30.9 C
Jakarta

Dilema Agama di Tengah Radikalisme dan Terorisme

Artikel Trending

CNRCTDilema Agama di Tengah Radikalisme dan Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dilema Agama di Tengah Radikalisme dan Terorisme

Oleh Ayik Heriansyah

Tren radikalisme dan terorisme menyeret-nyeret agama sebagai biang masalahnya. Kelompok-kelompok radikal dan teror berbasis agama tumbuh subur seiring dengan meningkatnya semangat keberagamaan masyarakat. Kesinambungan gerakan radikal dan aksi terorisme yang patah tumbuh hilang berganti, menjadi dilemma bagi agama-agama.

Radikal yang dimaksud di sini adalah dalam konteks sosial dan politik bukan teologis dan filosofis. Sebab radikalisme yang mendorong aksi terorisme tidak memiliki basis teologis dan filosofis yang memadai pada semua agama. Kaum radikal berpendapat, realitas sosial dan politik sekarang, “salah”, karena itu harus “dibenarkan” secara mendasar dan menyeluruh dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Motivasi mereka mau mengubah realitas sosial politik sekarang menjadi suatu realitas yang ideal diambil dari ajaran agama yang mereka terima.

Terorisme adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan suatu keyakinan, pemahaman, pemikiran, opini dan motivasi tertentu. Terorisme bentuk lahiriah (hardware) dari suatu keyakinan, pemahaman dan pemikiran radikal. Radikalisme inilah yang menjadi perangkat lunak (software) dari semua gerakan terorisme.

Semua agama mengajarkan kepada umatnya bagaimana menciptakan kehidupan “surgawi” di dunia sebelum surga di akhirat nanti. Kehidupan yang penuh dengan kenikmatan duniawi, bahagia dan sejahtera, penuh rasa kasih sayang antar sesama. Akan tetapi kenyataannya, justru “neraka” yang mereka terima. Kemiskinan, penderitaan dan permusuhan menjadi santapan sehari-hari. Kenyataan ini membuat sebagian umat beragama kecewa, marah dan menyalahkan pihak-pihak yang telah membuat “neraka” dalam kehidupan ini, khususnya para penguasa dan kelompok yang berbeda dengan mereka.

Mereka mengelompok, mencoba menciptakan “surga” yang memberi ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan batiniah. Meski semu dan belum memberi kesejahteraan lahiriah, kehidupan “surgawi” yang eksklusif bisa menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan psikologis tiap anggota kelompok. Ketika berada di komunitas mereka, mereka merasa sedang berada di surga. Yang di luar adalah “neraka”. Dari perasaan ini lahir sikap intoleran terhadap segala sesuatu di luar komunitas mereka, baik itu ajaran, individu maupun kelompok keagamaan selain mereka.

Dalam perspektif ideologis, hegemoni ideologi kapitalisme di seantero dunia yang terkenal dengan sifat rakus dan eksploitatifnya, membuat “neraka” bagi mayoritas penduduk dunia. “Surga” hanya dimilik segelintir pemilik modal dan orang-orang yang mempunyai akses kepada mereka. gagal mendapatkan “surga” di dunia nyata, kaum radikal dan intoleran mengasingkan diri sampai pada tahap mereka makin terjepit yang memaksa mereka melawan. Jadi radikalisme dan terorisme merupakan respon psikologis umat beragama terhadap realitas sosial politik. Fenomena ini terjadi pada semua agama, bukan Islam saja.

Agama dan penganutnya yang radikal dan intoleran sejatinya sama-sama korban dari tamaknya ideologi kapitalisme. Sayangnya kelompok radikal dan teror tidak sabar menghadapi realitas yang mereka hadapi. Mereka memanfaatkan agama sebagai alat perlawanan. Bahkan mereka merasa sedang membela agama dan menjadi pahlawan ketika mereka melakukan aksi teror. Padahal agama bukan faktor penyebab dan pendorong lahirnya radikalisme dan aksi teror. Agama juga tidak mengajarkan terorisme sebagai metode untuk menegakkan aturan agama. Hal ini memperburuk citra agama di mata penganutnya yang lain.

Semua agama mengajarkan penganutnya agar menciptakan “surga” bagi diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar, bersikap toleran terhadap perbedaan dan sabar atas semua kesempitan hidup.  Karena sudah menjadi fitrah manusia ingin hidup aman, damai, sejahtera dan bahagia. Ajaran agama tegak dengan cara-cara penuh kasih sayang (rahmat). Agama tidak terkait dengan sikap intoleran, radikalisme dan aksi terorisme. Oleh karena itu, narasi dan opini yang menghubung-hubungkan agama dengan tiga penyakit sosial tersebut, adalah fitnah bagi agama.

Meski demikian, dalam rangka kontra radikalisme dan deradikalisasi, pendekatan keagamaan harus dilakukan karena pada faktanya agama menjadi alat legitimasi dan media penyebaran paham radikalisme dan intoleransi. Para ahli agama diharapkan membantu mereka menguraikan simpul-simpul kusut pemikiran dan kerak-kerak kejiwaan yang selama ini menyumbat akal dan hati mereka dari menerima ajaran agama yang sesungguhnya. Ibarat seorang bidan, para ahli agama membantu mereka melahirkan kembali diri mereka yang sejati yakni moderat, inklusif dan toleran.

Dalam upaya tersebut, para ahli agama memposisikan diri sebagai teman diskusi, bukan sebagai hakim yang siap-siap memvonis mereka, bukan juga sebagai polisi yang akan menangkap mereka. Para ahli agama memandang mereka sebagai korban yang perlu dibantu dengan penuh rasa belas kasihan. Karena itu rasa empati dan simpati harus dikedepankan. Jangan sampai ada rasa benci dan marah ketika berhadapan dengan mereka. Rasa benci dan marah justru akan membenarkan (confirmed) rasa benci dan permusuhan mereka terhadap orang-orang di luar kelompok mereka.

Ayik Heriansyah
Ayik Heriansyah
Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru