitar 5,6 juta pengungsi Suriah masih berada di negara-negara tetangga, seperti Turki, Libanon, Mesir, Irak, Yordania, hingga negara-negara eropa.

Walau kemiskinan melanda, mereka juga enggan untuk kembali ke tanah kelahirannya. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya belum terjaminnya stabilitas keamanan warga. Ini dibuktikan dengan beberapa kasus penangkapan dan penculikan dari oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap warga Suriah yang baru datang dari negara-negara lain (pengungsi).

Faktor selanjutnya adalah, punahnya kebutuhan primer, seperti rumah, kendaraan, dan lain sebagainya. Sehingga, ketika mereka kembali, maka dituntut siap dengan segala konsekuensi, termasuk untuk memulai kehidupan dari nol tanpa adanya pekerjaan. Bahkan listrik dan minyak belum dipastikan ada.

Tak hanya itu, informasi yang tersebar di kalangan mereka, bahwa pengungsi yang sudah kembali ke Suriah menganggap suatu penyesalan, bahkan mereka bertekad ingin mengungsi kembali ke negara-negara eropa. Inilah yang menjadikan dilematis bagi para pengungsi Suriah di Yordania. Walau jarak kedua negara hanya sejengkal, mereka bingung dan ragu dalam memutuskan antara kembali ke negara asal atau menetap dalam pengungsian.

Melihat kondisi seperti itu, alangkah idealnya jika seluruh negara OKI dan negara-negara muslim lainya turut mendukung segala peroses kembalinya pengungsi Suriah, khususnya dari Yordania dan negara-negara lain.
Sehingga mereka bisa hidup tentram, damai, aman dan sejahtera. Disamping itu, pemerintah Suriah sendiri harus mengawal dan memfasilitasi proses kembalinya warga, serta bertanggung jawab atas kebutuhan logistik ketika sampai di Suriah. Karna biarbagaimanapun mereka adalah warga Suriah yang berhak mendapatkan hak dan perlindungan dari pemerintah.

Selama ini, PBB melalui United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) sudah berperan aktif dalam menegakkan kemanusian para pengungsi. Lalu, akankah negara-negara OKI dan negara muslim lainnya khususnya Suriah, akan tergugah membantu dengan kondisi seperti ini, kita lihat perkembangan selanjutnya.

Ridwan Bahrudin
Ridwan Bahrudin
Alumni Universitas Al al-Bayt Yordania dan UIN Jakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru