32.9 C
Jakarta

Digitalisasi Uang Untuk Ekonomi Syari’ah

Artikel Trending

KhazanahEkonomi SyariahDigitalisasi Uang Untuk Ekonomi Syari'ah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bila diambil dari segi konvensional, seorang pakar, Jean-Baptiste Say, pernah berkata bahwa pengertian ilmu ekonomi adalah ilmu yang menjadi cabang dari kajian-kajian tentang segala peraturan yang dapat menentukan kekayaan seseorang.

Sedang dari sisi syari’ah, ilmu ekonomi dijabarkan oleh S.M. Hasanuzzaman sebagai,ilmu dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya, guna memberikan kepuasan bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat.

Karna perannya yang sangat besar dalam kehidupan manusia, maka ekonomi dan agama merupakan salah satu penentu jalannya hidup bermasyarakat. Namun selain itu, dengan berkembangnya zaman pula kita temukan bahwa ada beberapa hal lain yang turut berpengaruh pada kehidupan sehari-hari.

Sendi ekonomi negri yang sering mengalami osteoporosis alias timpang dengan harapan, sudah lama jadi perbincangan. Banyak kalangan mencetus satu-dua ide yang diklaim dapat menyembuhkan penyakit negri ini. Berbagai inovasi terus diterapkan sejak zaman dikibarkannya bendera merah putih pertama kali hingga 74 tahun kemudian. Benar saja,perlahan inovasi tersebut berbuah hasil yang bisa kita rasakan.

Lantunan terimakasih tidak akan cukup terucap kepada generasi-generasi yang telah menyumbang hasil kepada ekonomi negri 74 tahun belakangan ini. Namun, zaman telah berubah. Indonesia akan maju apabila generasi masa kini meneruskan perjuangan perbaikan ekonomi yang sedari dulu dikukuhkan.

Berhubung generasi ini lekat dengan teknologi, kita tak bisa menampik peran keuangan digital bila membicarakan ekonomi. Sama seperti nasionalisme, uang tak pernah kehilangan maknanya. Masih menjadi alat tukar yang digiurkan seantero bangsa.
Uang Masa Kini

Memang, setelah tergerus arus revolusi 4.0, uang pada hari ini tak lagi berupa lembaran yang fisiknya dapat diraba. Kini bentuknya mengarah kepada sesuatu yang lebih praktis, bahkan tidak memiliki wujud sama sekali. Alias berupa kode digital yang hanya perlu diklik untuk diaktifkan.

Lahirnya fasilitas e-banking dan m-banking pada 2008 menjadi cikal bakal meluasnya istilah financial technology atau keuangan digital. Fenomena pergeseran makna uang ini disambut baik oleh dunia perbankan dan bisnis-bisnis start up.

Masyarakat Indonesia yang notabenenya selalu ‘maju’ bila dikaitkan dengan hal-hal berbau globalisasi, telak menjadi sasaran. Perusahaan start up luar negri dengan haus menjajah pasar keuangan digital, bersaing ketat dengan start up lokal. Berbagai jenis pembayaran dengan diskon melimpah terus hadir tiap harinya. Kredit online sudah merebak ramai, tidak lagi sekedar kredit iseng yang disebar melalui SMS.

Secara garis besar, menurut Bank Sentral Republik Indonesia, teknologi finansial adalah penggunaan teknologi dalam kegiatan ekonomi untuk penghasilkan produk, layanan, jasa maupun bisnis yang akan berdampak pada kestabilan moneter serta keuangan.

Pandangan Islam

Islam sebagai agama yang sempurna mempuyai aturan yang jelas yang mengatur semua elemen dalam kehidupan manusia yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin kebahagiaan serta keselamatan manusia baik di semua aspek diri seperti keselamatan agama, jiwa, akal, harta benda, serta keturunannya.

Uang elektronik yang merupakan karateristik dalam kehidupan manusia modern ini pada asalnya ialah halal. Hal ini merujuk pada kaidah fiqh yang menyatakan setiap transaksi dalam muamalah pada dasarnya diperbolehkan kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya.

Namun, tetap saja ada banyak ketentuan lain dalam dunia digital yang tidak sesederhana karaterikstik pembayaran uang tunai. Ada banyak ketentuan dalam uang elektronik yang karateristiknya tidak dimiliki oleh uang fiat biasa.

Al-Syatibi mengungkapkan, “Sesungguhnya syariat itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat”. Dalam ungkapan yang lain, dikatakan oleh Al-Syatibi yang artinya “Hukum-hukum disyariatkan untuk ke maslahatan hamba”

Kedua ungkapan diatas merupakan karateristik maqashid syari’ah. Dalam islam, tujuan suatu hukum adalah untuk kemaslahat umat manusia.

Pada dasarnya akad yang terdapat dalam fintech tidak bertentangan selagi tidak melanggar prinsip syariah. Uang elektronik atau financial technology juga merujuk pada prinsip at-taradhin yang artinya saling meridhai antara kedua pihak.

Dalam hal ini, uang elektronik dapat dikatakan sudah sesuai dengan syari’at karna prinsipnya yang sejalan dengan maqashid syari’ah, tentunya apabila ketentuan-ketentuan syari’atnya dijalankan dengan benar.
Pemanfaatan Untuk Sektor Ekonomi

Ketika Asosiasi Fintech Indonesia lahir pada akhir tahun 2015, perkembangan financial technology telah meroket hingga 78% dibanding 10 tahun sebelumnya. Jumlah penggunanya mencakup lebih dari 130 perusahaan, dan hampir setengahnya bermain pada sektor pembayaran.

Meski perbankan tersebar dimana-mana, namun perlu digarisbawahi bahwa rakyat Indonesia sendiri tergolong pasif dalam menggunakan fasilitas-fasilitas perbankan. Dari segi peminjaman uang saja, masyarakat kita lebih menyukai cara tradisional seperti meminjam uang melalui kenalan.

Fenomena tersebut amat disayangkan sebab menurut riset yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, kebutuhan masyarakat mencapai Rp. 1.649 triliun per tahun dan hanya dapat dipenuhi sebesar Rp 660 triliun oleh lembaga keuangan. Jumlah itu memiliki gap yang besar, lebih dari 50%.

Kesulitan mengakses lembaga keuangan jelas berdampak pada ekonomi Indonesia. Mengacu pada riset OJK tadi, terdapat Rp 988 triliun yang raib dari potensi berkembangnya ekonomi negri ini. Bukan angka main-main.

Terbatasnya perbankan dalam menghimpun kebutuhan ekonomi Indonesia disebabkan oleh terbatasnya akses yang tersedia. Masyarakat enggan mengantri panjang di bank untuk memenuhi kebutuhan finansialnya. Selain itu, masih banyak kalangan yang tidak dapat menikmati layanan jasa keuangan dikarenakan keterbatasan wilayah. Kurang lebih 60% sistem pendanaan masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Disinilah hadirnya financial technology dapat menjawab ceruk ekonomi tersebut. Ceruk yang tersedia menandakan kebutuhan akan solusi yang praktis dan cepat.

Pembiayaan melalui teknologi digital telah menstimulus perkembangan pembiayaan secara umum sebesar 0,6% serta pertumbuhan perbankan sebesar 0,8% dalam dua tahun terakhir. Kontribusi finansial teknologi dalam meningkatkan pendapatan negara juga menunjukkan angka fantastis, yakni Rp 4,56 triliun.

Sehingga, tidak heran lagi bahwa perkembangan teknologi dapat menjadi indikator perkembangan ekonomi.
Salah satu keunggulan financial technology yang lain adalah mudahnya peminjaman dana dengan cepat bahkan dalam skala kecil sekalipun. Pendanaan ataupun pembiayaan inilah yang membuat financial technology kian digemari berbagai generasi, termasuk generasi millennial. Dari sini, terciptalah tatanan ekonomi yang revolusioner.

Generasi Millennial dan Potensinya

Meski dikenal mudah terkena arus globalisasi, tidak serta merta ekonomi negri ini mengikuti kemajuan ekonomi barat maupun Jepang. Teknologi mereka yang biasa lebih maju 10 tahun dibanding kita, dapat menjadi faktor dalam kemunduran kita sejauh 10 tahun pula.

Penduduk Indonesia yang berusia 20-30 tahun kini disebut generasi millenial. Pada 2020 nanti, generasi ini diramalkan akan menjadi penduduk terbanyak di Indonesia. Dengan kata lain, perhitungan GDP (Gross Domestic Product) negara akan bergantung pada dompet mereka.

Melalui adaptasi teknologi, generasi ini lebih mudah mengembangkan kemandirian serta ide kreatif. Keinginan dan kebutuhan mereka mengakomodir munculnya berbagai perusahaan start up.

Ketika perusahaan start up muncul, otomatis masyarakat lebih condong mengikuti. Gojek contohnya. Perusahaan start up buatan Nadim Makarim tersebut membuka peluang usaha dengan jumlah pendapatan yang lebih jelas bagi tukang ojek. Dampak baiknya tidak hanya dirasakan oleh tukang ojek, namun bagi pemilik restoran ataupun penyedia jasa lain yang tersedia di aplikasi Gojek.

Selain itu, bisnis ¬e-commerce turut menciptakan tren baru berupa lahirnya berbagai inovasi bagi masyarakat. Contoh inovasi yang mem-booming dengan memperhitungkan keikutsertaan masyarakat dalam skala besar adalah situs kitabisa.com.

Munculnya situs tersebut membuat penyaluran dana bagi yang membutuhkan menjadi kian mudah.
Teknologi finansial banyak merangkul orang-orang yang unbanked dan unbankable alias belum memiliki akses perbankan. Penyaluran dana berupa zakat dan wakaf juga dapat menjangkau ke daerah-daerah terpencil, mengingat mudahnya akses dan transfer melalui mobile banking.

Kepraktisan teknologi finansial juga mendorong perubahan terhadap gaya hidup untuk berlaku hemat dan cerdas. Sebagian besar masyarakat masih kurang bertanggungjawab secara ekonomis sebab terbatasnya akses ke bank. Beberapa orang memandang sebelah mata proses tabung-menabung di bank yang menurutnya tergolong kuno dan membuang waktu, karena mengharuskan hadirnya fisik di bank-bank tersebut.
Hingga tahun 2016 lalu, bisnis e-commerce diperkirakan mencapai nilai 120 triliun oleh Departemen Perdagangan RI. Nilai itu pun dapat bertambah hingga 140 triliun dalam 3 tahun kedepan.

Kecerdasan Finansial

Seperti yang dijelaskan Faried Ardiansyah dalam Jurnal Perbankan dan Financial Technology, zaman ini mengarah pada satu titik yang jelas. Rekatnya hubungan antara generasi milenial dan ekspansi internet akan menjadi penggerak financial technology untuk menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat.

Dalam suatu wilayah, kecerdasan finansial merupakan hal yang primer. Kecerdasan ini disebut juga sebagai karateristik dalam menghadapi uang. Keterampilan dalam menghadapi uang dapat mempengaruhi keefektifan seseorang dalam memilih investasi, mengelola transaksi, dan lainnya. Keterampilan ini harus dimodali dengan ilmu yang memadai.

Hubungan antara kecerdasan finansial ini kepada sektor ekonomi tak terlepas dari dampak nyata kurangnya pengetahuan yang berefek buruk bagi negri. Bagi sebagian besar kaum millennial, sekarang adalah usia dimana generasi tersebut menginjak masa dimana mereka mengelola keuangan sendiri tanpa ada pengawasan dari orang tua. Sehingga penting bagi mereka untuk memiliki bekal yang mumpuni.

Melihat fenomena yang berlaku, sosialisasi tentang pentingnya literasi keuangan digital sudah menjadi kebutuhan umum.

Kecerdasan Islami

Selain kecerdasan finansial, masyarakat juga harus dibekali dengan kecerdasan islami. Kecerdasan ini berasal dari literature serta bacaan yang mumpuni. Akad-akad dalam keuangan elektronik syariah harus diperhatikan agar kita tidak salah kaprah dalam bidang teknologi berbasis syari’ah.

Akad yang berkaitan dengan uang elektronik terbagi menjadi dua, yaitu akad antara penerbit dan pemegang uang elektronik, serta akad antara merchant dan pelanggan.

Akad antara penerbit dan pemegang uang elektronik terbagi dalam akad qardh dan wadiah. Akad wadiah ialah akad titipan. Contohnya dalam hal ini adalah pengisian saldo kedalam uang berbasis elektronik seperti Gopay, Ovo, dan lainnya.

Dalam kata lain, akad wadiah ialah akad dimana pemegang uang elektronik menyerahkan sebagian uangnya kepada penerbit agar dapat disalurkan kepada merchant.

Akad selanjutnya ialah akad sharf. Akad sharf adalah sebuah analog atau qiyas, yang artinya berupa sebutan lain untuk uang eletronik. Disebut sebagai analogi karena terdapat kesamaan karateristik antara uang dan uang elektronik.

Dalilnya ialah hadist aari Ubadah bin Shamit, bahwasannya Nabi SAW. Berkata, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima. Apabila berlainan jenisnya boleh kamu jual kehendakmu asal tunai.”

Dengan akad diatas disimpulkan bahwa uang elektronik adalah bentuk sharf dari uang biasa, selama nilainya setara.

Akad selanjutnya ialah akad wakalah. Akad ini juga sering digunakan dalam akad kredit syari’ah. Secara bahasa wakaalah adalah melindungi. Akad ini dimaksudkan untuk memposisikan bank sebagai penjamin atas pelanggan apabila terjadi muamalah dengan merchant.

Namun, dalam pelaksanaan akad ini harus diperhatikan beberapa hal, diantaranya ialah diharuskan adanya ijab qabul yang disetujui oleh kedua belah pihak, bersifat mengikat dan tidak dapat dibatalkan sepihak. Orang yang mewakilkan juga harus seseorang yang pemilik sah dari sesuatu yang diwakilkan.

Akad selanjutnya ialah akad qardh alias pinjam meminjam. Akad ini berdasarkan dalil dari Qur’an, Surat Al-Baqarah ayat 245, “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”
Akad ini juga mensyaratkan riba sebagai sesuatu yang terlarang. Adanya bunga atau laba berlebih antara pelanggan peminjam, yang dalam hal ini dapat berupa penerbit kartu kredit, dapat dinyatakan sebagai laba ribawi.

Adaptasi

Badan Ekonomi Kreatif, sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang bertanggungjawab di bidang ekonomi kreatif, pada 2016 lalu meluncurkan program nasional dengan membuat peta jalan e-commerce. Inisiatif dari pemerintah ini disinyalir sebagai dukungan terhadap keuangan digital.

Tidak ketinggalan, berbagai bank juga mengambil sikap adaptif dan mulai berkolaborasi dengan fintech. Bank BTPN contohnya. Dengan mengeluarkan Jenius, yang memiliki banyak akses serta kemudahan dalam menabung, peminjaman dana, hingga pembayaran berbagai macam uang digital lainnya.

Bank Sentral Indonesia juga tanggap akan fenomena ini. Mereka mulai mengeluarkan peraturan tentang keuangan digital yang juga didukung oleh perundang-undangan.

Selain menjelma menjadi kebutuhan baru, teknologi finansial juga disebut sebagai ancaman baru. Beberapa pihak masih berpegang pada nilai-nilai tradisional uang kartal karena faktor kebiasaan. Lembaga-lembaga yang belum dapat mengejar dunia digital mengalami dilema yang sama.

Padahal, dunia digital adalah masa depan yang tak terelakkan, sehingga mempelajari serta mengembangkannya adalah keniscayaan. Perlu ditanamkan pemahaman bahwa tergesernya uang kartal bukan berarti pergeseran yang berakibat buruk bagi ekonomi, namun sebagai bentuk adaptasi untuk perekonomian yang lebih praktis.
Teknologi adalah masa depan, dan ekonomi adalah penentu masa kini. Keduanya bagai sepasang pedal sepeda yang harus bergerak serempak untuk menjaga keseimbangan.

Masa depan kita akan dihuni oleh generasi masa kini. Kedekatan generasi ini dengan teknologi turut menjadikan teknologi sebagai kiblat utama. Dalam prosesnya, uang kartal maupun giral akan berevolusi menjadi uang digital yang memerlukan beberapa perhatian khusus.

Selain mendukung perkembangan uang digital, menjamurnya perusahaan start up juga merupakan hasil dari perkembangan kreatifitas generasi millennial serta tersedianya teknologi yang mumpuni.

Kurang cocok apabila teknologi finansial disebut sebagai kebutuhan sekunder semata. Penguasaan teknologi di bidang ekonomi adalah krusial demi membangun dinding ekonomi yang kokoh. Ketergantungan akan dunia digital mestinya diseimbangkan dengan penyediaan fasilitas yang baik.

Berbagai halangan serta tantangan yang dihadapi pecinta uang kartal sebenarnya hanya berupa kekhawatiran semata. Sosialisasi akan keuangan digital, apabila disertai dengan meluasnya akses layanan teknologi finansial secara merata, dapat membuahkan penerimaan yang merata pula.

Bank Indonesia sendiri sudah mendukung perkembangan keuangan digital ini. Banyaknya adaptasi dari perbankan untuk menyediakan jasa keuangan elektronik menunjukkan keseriusan perbankan dalam mengakomodir keuangan digital.

Peran pemerintah dalam mendukung cashless society dapat diterapkan dengan usaha mengembangkan sistem, menyediakan infrastruktur, serta perluasan akses internet. Pemerintah juga dapat mempermudah regulasi untuk perusahaan yang ingin bergabung dengan penerapan keuangan digital. Peralihan jenis pembayaran di berbagai jenis lapangan usaha adalah bentuk kampanye tersendiri demi terciptanya perekonomian yang praktis melalui teknologi.

Setiap lembaga keuangan yang ingin berkesinambung dalam dunia keuangan digital diharuskan melalui legitimasi yang sah dari Otoritas Jasa Keuangan. Sedangkan, dalam hal ini sebuah lembaga keuangan harus memiliki modal minimal 1 milyar untuk mendaftar dan harus sudah mengantongi modal 2,5 milyar ketika terdaftar di OJK.

Besarnya modal yang harus dicapai oleh sebuah lembaga keuangan, membuat perkembangan beberapa lembaga syari’ah menjadi terhambat. Padahal, dengan mendapat legalitas dari OJK berarti juga mendapat kepercayaan masyarakat.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru