30 C
Jakarta
Array

Dilema Konseptual Khilafah HTI: Sebuah Ketergesaan Kesimpulan (3)

Artikel Trending

Dilema Konseptual Khilafah HTI: Sebuah Ketergesaan Kesimpulan (3)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Landasan  Historis

Sekalipun Hizb al-Tahrir menegaskan bahwa sejarah (tarikh) tidak dapat dijadikan sebagai sumber peraturan dalam Islam (al-nizam al-Islami) baik dari segi pengetahuan tentang suatu peraturan Islam maupun dari segi pengambilan dalilnya.[57] Demikian juga sejarah tidak bisa digunakan sebagai acuan dan asas untuk suatu kebangkitan umat manusia, dan asas untuk suatu kajian.[58] Akan tetapi pada sisi lain Hizb al-Tahrir juga mengatakan baik dalam kitab maupun dalam beberapa seminar yang diadakannya bahwa khilafah bukan sekadar ide yang ada di langit atau angan-angan saja, tetapi pernah mewujud di dunia nyata. Tampilnya khilafah di dunia nyata menurut gerakan Islam ini tidak hanya berjalan bulanan atau tahunan, atau puluhan tahun, akan tetapi sudah ratusan tahun atau berabad-abad.

Hizb al-Tahrir mengklaim, sejak masa Nabi sampai masa Turki Ottoman merupakan periode khilafah. Khilafah diklaim Hizb al-Tahrir sebagai teori negara yang sesuai dengan Islam dan pernah hidup dalam rentang sejarah sejak masa Nabi Muhammad saw hingga tahun 1924.[59] Sementara itu, penerapan Islam secara sempurna dalam arti diterapkannya ekonomi Islam, relasi pria-wanita, pendidikan, politik luar negeri dan peradilan sudah dimulai sejak zaman Nabi hingga tahun 1918 M sebelum penjajah menguasai negeri-negeri muslim.[60]

Klaim tersebut akhirnya diikuti dengan upaya membuat daftar para khalifah. Seperti pernyataan dunia Islam pernah dipimpin oleh 104 khalifah. Mereka terdiri dari 5 khalifah dari khulafa’ al-rasyidin (mulai dari Abu Bakar memimpin tahun 11-13 H hingga Al-Hasan 40 H), 14 khalifah dinasti Umayah (mulai Muawiyah [40-64 H] hingga Marwan bin Muhammad [127-133 H]), 18 khalifah dari dinasti Abbasiyah (mulai dari Abulabbas al-Safah memimpin tahun [133-137 H] hingga Muqtadir Billah [296-320 H], 8 orang khalifah dari Bani Buwayh (mulai Al-Qahir Billah [320-323 H] hingga Al-Qaim Bi Amrillah [423-468 H]), 11 orang khalifah dari Bani Saljuk (mulai Al-Mu’tadi Biamrillah [468-487 H] hingga Al-Mu’tasim Billah [640-656 H]). Hingga di sini 3.5 tahun tidak ada khalifah karena serangan Tartar, dan selanjutnya ada 18 khalifah (mulai Al-Mustansir Billah II  [660-661 H] hingga Al-Mutawakkil Alallah IV [914-918 H]), 30 khalifah dari Bani Utsman(mulai Salim I [918-926 H] hingga Abdul Majid II 1340-1342 H.[61] Tentu daftar ini banyak perdebatan dan manipulatif. Sebagai contoh kenapa Bani Utsman dimulai pada Salim I? Padahal sebelum Salim I ada 8 khalifah yang dimulai dari Usman I (1299-324 M), Orkhan bin Usman, Murad I, Bayazid I, Muhammad I, Murad II, Muhammad II Al-Fatih, dan Bayazid II.[62]

Itulah klaim bahwa khilafah pernah berjalan sekian abad. Sebenarnya klaim di atas kurang berdasar. Di sini peneliti akan mencoba mengeksplorasi sejarah yang terkait dengan khilafah; apakah dalam lintasan sejarah Islam, yang namanya khilafah selalu satu? Demikian juga apakah khilafah berlanjut berabad-abad tanpa putus? Apakah tiap pemimpin negara pasca Nabi hingga 1924 M selalu menyebut dirinya dengan khalifah?

Terkait dengan kesatuan khilafah seluruh dunia negara pasca Nabi hingga 1924 M, masih dapat dipertanyakan. Memang, dapat dibenarkan secara historis  bahwa sejak periode al-Khulafa’ al-Rasyidun (para Khalifah yang mendapat petunjuk, yakni pemerintahan masa Abu Bakr al-Siddiq hingga Ali Ibn Abi Talib) hingga awal era Abbasiyah (masa pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur), atau sejak tahun 11 H[63] hingga 136-158 H[64] terjadi kesatuan khilafah. Jadi dalam masa sekitar 125 tahun dapat dikatakan bahwa khilafah di dunia hanya ada satu.

Namun sejak munculnya khilafah Bani Umayah di Spanyol yang dibangun oleh Abdurahman I al-Dakhil pada 138 H,[65] ke-khilafah-an sudah tidak dapat disebut tunggal lagi. Jalaluddin al-Suyuti menjelaskan bahwa pada tahun tersebut, Abdurahman Mu’awiyah bin Hisham bin Abdulmalik bin Marwan dibaiat untuk memimpin khilafah.[66] Dinasti Umayah di Spanyol sejak kelahirannya menentang khilafah Abbasiyah dan mengaku dirinya sebagai penguasa dunia Islam.[67] Untuk mempertahankan pendapatnya, Al-Nabhani  menjelaskan:

In the case of Spain, the governors actually took over the Wilayah and declared independence, but the Wali there was never given Ba’yah as a Khaleefah for all Muslims. However, later he carried the title of Khaleefah of the people of that Wilayah, but not over all the Muslims. The Khaleefah of the Muslims remained one and the ruling belonged to him. The Wilayah of Spain in that situation was regarded as a Wilayah which was not under the authority of the Khalefah.[68]

Tentu jawaban al-Nabhani tersebut sulit dipertahankan karena memang dalam sejarah umat Islam, belum pernah ada seorang khalifah yang dibaiat oleh seluruh muslim. Realitas historis kebergandaan kekuatan politik umat Islam pada tahun-tahun berikut setelah munculnya khilafah Bani Umayah di Spanyol semakin beragam dan bercabang-cabang. Hasan Ibrahim Hasan membagi negara-negara yang mandiri dan otonom (al-duwal al-mustaqillah) selain negara Umawiyyah di Andalus di atas yang memimpin 138-397 H, adalah negara al-Adarisah di Maroko (172-311 H), negara al-Aghalibah  di Tunisia (184-269 H), demikian pula negara al-Tuluniyyin (254-292 H), dan negara al-Fatimiyyin (358-567 H).[69]

Seperti itulah realitas historis tentang kebergandaan kekuatan politik umat Islam sejak pemerintahan Abbasiyah di dunia Islam. Bahkan Bosworth dengan mengutip dari Zambaur mendata, di Spanyol saja terdapat beberapa dinasti Islam yang sering disebut dengan Muluk al-Tawaif. Dinasti ini selain wilayah kekuasaannya kecil, juga masa kekuasaanya tidak lama. Di sini dapat disebutkan di antaranya:[70] Hammudids di Malaga dan Algeciras (400-449 H/1010-1057 M); ‘Abbadids di Seville (1023-1091M); Zirids  di Granada (1012-1090 M); Banu Yahya di Niebla (1023-1051 M); Banu Muzyn di Silves, Algarve (1028-1053 M); Banu Razin di Albarracin, La Sahla (1011-1107 M); Banu Qasim di Alpuente (1029-1092 M); Jahwarids di Cordova (1031-1069 M); Aftasids atau Banu Maslama di Badajos (1022-1094 M); Dhun Nunids di Toledo (sebelum 1028-1085 M); ‘Amirids di Valencia (1021-1096 M);  Banu Sumadih di Almeria (1039-1087 M); Tujibids dan Hudids di Saragossa, Lerida, Tudela, Calatayud, Denia, Tortosa (1019-1142 M); Banu Mujahid dan Banu Ghaniya di Majorca (413-601 H/1022-1205 M).

Sedang masalah khilafah berlanjut berabad-abad tanpa putus masih debatable.  Memang secara realitas historis harus diakui yang namanya dinasti Islam atau lebih lunaknya dinasti muslim selalu ada, bahkan tidak hanya sampai 1924 M, tapi hingga saat ini. Dapat dicatat dinasti Sharif berdiri sejak 917 H/1511 M, yang hingga karya Bosworth diterbitkan masih eksis, dengan Raja Hasan sebagai pemimpinnya,[71] bahkan sampai sekarang. Demikian juga dinasti al-Sa’ud atau Wahhabiyyah 1159 H[72] sampai sekarang juga masih eksis.

Hanya saja, kalau berpijak pada konsep khilafah yang diyakini Hizb al-Tahrir, maka konsekuensi logis dari model negara seperti di atas sudah terhapus sejak masa Abbasiyah. Sebagaimana pendapat kelompok ini dalam uraian di atas, bahwa jika terdapat dua khalifah yang dibaiat, maka khalifah yang dibaiat terakhir harus dibunuh. Dengan demikian secara otomatis kekuasaan khalifah yang terakhir tidak sah atau batal.

Padahal kalau dirunut dalam sejarah, begitu banyak pemerintah atau negara Islam yang muncul, baik dalam keadaan yang baru atau merupakan hasil dari mengalahkan dan menaklukkan negara yang lama, atau hasil dari pembaiatan yang tidak sah karena sebelumnya masih ada khalifah. Fakta ini dapat dicermati semisal tentang kemunculan negara Abbasiyah yang merupakan wujud dari penaklukan terhadap klan Umayah. Dikisahkan bahwa Abu Abdulmalik bin Muhammad bin Marwan bin al-Hakam sebagai khalifah terakhir Bani Umayah di Damaskus dikejar kejar oleh keturunan Abbasiyah sejak dari Damaskus hingga Mesir. Sampai akhirnya Abdullah bin Ali, paman Abulabbas al-Saffah, berhasil memenggal kepalanya (132 H) dan diserahkan kepada al-Saffah. Sejak saat itu berakhirlah al-Dawlah al-Umawiyyah dan berdirilah al-Dawlah al-‘Abbasiyah.[73]

Begitu pula berdirinya khilafah Turki Utsmani (Ottoman) [680-1342 H/1281-1924 M], ketika itu masih ada khilafah Abbasiyah di Cairo yang memimpin sejak 659-923 H. Bahkan sekitar 923 H, Ottoman menaklukkan khilafah Abbasiyah Cairo.[74] Demikianlah, kisah tentang runtuh, tumbuh, dan tegaknya khilafah atau dinasti Islam adalah kebanyakan berangkat, kalau tidak karena penaklukan, dari pembaiatan yang pada saat sama masih ada khalifah lain.

Mengacu konsep Hizb al-Tahrir, seharusnya khilafah Abbasiyah dan Ottoman tidak sah, karena keduanya merupakan hasil penaklukkan khilafah Islam sebelumnya, atau hasil dari pembaiatan yang di saat sama masih ada khalifah lain. Hal ini akan lain apabila Hizb al-Tahrir berkehendak memegang konsep al-qahr wa al-Istila’ dan ahl-al-shawkah. Al-Taftazani menjelaskan bahwa imamah absah apabila dilakukan dengan salah satu dari metode berupa  (a) baiat oleh ahl al-hall wa al-‘aqd; (b) penunjukan atau putra mahkota; (c) al-qahr wa al-Istila’.[75] Sama dengan Taftazani, Badruddin bin Jama’ah mengemukakan bahwa untuk menjaga ketertiban umum dan persatuan, orang yang memiliki kekuatan (ahl-al-shawkah) harus dipatuhi meskipun bodoh tapi tidak menyimpang dari  kultur yang baik.[76] Hanya saja, hingga sekarang (2011M), gerakan ini masih belum mencantumkan dalam buku mutabannat-nya tentang konsep al-qahr wa al-Istila’ dan ahl-al-shawkah.

Dengan demikian terlihat inkonsistensi Hizb al-Tahrir yang pada satu sisi menjelaskan konsep baiat yang benar adalah tidak bolehnya dibaiat dua khalifah, bahkan yang menakutkan, khalifah yang terakhir baiatnya harus dibunuh. Sedang pada sisi lain, dalam buku dan banyak majalah serta selebaran dari Hizb al-Tahrir, mendeklarasikan khilafah telah mewujud sejak masa Nabi hingga 1924 M; bahkan pada setiap bulan Maret diperingati sebagai hari keruntuhan khilafah Islam Turki Ottoman.

Adapun terkait dengan masalah apakah tiap pemimpin dinasti Islam pasca Nabi hingga 1924M selalu menyebut dirinya dengan khalifah? Patricia Crone dan Martin Hinds menemukan data bahwa para pemimpin mulai dari era Umayah baik yang di Damaskus maupun di Spanyol,  dan Abbasiyah baik yang di Baghdad maupun di Cairo, pendiri dinasti Fatimiah, Mamluk di Mesir, dan Ottoman, menggunakan label khalifah, baik ditambahi dengan khalifah Allah, maupun khalifah Rasul Allah.[77] Hal yang menarik dalam penelitian Crone dan Hinds, penggunaan otoritas politik dengan label khalifah ini telah melebar hingga ke Jawa, bahkan 1984, Presiden Numayri dilaporkan berencana menjadikan Sudan sebagai republik Islam dan dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi.[78]

Hanya saja, yang perlu diperhatikan, tidak semua dinasti yang pernah ada dalam dunia Islam  menyebut dirinya dengan khalifah, dan menamakan negaranya dengan khilafah. Dapat dirujuk, dinasti Islam yang menyebut dirinya dengan Malik, Shah, dan Khan seperti dinasti Islam Rasulids di Yaman yang berkuasa sejak 625-858 H yang semua pemimpinnya menggunakan nama awal yang ditambahi dengan al-Malik.[79] Demikian juga dengan para Khan keturunan Jochi yang memimpin di Rusia Selatan dan Siberia Barat sejak 623-907 H. [80]

Dengan demikian, dalam sejarah Islam, panggung politik umat Islam tidak hanya  dikuasai oleh sebuah negara yang disebut dengan khilafah, dengan pemimpin yang disebut  khalifah. Justru yang terjadi, ada beberapa penguasa dengan berbagai julukan. Al-Suyuti (w. 911 H) dalam karyanya, Tarikh al-Khulafa’, tidak memasukkan semua dinasti Islam yang sudah ada pada masa hidupnya dalam kategori khilafah. Al-Suyuti hanya mengulas khulafa’ rasyidun, dinasti Umayah dan Abbasiyah dengan sedikit menambahi dinasti Umayah di Andalus, negara Tabataba, dan negara Tabaristaniyyah. Al-Suyuti mengklasifikasi Fatimiyyin sebagai negara yang tidak absah, bahkan disebut sebagai negara yang buruk (al-dawlah al-khabithah).[81] Sebagaimana diketahui, pada saat al-Suyuti hidup, apabila mengacu pada dinasti dan tahun yang dibuat Clifford Edmund Bosworth,  terdapat beberapa dinasti Islam seperti Seljuq di Persia dan Irak (429-590 H), Seljuq di Anatolia (470-707 H), dan dinasti Ottoman di Anatolia (680-1342 H).[82] Namun dinasti-dinasti tersebut tidak dikategorikan sebagai khilafah. Padahal saat al-Suyuti menulis karya tersebut, sudah ada dinasti Ottoman di Anatolia (680-1342 H/1281-1924 M) yang dalam hitungan Hizb al-Tahrir masuk dalam katagori khilafah.

Hal lain yang perlu dipaparkan adalah bagaimana Hizb al-Tahrir menyikapi sebuah hadis yang bertentangan dengan gambaran masa khilafah yang begitu panjang? Sebagaimana telah diriwayatkan hadis dengan redaksi, الْخِلَافَةُ ثَلَاثُونَ عَامًا ثُمَّ يَكُونُ بَعْدَ ذَلِكَ الْمُلْكُ yakni masa khilafah adalah tigapuluh tahun, setelah itu muncul kerajaan.[83] Dalam penelusuran peneliti, Hizb al-Tahrir dalam buku-buku resminya tidak mengangkat hadis tersebut. Namun dalam tulisan para pengikutnya terdapat beberapa komentar menarik.

Yahya Abdurrahaman dalam majalah al-Wa’ie menjelaskan bahwa masa tiga puluh tahun adalah masa khulafa’ rasyidun  plus Imam Hasan. Namun Yahya Abdurrahman tidak menerima  jika setelah masa 30 tahun tersebut adalah era kerajaan. Karena menurutnya akan bertentangan dengan hadis 12 khalifah, dan hadis akan munculnya khilafah di akhir zaman.[84] Hingga di sini kurang begitu jelas kenapa Yahya Abdurrahaman menolak pasca 30 tahun adalah masa kerajaan dengan dibenturkan hadis-hadis lain tanpa ada tarjih yang dibuat dan penjelasan yang memadai. Dalam hemat peneliti, penolakan ini kemungkinan ada kaitannya dengan pendapat Hizb al-Tahrir sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa khilafah sudah berjalan secara kontinyu hingga berabad-abad dan berakhir 1924 M. Dengan demikian sejak masa Nabi hingga 1924 M tidak ada yang disebut dengan kerajaan.

Tentu pendapat ini rentan kritik. Al-Maududi dengan gerakan Jama’ati Islami yang bisa dikatagorikan fundamentalis berpendapat, setelah Muawiyah memegang kekuasaan, sistem khilafah berganti menjadi sistem kerajaan. Lebih jauh al-Maududi menyitir riwayat bahwa Sa’ad bin Abi Waqqas mengucap salam kepada Muawiyah dengan “Assalamu’alaikum wahai raja.” Al-Maududi juga menjelaskan bahwa Muawiyah mengatakan, “Aku adalah raja pertama.” Selanjutnya dengan mengutip Ibnu Katsir yang mengatakan bahwa sudah sepatutnya ia dijuluki raja sebagai pengganti khalifah sebab Nabi telah menubuatkan hal tersebut dalam hadisnya bahwa khilafah hanya tiga puluh tahun, selebihnya akan datang masa kerajaan.[85] Terakhir, Din Syamsuddin mengutip John Obert Voll bahwa Muawiyah menjadi Caesar of Arabs  dari pada menjadi khalifah, sedang Ali bin Abi Thalib merefleksikan sebuah kekuasaan ideal yang dipimpin seorang saleh dan memperoleh petunjuk Allah.[86] Terakhir, apabila pendapat Abdurrahman itu dihadapkan dengan riwayat lain akan tampak bertentangan. Pada riwayat lain, kepemimpinan bani Umayah tidak dianggap khilafah, justeru dianggap sebagai kerajaan jelek.[87]

Selanjutnya Abdurrahman berupaya memperkuat pendapatnya dengan menambahi argumen dengan menyitir hadis yang menjelaskan bahwa masa 30 tahun adalah khilafah nubuwwah,[88] sehingga hadis tersebut tidak menafikan eksistensi khilafah setelah masa 30 tahun.[89] Logical implication  dari kutipan Yahya Abdurrahman, masa setelah 30 tahun adalah khilafah yang tidak berada dalam jalur nubuwwah, termasuk masa kepemimpinan salah satu dinasti Umayah, khalifah Umar bin Abdulaziz (99 H/717 H) .

Satu hal lagi yang menarik, kata mulk pada hadis di atas yakni hadis (الْخِلَافَةُ ثَلَاثُونَ عَامًا ثُمَّ يَكُونُ بَعْدَ ذَلِكَ الْمُلْكُ) tidak diartikan Yahya Abdurrahman dengan kerajaan, tapi diartikan dengan kekuasaan.[90] Artinya, Yahya Abdurrahman ingin menunjukkan bahwa arti hadis tersebut adalah setelah masa khilafah yang 30 tahun, akan muncul kekuasaan-kekuasaan. Tentu argumen ini dibuat agar masa  khilafah tidak terbatas hanya tiga puluh tahun. Namun argumen ini tidak compatible dan tidak comparable.

Dikatakan tidak compatible dan tidak comparable, karena  pada satu sisi Yahya Abdurrahman  memaknai khilafah pada hadis di atas sebagai institusi atau sistem politik yang mempunyai ciri khas tersendiri (khusus). Namun ketika tiba pada giliran memaknai mulk,  Yahya Abdurrahman membuat argumen berputar-putar seperti mata rantai (circular argument) dengan mengartikannya sebagai kekuasaan (umum). Padahal sudah maklum diketahui kalau yang disebut kekuasaan adalah makna umum (generik), sedang kerajaan dan khilafah adalah arti khusus. Artinya, yang namanya kekuasaan pasti berada dalam segala institusi politik baik berupa institusi politik khilafah, kerajaan, republik dan lain sebagainya.  Dengan demikian, agar mempunyai arti yang setara dalam hadis tersebut serta supaya ucapan Nabi tidak sia-sia, mulk harus dimaknai kerajaan, yakni setelah khilafah ada kerajaan, bukan setelah khilafah ada kekuasaan. Tanpa kekuasaan, akan menjadi tidak tepat bila institusi tersebut dianggap sebagai institusi politik. Karena memang salah satu ciri politik, menurut W. Philips Shively, adalah the exercise of power  (penggunaan atau pengelolaan kekuasaan).[91]

Selanjutnya Yahya Abdurrahman dalam artikel lain yang berjudul, “Khilafah akan segera tegak kembali” mengutip hadis andalan, harapan, penyemangat, penghibur dan pelipur, serta sering digunakan sebagai bukti akan tegaknya khilafah kembali nanti di akhir zaman. Hadis yang diriwayatkan Ahmad dan al-Bazzar tersebut adalah: “Akan muncul masa kenabian diantara kamu sesuai dengan kehendak-Nya keberadaannya, kemudian Allah akan mengangkat masa kenabian jika Dia berkehendak. Kemudian akan tiba era khilafah atas minhaj al-nubuwwah yang akan eksis sesuai dengan kehendak Allah, kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian muncul al-mulk yang lalim yang akan eksis sesuai dengan kehendak Allah, kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia berkehendak. Kemudian akan muncul al-mulk yang memaksa yang akan eksis sesuai dengan kehendak Allah, kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia berkehendak. Kemudian akan muncul era khilafah atas minhaj al-nubuwwah, kemudian Nabi diam.”[92]

Ide penting hadis di atas adalah adanya berita Nabi yang berisi lima periode perjalanan umat Islam. Periode pertama adalah periode kenabian, selanjutnya periode khilafah nubuwwah, kemudian periode kerajaan yang lalim, kemudian periode kerajaan yang memaksa, dan berakhir pada periode kembalinya khilafah atas minhaj al-nubuwwah.

Dalam hadis ini Yahya Abdurrahan tetap konsisten—untuk tidak menyebut ngotot—bahwa kata al-mulk diartikan dengan kekuasaan.[93] Salah satu argumen utamanya adalah tetap berangkat dari fakta bahwa khilafah menurutnya masih tetap eksis dan berlanjut hingga diruntuhkan penjajah Barat pada 1924 M.[94] Suatu argumen yang masih perlu dipertanyakan karena membenturkan realitas faktual dengan hadis yang kemudian mengalahkan hadis tersebut dengan mengalihkan maknanya. Padahal, umumnya gerakan-gerakan radikal cenderung tekstual dan rigid, namun karena mereka sudah terlanjur mempunyai konsepsi sekaligus sarana promosi penting bahwa khilafah telah berjalan berabad-abad, maka hadis di atas harus dialihkan maknanya.

Ibnu Taimiyah sebagai salah satu tokoh yang mempunyai metode berpikir mirip dengan al-Nabhani, mengartikan al-mulk sebagai kerajaan. Sebagaimana disitir Nurcholis Madjid, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa masa kepemimpinan Muawiyah adalah sebagai masa kerajaan dengan rahmat (al-mulk bi al-rahmah).[95]

Masih tersisa hal krusial tentang konsepsi bahwa khilafah telah berjalan berabad-abad. Bagaimanapun juga, apabila ditinjau secara historis, fakta justru membuktikan terjadinya banyak penyimpangan yang dilakukan para khalifah tersebut. Bukti konkretnya adalah hadis di atas. Seandainya diterima nalar bahwa khilafah eksis hingga 1924, maka hadis di atas secara gamblang menunjukkan, telah terjadi banyak penyimpangan, kecuali pada masa pendek sekitar 30 tahun, yakni masa khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah. Pendapat ini juga dipegang  Imam Nasafi, ulama kalam dan tafsir yang mengatakan bahwa pasca khilafah yang hanya tigapuluh tahun, kemudian muncul kerajaan dan keamiran.[96] Contoh lain adalah penyimpangan nyata pengangkatan putra mahkota, atau paling tidak menunjuk pengganti sekalipun bukan dari jalur ayah dan anak. Seperti dijelaskan Sir Thomas W. Arnold, pewarisan tahta masa Abbasiyah secara langsung dari ayah ke anak tidak terjadi pada 24 khalifah pertama, hanya 7 dari mereka yang mewariskan pada anaknya.[97] Hampir semua dinasti Islam sejak era bani Umayah, Abbasiyah, dan dinasti Islam lain, proses dan metode suksesinya ialah dengan penyiapan putra mahkota. Hasan Ibrahim Hasan dengan tegas mengatakan, “Muawiyah bin Abu Sufyan telah mengubah sistem syura yang merupakan pilar utama al-khulafa’ al-rasyidun menjadi model kerajaan keluarga yang menggunakan kekuatan senjata, politik, dan tipu daya.”[98]

Untuk menanggapi realitas historis tersebut, Hizb al-Tahrir telah memasang penangkal bahwa khilafah adalah dawlah bashariyah, bukan dawlah ilahiyah. Artinya, seorang pemimpin negara atau khalifah mungkin saja berbuat salah, lupa, maksiat, zalim, bahkan kekufuran.[99] Pendapat ini tampak sederhana dan benar, serta manusiawi. Namun problemnya, akan menjadi pembenar ketika terjadi kekeliruan yang dilakukan oleh khalifah. Memang dalam negara modern, terjadinya kesalahan adalah wajar. Namun hal ini berbeda dengan khalifah yang dalam konstruksi politik Hizb al-Tahrir begitu besar kekuasaannya dan sebegitu lama memegang kekuasaannya, karena seumur hidup.

Demikian pula penangkal lain yang digunakan oleh aktivis Hizb al-Tahrir terkait proses pengangkatan putra mahkota. Menurut kelompok ini, proses pengangkatan putra mahkota adalah salah, namun diakhiri dengan baiat. Artinya, sekalipun pengangkatan putra mahkota adalah salah dan melanggar syariah, namun putra mahkota yang telah diangkat kemudian dimintakan baiat kepada kaum muslimin. Dengan adanya permintaan baiat kepada kaum muslimin tersebut, jabatan khalifahnya putra mahkota menjadi sah.[100] Menariknya, majalah al-Wa’ie tersebut mengatakan bahwa Taqiuddin al-Nabhani menyimpulkan bahwa Muawiyah adalah khalifah yang dibaiat sebagaimana pembaiatan Abu Bakr.

Begitu juga penunjukan Muawiyah kepada putranya, Yazid bin Muawiyah, dianggap sama dengan penunjukan yang dilakukan Abu Bakr kepada Umar. Meski tidak persis, keduanya sama-sama melakukan penunjukan. Hal yang sama dilakukan khalifah setelah melakukan penunjukan putra mahkota, kemudian dilakukan baiat. Dengan model demikian, sistem tersebut tetap layak disebut sebagai khilafah.[101] Sungguh sulit dimengerti, walau terjadi proses baiat dengan akal-akalan tapi selanjutnya dianggap sebagai khalifah.

Dari paparan tentang landasan filosofis dan historis yang digunakan Hizb al-Tahrir, akan terbaca bahwa kelompok ini sedemikian rupa mementingkan, mengarusutamakan, dan menomorsatukan politik berupa terwujudnya sistem pemerintahan khilafah. Bahkan seperti telah dikutip sebelumnya, dalam salah satu bukunya, Afkar Siyasiyyah, dengan tegas dan berani dijelaskan bahwa akidah Islam merupakan pemikiran politik dan merupakan asas pemikiran politik bagi umat Islam. Lebih jauh ditegaskan bahwa perbedaan pokok antara akidah Islam dengan akidah lainnya terletak bahwa akidah Islam itu mempunyai dimensi akidah politik dan akidah ruhani. [102]

Hingga di sini, jika dicermati teliti, terdapat keganjilan. Di satu sisi, Hizb al-Tahrir menyimpulkan, akidah Islam merupakan pemikiran politik, dan menyatakan, menegakkan khilafah adalah kewajiban atau mahkota dari segala kewajiban dari Allah dan kewajiban utama, dan siapa yang menyepelekannya maka ia telah berbuat maksiat, bahkan maksiat paling besar. Namun di sisi lain, khilafah menurut  Hizb al-Tahrir bukan merupakan pokok agama. Hal ini bisa dilihat dari macam-macam akidah atau keimanan mereka yang berupa keimanan kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, kada dan kadar, demikian juga beriman adanya surga, neraka dan setan.[103] Padahal anggota Hizb al-Tahrir sering mengucapkan kalimat La Ilah Illa Allah, al-Khilafah Wa’dullah. Kalimat yang mempunyai muatan tauhid, kemudian tidak digandeng dengan Muhammad Rasulullah, tetapi redaksi kedua dihilangkan justru ditambahi dengan al-Khilafah Wa’dullah.[104] Ini pernyataan yang tidak konsisten. Sebenarnya akan menjadi konsisten apabila khilafah atau imamah menjadi salah satu pokok atau keimanan mereka, sebagaimana diyakini Syi’ah.

Apalagi, seperti disinggung di atas, barangsiapa menyepelekan dalam menegakkan khilafah, maka ia telah berbuat maksiat, bahkan maksiat paling besar. Jadi dapat disimpulkan di antara maksiat-maksiat yang ada, maksiat terbesar ialah tidak mau menegakkan khilafah.

Kalau dikomparasikan dengan firman-Nya akan jelas bahwa siapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia telah sesat (QS. 33:36),[105] dan masuk neraka secara kekal (QS. 4:14; QS. 72:23).[106]  Posisi sesat dalam pandangan Hizb al-Tahrir berada dalam wacana ushul atau aqidah (pokok agama).[107] Artinya, kesesatan adalah identik dengan kekufuran,[108] bukan kefasikan. Dengan demikian, posisi sesat bagi siapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul adalah berada dalam ranah kajian pokok agama. Kalau ranahnya adalah kajian pokok agama, berarti masuk wilayah keimanan atau akidah.

Dengan demikian, seharusnya, khilafah perspektif Hizb al-Tahrir berada dalam ranah pokok keimanan, setidaknya bagian dari aqidah. Terlebih lagi terdapat buku yang ditulis oleh mantan ketua umum Hizb al-Tahrir Indonesia yang isinya menggali sekaligus meyakinkan bahwa hadis-hadis terkait dengan khilafah adalah mutawatir secara makna.

Hafidz Abdurrahman menulis buku dengan judul “Khilafah Islam dalam Hadits Mutawatir bi al-Ma’na”. Dalam buku ini dia ingin menjelaskan bahwa masalah khilafah banyak dikutip dalam beragam hadis dengan perincian mata rantai periwayatan 25 sahabat, 39 tabi’in, dan 62 tabi’u al-tabi’in. Walhasil, bila dikaji secara makna akan bermuara pada kesimpulan bahwa khilafah adalah mutawatir secara makna.[109] Dengan demikian, hadis tersebut sebagai sumber dalil yang qat’i, maka sangat tidak layak mengatakan khilafah adalah khilafiyah, demikian juga kewajiban menegakkan khilafah adalah khilafiyah.[110] Sama tidak layaknya ketika mengatakan mengembalikan khilafah adalah utopis, khayalan, mustahil, dan romantisme sejarah, karena hal tersebut sama dengan mengingkari dan meragukan janji Allah dan akhirnya menjadikan akidahnya rusak dan binasa.[111]

Apabila keyakinan Hafidz Abdurrahman bahwa khilafah itu mutawatir secara makna, apakah ia konsisten dengan pernyataan tersebut? Artinya, siapa yang tidak meyakininya akan jatuh dalam lubang kekufuran. Terlebih khilafah ini wajib menurut Hizb al-Tahrir, sementara yang mengingkari realitas salat sunnah sebelum subuh saja bisa menjadi kafir.

Al-Nabhani dalam kitab al-Shakhsiyyah jilid I mengemukakan bahwa salat dua rakaat sebelum subuh adalah hukum syarak yang sifatnya sunnah, akan tetapi meyakininya adalah akidah. Siapa yang tidak salat dua rakaat sebelum subuh tidak apa-apa karena sunnah, akan tetapi siapa mengingkarinya berarti telah kufur (kafir), karena hadis terkait salat dua rakaat sebelum subuh adalah mutawatir.[112]

Inilah konsekuensi logis yang tidak disadari oleh Hafidz Abdurrahman ketika mengatakan dalil khilafah berasal dari hadis yang mutawatir makna. Ketidaksadaran yang berujung pada rasa ragu-ragu ini tampak ketika ia tidak begitu jelas saat menjawab masalah ini. Abdurrahman menjelaskan, “Sebagai hukum syariah, adanya khilafah ini telah dinyatakan oleh para ulama sebagai perkara yang vital  dalam Islam. Karena itu, sebagian ulama seperti Ibnu Abidin, berdasar kitab Sharh al-Maniyyah menyebut orang-orang yang mengingkari kefarduan tersebut sebagai ahlu bid’ah yang menyebabkan dirinya kafir, dengan catatan jika tidak ada shubhat. Namun sebagian lain karena bersikap hati-hati, tidak mau mengkafirkannya, sekalipun hukum tersebut dibangun berdasar ijmak sahabat. Alasannya masih ada berbagai kemungkinan.”[113]

Selanjutnya Abdurrahman menyimpulkan, “Namun, substansinya tetap, bahwa pengingkaran terhadap hukum adanya khilafah dan kewajiban menegakkannya merupakan bid’ah, yang tidak pernah dilakukan ulama Ahlusunnah maupun yang lain, kecuali sekte bid’ah seperti khawarij (al-najadat) dan Mu’tazilah (al-Asam dan al-Fuwati).”[114]

Dengan uraian Abdurrahman yang panjang lebar, maka sudah cukup tepat apabila khilafah perspektif Hizb al-Tahrir ditempatkan pada wacana pokok agama atau paling tidak bagian dari aqidah. Namun kelihatannya Hizb al-Tahrir tidak berani menempatkan masalah khilafah pada posisi tersebut. Hal ini terbukti dengan tidak adanya karya-karya kelompok dan pengikut ini yang mengatakan demikian, seperti yang disampaikan salah satu tokoh HTI bahwa khilafah masalah furu’ atau hukum syariah, bukan masalah ushul atau akidah.[115] Tampaknya,  Hizb al-Tahrir punya pandangan serupa dengan tokoh-tokoh Ahlussunnah seperti al-Amidi, al-Iji, al-Taftazani, bahwa khilafah masuk dalam ranah furu’ agama.[116]

Hal yang rumit dipahami ialah, kalau memang khilafah atau imamah sebagai masalah furu’ atau cabang, kenapa aksi menumpahkan darah begitu mudah dilakukan. Hizb al-Tahrir sendiri sering mengatakan kalau ada dua khalifah, maka yang terakhir harus dibunuh; atau dengan kata lain boleh, bahkan harus ditumpahkan darahnya. Begitu pula, apabila mengacu pada metode ijtihad Hizb al-Tahrir tentang prosedur praktis pemilihan khalifah, akan mengarah pada logical implication, berupa kebolehan membunuh salah seorang dari dewan formatur yang tidak setuju dengan kesepakatan, karena hal tersebut merupakan ijmak sahabat.

Apakah masalah furu’  boleh sampai melakukan bunuh-membunuh tanpa ada sebab semisal qisas. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, masalah imamah atau politik banyak menimbulkan pertumpahan darah. Fakta historis paling menonjol adalah peperangan antarsahabat Nabi, seperti Perang Jamal, yang menewaskan sekitar 10.000 orang.[117] Al-Syarastani berkata: “Sebesar-besar perbedaan dan perselisihan di antara ummat adalah masalah imamah, karena sepanjang zaman, tiada pedang terhunus (darah tertumpah) dalam menegakkan agama, melebihi pertumpahan darah terkait dengan imamah”.[118]

Itulah landasan atau dalil tentang wajibnya menegakkan khilafah yang biasa dikemukakan Hizb al-Tahrir dalam berbagai tulisan dan diskusi para pengikutnya. Sebenarnya masih ada beberapa dalil lagi yang juga turut diapresiasi oleh majalah resmi HTI. Dalil ini diambil dari karya Abdullah Umar Sulayman al-Dumayji. Buku ini sangat dikagumi oleh pengikut HTI, Shiddiq Al-Jawi, karena ketebalannya dalam mengupas masalah khilafah.[119]

Shiddiq al-Jawi mengutip al-Dumayji menyatakan, dalil tentang khilafah ada enam. Pertama, al-Quran, kedua; al-Sunnah, baik qawliyyah maupun fi’liyyah; ketiga, ijmak sahabat setelah wafat Rasul dan menjelang wafat Umar; keempat, kaidah syar’iyyah, ma la yatimm al-wajib illa bihi fahuwa wajib; kelima, kaidah darar yang intinya tanpa khilafah, umat Islam dalam bahaya; keenam, khilafah merupakan hal yang dituntut fitrah dan adat manusia.[120]

Kalau dicermati, nalar atau proses kesimpulan dari argumen-argumen di atas, mirip dengan proses yang digunakan Hizb al-Tahrir, yakni jumping to conclusion. Artinya,  proses penyimpulan dalil hingga menuju kepada hasil kesimpulan yang berupa khilafah tidak mengikuti kaidah logika penyimpulan yang runut, tapi ada ketergesaan untuk langsung menuju kesimpulan yang berupa khilafah.[121]

Referensi:

[57]Taqiuddin al-Nabhani, Nizam al-Islam  (2001), 54.

[58]Taqiuddin al-Nabhani, Al-Syakhsiyyah al-Islamiyyah juz 1  (Beirut: Dar al-Ummah, 2003), 356.

[59]Dalam salah satu buku yang berjudul Al-Dawlah al-Islamiyyah terdapat bab “Kontinuitas negara Islam” yang menjelaskan bahwa khilafah atau dawlah Islam telah ada sejak masa Nabi sampai tahun 1924. Taqiuddin al-Nabhani, Al-Dawlah al-Islamiyyah (Beirut: Dar al-Ummah, 2002), 133. lihat juga Gus Uwik, “Keberlangsungan Daulah Islam, “ Al-Wa’ie, No.71 Th.VI (Juli-2006), 71.

[60]Taqiuddin al-Nabhani, Nizam al-Islam (2001), 44-45.

[61]Muktamar Mubalighah Indonesia, “Khalifah dari Masa ke Masa”, Satukan Langkah Songsong Khilafah Islamiyah (Jakarta: Muktamar Muballighoh Indonesia, 2010), 13-16.

[62]Lihat Ali Mufrodi, “Kerajaan Usmani”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, ed. Taufik Abdullah  (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 245. Hans Joachim Kissling, “The Ottoman Empire to 1774”, The Last Great Muslim Empires, (Princeton: Markus Wiener Publisher, 1996), 46.

[63]Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam juz 1  (Cairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 2001), 167.

[64]Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam juz 2, 28.

[65]Clifford Edmund Bosworth, The Islamic Dynasties  (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1980), 11.

[66]Jalaluddin Suyuti, Tarikh al-Khulafa’  (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 242, 480.

[67]Syafiq A. Mughni, “Perpecahan Kekuasaan Islam,” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Khilafah), ed. Taufik Abdullah etl; (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 115.

[68]Taqiuddin An-Nabhani, The Islamic State, (London: Al-Khilafah Publications, 1998), 132. Terjemahannya, “Dalam kasus Spanyol, gubernur mengambil alih suatu wilayah dan mendeklarasikan sebagai negara independen. Akan tetapi para wali tidak pernah dibaiat sebagai oleh seluruh umat Islam  biarpun kemudian dia menyandang titel khalifah pada wilayah tersebut tidak atas semua umat Islam. Khalifah umat Islam tetap satu  dan pemerintahan tetap berada di tangannya. Wilayah Spanyol pada saat itu dianggap sebagai wilayah  yang tidak berada di bawah otoritas khalifah.”

[69]Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam juz 3, 71.

[70]Clifford Edmund Bosworth, The Islamic Dynasties, 15.

[71]Ibid, 38-39.

[72]Ibid, 81.

[73]Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam  juz 2, 21. Jalaluddin Suyuti, Tarikh al-Khulafa’  (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 238.

[74]Clifford Edmund Bosworth, The Islamic Dynasties,  8, 136.

[75] Hasan Muhammad Makki al-Amili, Al-Ilahiyyat juz 2 (Beirut: Markaz al-alami lil-Dirasat al-Islamiyyah, tt), 524.

[76]Fathi Osman, “The Contract for  the Appointment of the Head of an Islamic State” dalam State, Politics and Islam, ed. Mumtaz Ahmad (Amerika: American Trust Publications, 1986), 74.

[77]Patricia Crone & Martin Hinds, God’s Caliph  (Cambridge:Cambridge University Press, 1986), 12-18.

[78]Ibid, 19.

[79]Clifford Edmund Bosworth, The Islamic Dynasties, 76.

[80]Ibid, 152.

[81]Jalaluddin Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, 6, 482.

[82]Clifford Edmund Bosworth, The Islamic Dynasties, 115, 129-130, 136.

[83]Jalaluddin Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, 11; Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibani, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal,  juz 36, Muhaqqiq Syu’aib al-Naut. (Ttp: Muassasah al-Risalah, 2001) 248.

[84]Yahya Abdurrahman, “Makna Khilafah 30 Tahun, ”Al-Wa’ie, nomor  68 tahun VI (April-2006), 63.

[85]Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 1998), 188-189.

[86]Din Syamsuddin & Sudarnoto Abdul Hakim, “Pendahuluan”,  Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Khilafah, ed. Taufik Abdullah (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 3.

[87]Redaksi hadis yang dimuat dalam  karya  Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dahak al-Tirmidhi;

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ قَالَ: حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ قَالَ: حَدَّثَنَا حَشْرَجُ بْنُ نُبَاتَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُمْهَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي سَفِينَةُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الخِلَافَةُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ سَنَةً، ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ» ثُمَّ قَالَ لِي سَفِينَةُ: أَمْسِكْ خِلَافَةَ أَبِي بَكْرٍ، وَخِلَافَةَ عُمَرَ، وَخِلَافَةَ عُثْمَانَ، ثُمَّ قَالَ لِي: أَمْسِكْ خِلَافَةَ عَلِيٍّ قَالَ: فَوَجَدْنَاهَا ثَلَاثِينَ سَنَةً، قَالَ سَعِيدٌ: فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ بَنِي أُمَيَّةَ يَزْعُمُونَ أَنَّ الخِلَافَةَ فِيهِمْ؟ قَالَ: كَذَبُوا بَنُو الزَّرْقَاءِ بَلْ هُمْ مُلُوكٌ مِنْ شَرِّ المُلُوكِ،

Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dahak al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi juz 4 Tahqiq Ahmad Muhammad Shakir dll. (Mesir: Shirkah Maktabah wa Matba’ah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1975), 503.

[88]Redaksi hadis yang dimuat dalam  karya  Abu Dawud; ,خِلَافَةُ النُّبُوَّةِ ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِي اللَّهُ الْمُلْكَ أَوْ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاء

Abu Dawud Sulayman bin al-Asy’ath bin Ishaq bin Bashir bin Syadad bin Amr al-Azdi al-Sijistani, Sunan Abi Dawud juz 4, Muhaqqiq Muhammad Muhyidin Abdulhamid (Beirut: al-Maktabah al-Asriyyah, tt), 211.

[89]Yahya Abdurrahman, “Makna Khilafah 30 Tahun, 63. Yahya Abdurrahman, “Dua Belas Khalifah (Basyarah akan tegaknya khilafah), “ Al-Wa’ie, nomor  66 tahun VI (Februari-2006), 61.

[90]Yahya Abdurrahman, “Makna Khilafah 30 Tahun, 63

[91]W. Philips Shively, Power and Choice An Introduction to Political Science (New York: McGraw-Hill, Inc, 1993), 6.

[92]Yahya Abdurrahman, “Khilafah Akan Segera Tegak Kembali, “ Al-Wa’ie, No.64 Th.VI (Desember-2005), 62. Lihat Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Shaybani, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal,  juz 30, Muhaqqiq Shu’ayb al-Al-Naut (Ttp: Muassasah al-Risalah, 2001), 355.

[93]Tapi ternyata Yahya Abdurahman pada tulisan terbaru, terkait masalah ini, beralih mengartikan mulk  sebagai monarki atau kerajaan.Yahya Abdurrahman, “Al-Mulk, “ Al-Wa’ie, No.79 Th.VII (Maret -2007), 61.

[94]Yahya Abdurrahman, “Khilafah Akan Segera Tegak Kembali,  63

[95]Nurcholish Madjid, “Sejarah Awal Penyusunan dan Pembakuan Hukum Islam,” dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah,  ed. Budhy Munawar  Rachman (Jakarta:  Paramadina, 1995), 242. Berbeda dengan Nurcholis Madjid, Qamaruddin Khan menjelaskan bahwa Ibn Taimiyah mengartikan mulk dengan power, domination, sovereignty, dengan tidak selalu berarti hereditary rule. Selanjutnya Ibnu Taimiyah menyimpulkan kekuasaan-kekuasaan tersebut tidak harus diartikan dengan dinasti atau sistem tirani. Lihat, Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taymiyah  (Islamabad: Islamic Research Institute, tt), 181.

[96]T.M.  Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam  (Djakarta: Bulan Bintang, 1971), 39.

[97]Manouchehr Paydar, Legitimasi Negara  Islam,  terj. M. Maufur el-Khoiry (Yogyakarta:  Fajar Pustaka Baru, 2003), 78-79.

[98]Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam juz 1,  356.

[99]Hizb al-Tahrir, Ajhizat Dawlat al-Khilafah, 48-49.

[100]Asif Khan mengatakan sekalipun Umayah dan Abbasiyah dijabat keluarga, namun mereka semua dibaiat. Asif Khan, “Sistem Khilafah Berjalan Sepanjang Sejarah Islam”, Khilafah Magazine, No.6 Th.I (Maret-2006), 25.

[101]“Kerajaankah Pemerintahan Pasca Khulafa ar-Rasyidin?”, Al-Wa’ie, No.118 Th.X (Juni-2010), 30-31.

[102]Hizb al-Tahrir, Afkar Siyasiyyah  (Beirut: Dar al-Ummah, 1994), 10.

[103]Taqiuddin al-Nabhani, Al-Syakhsiyyah al-Islamiyyah juz I (Beirut: Dar  al-Ummah, 2003), 195.

[104]Jubir HTI, “Khilafah: Janji Allah”, Al-Wa’ie, No.103 Th.IX (Maret-2009), 38. Keyakinan seperti ini dimiliki oleh petinggi HT di Indonesia dan di dunia, semisal Rochmat S. Labib (ketua DPP HTI) yang mengatakan bahwa khilafah ialah janji Allah dan kabar gembira Rasulullah, lihat Rochmat S. Labib, “Konferensi Rajab 1432 H”, Al-Wa’ie, No.131 Th.VII (Juli-2011), 5. Demikian juga Utsman Bakhasy (Direktur Kantor Media Pusat Hizb al-Tahrir di Libanon) bahwa Allah pasti akan menunaikan janji-Nya dan semoga hal itu dalam waktu dekat. Utsman Bakhasy, “Penting Menyatukan Suara Umat”, Al-Wa’ie, No.131 Th.VII (Juli-2011), 33.

[105] Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguh Dia telah sesat...

[106] Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya. (QS. 4:14). Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka Sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam (QS. 72:23).

[107]Taqiuddin al-Nabhani, Al-Syakhsiyyah al-Islamiyyah juz III (2005),   301.

[108]Seperti hadis yang artinya, “Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan.” Kata  kesesatan  ini artinya  mengarah kepada kekufuran.Lihat, Fathi Muhammad Salim,  Al-Istidlal bi al-Dhanni fi al-‘Aqidah (Beirut: Dar  al-Bayariq, 1993),  154-155.

[109]Hafidz Abdurrahman, Khilafah Islam dalam Hadits Mutawatir bi al-Ma’na  (Bogor: Al-Azhar Press, 2003),   40. Jika dicermati, kesimpulan di atas tergesa-gesa dan agak dipaksakan. Dari delapan hadis yang diteliti, ternyata yang ada kata khilafah hanya dua. Pertama, yang diriwayatkan Ahmad, memuat tentang akan adanya khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah; kedua, yang diriwayatkan Abu Dawud, menjelaskan bahwa khilafah akan turun di bumi al-Quds. Dari dua hadis ini, Abdurrahman ingin memberi makna dengan mengkaitkan hadis-hadis lain—yang juga membicarakan pemimpin akhir zaman—sehingga bisa disimpulkan bahwa khilafah adalah mutawatir secara makna. Padahal pola penyimpulan yang dilakukannya bisa juga diganti yang lebih valid dengan pola penyimpulan lain. Semisal, adanya pemimpin akhir zaman, adanya Imam Mahdi, yang justru lebih bisa diterima, karena paling tidak ulama-ulama terdahulu juga pernah menyimpulkan bahwa hadis tentang Imam Mahdi adalah mutawatir, seperti ditulis al-Kattani dalam kitab  “نظم متناثر من الأحادث المتواتر,” atau juga dalam ”التوضيح في تواتر ما جاء في المهدي المنتظر والدجال والمسيح” karya Syaukani. Namun tidak pernah ada ulama salaf yang menulis bahwa hadis khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah sebagai hadis yang mutawatir. Jadi, Abdurrahman melakukan interpolasi, yakni memasukkan teks-teks suci dalam kerangka pikir tertentu. Dalam hal ini, hadis-hadis yang terkait dengan pemimpin di akhir zaman, lalu dianggap sebagai pendukung konsep khilafah versi Abdurrahman sebagai pengikut Hizb al-Tahrir. Selain itu, Abdurrahman juga melakukan inakurasi, yakni berpegang kepada nash yang tidak valid dan tidak tepat, serta tidak relevan. Kemudian nash tersebut dirujuk dan dijadikan premis utama untuk premis lain.

[110]Muktamar Muballighoh Indonesia, “Khilafah Janji Allah (Wa’dullah) dan Bisyarah Nabawiyyah”, Satukan Langkah Songsong Khilafah Islamiyah (Jakarta: Muktamar Muballighoh Indonesia, 2010), 79-80.

[111]Ibid, 77.

[112]Taqiuddin al-Nabhani,  Al-Syakhsiyyah al-Islamiyyah  juz 1  (2003), 196.

[113]Hafidz Abdurrahman, “Kafirkah Mengingkari Kewajiban Menegakkan Khilafah?”, Al-Wa’ie  no. 79  tahun VII (Maret -2007), 41-42.

[114]Ibid, 42.

[115]M. Shiddiq al-Jawi, “Khilafah, Terserah Aspirasi Umat Islam,”  Al-Waie, no.119  tahun X (Juli, 2010), 29.

[116]Ja’far al-Subhani, Al-Ilahiyyat  juz II (Qum: al-Markaz al-Alami li al-Dirasat al-Islamiyyah, 1990),  511-512.

[117]Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk  jilid  V,  575.

[118]Ja’far al-Subhani, Al-Ilahiyyat  juz II,  512.

[119]M. Shiddiq Al-Jawi, “Khilafah Menurut Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah, “Al-Wa’ie, No. 90 Th.VIII (Februari-2008), 61.

[120]Ibid, 64.

[121]Pengikut HTI, Musthafa A. Murtadlo, masih menambahi untuk memperkuat argumentasi khilafah dengan mengumpulkan pendapat-pendapat para ulama salaf tentang hal tersebut yang menurutnya, semua ulama salaf mendukung ide khilafah. Lihat Musthafa A. Murtadlo, Aqwal Para Ulama’ Tentang Wajibnya Imamah (Khilafah) (Ttp:tt,tt). Namun yang perlu diketahui; 1). Konsep atau pemikiran tentang kepemimpinan umat Islam dari para ulama salaf itu tidak sama dengan yang dihasilkan Hizb al-Tahrir, 2). Dalam kitab-kitab klasik tersebut hampir semua tema besarnya menyebut kata al-imamah atau al-imam al-a’zam. Penyebutan khilafah lebih jarang, tetapi Hizb al-Tahrir lebih sering menyebut khilafah sebagai jargon perjuangan. Bisa diambil contoh dalam kitab-kitab klasik karya al-Syafi’i, al-Umm juz 1/188; al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah hal.5; al-Nawawi, Rawdat al-Talibin wa ‘Umdat al-Muttaqin juz 10/42 dan Minhaj al-Talibin  juz 1/292; Zakariya al-Ansari, Asna al-Matalib  juz 19/352; Fath al-Wahhab  juz 2/187 dan Minhaj al-Tullab juz 1/157; Ibn Hajar al-Haytami, Tuhfat al-Muhtaj juz 9/74; Ahmad al-Khatib al-Sharbini, Mughni al-Muhtaj  juz 5/409; al-Ramli, Nihayat al-Muhtaj juz 7/409; 3). Terakhir, dengan adanya pendapat para ulama salaf tentang imamah tersebut  tidak secara otomatis sebagai penguat terhadap pendapat Hizb al-Tahrir dan membatalkan penelitian ini. Karena selain penjelasan pada poin 1 dan 2 di atas, penelitian ini bersandar pada analisis kritis, bukan berpijak pada otoritas orang sebagai sandaran argumen, akan tetapi lebih pada analisis kritis terhadap argumen yang dijadikan pijakan Hizb al-Tahrir dalam membangun ide khilafahnya.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru