25.7 C
Jakarta
Array

Dialog Radikalisme, Hukum Islam dan Kultul Keindonesiaan

Artikel Trending

Dialog Radikalisme, Hukum Islam dan Kultul Keindonesiaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hal yang cukup menarik, setelah membaca artikel yang berjudul “Ruang Ekspresi Identitas Etno-Religius Indonesia”, tulisan Izak Lattu yang termaktub dalam pembukaan buku “Menjaga Tradisi di Garis Tepi” karya Tedi Kholiludin, saya berfikir ada hal yang cukup menarik yang perlu direnungkan di sini, khususnya bagi muslim konservatif, fundamental, puritan atau apapun itu yang memiliki ciri eksklusifitas dalam beragama.

Dalam artikel tersebut, Izak menceritakan sebuah statement dari Tokoh Sedulur Sikep, penghayat kepercayaan, yakni: “mengapa negara tidak mengakui pernikahan yang kami laksanakan? Mengapa negara menelantarkan anak-anak kami  (hanya dengan alasan tidak tercatat atau tidak dicatat oleh negara)? Sebelum negara ini ada, kami telah ada sebagai sebuah komunitas”.

Seketika hati saya bertanya, memang ini persoalan HAM, akan tetapi adakah hukum Islam murni yang implikasinya meluluskan keinginan tokoh tersebut, tanpa terpengaruh oleh wacana HAM dunia barat yang nyata-nyata dibuat oleh orang non muslim atau dalam bahasa kasarnya orang kafir? Dalam persoalan ini saya mencoba mengarahkan pertanyaan saya kepada pola pikir yang eksklusif dan berharap menemukan jawaban yang inklusif di sana.

Mengapa saya lebih memilih jalur demikian, sebab selama ini seminar-seminar yang dilakukan oleh para aktivis perdamaian lebih sering melalui pendekatan sosial, nasionalisme, dan humaniti.  Padahal jelas ideologi mereka (muslim eksklusif) menolak dan mengharamkan ideologi selain ideologi Qurani atau Islami.

Kita bisa lihat cerita yang diungkapkan ED Husain dalam bukunya “Pengakuan Pejuang Khilafah” yang menyatakan, “dalam ajarannya, Sayyid Qutb mengatakan bahwa Rasulullah telah menyatakan perang pada kaum kafir Mekkah karena adanya Islam adalah untuk berkuasa. Dalam milestones, dunia dibagi menjadi dua: Islam dan Jahiliyyah atau Dar al-Harb dan Dar al-Islam”.

Bahasan eksklusifitas yang saya maksud adalah eksklusif yang mulai melewati batas dalam beragama, seperti menolak konstitusi, selain Al-Quran dengan membabi-buta tanpa pertimbangan sistematika logika yang mengarah pada kemaslahatan manusia. Agar pembahasannya terarah, maka ideologi yang sudah mendarah daging seperti ini, harus memakai metode rekontruksi pemikiran melalui reinterpretasi ideologi dengan pendekatan yang sama.

Bukti dari kekuatan ideologi ini adalah suatu fenomena yang disaksikan ED Husain, yakni ketika ia mendengar khotbah yang mengajarkan permusuhan terhadap orang kafir (non muslim). Husain mengatakan “aku melihat kesekeliling ruangan salat itu terasa tegang, tetapi atas nama “persatuan Islam” Hizbut Tahrir telah telah memastikan bahwa penolakan terhadap khutbah semacam itu akan selalu dianggap sebagai penghianatan. Tak seorang pun berani menentang sang khatib”.

Melihat kuatnya doktrinasi kaum radikal yang sering juga disebut eksklusif ini, perlu kita lakukan dialog keagamaan dengan pendekatan ideologi yang serupa, kemudian dilakukan kritik ideologi yang mengarah pada titik kekeliruan interpretasi terhadap pemahaman nash atau Al-Quran.

Kekeliruan Radikalisme Dalam Interpretasi Nash

Kita mulai dari contoh pendekatan islami dalam menjawab pertanyaan dari Tokoh Sedulur Sikep tersebut bahwasanya, ia menginginkan agar pernikahannya disahkan oleh negara seperti halnya agama-agama resmi di Indonesia.

Kemudian yang menjadi masalahnya adalah apakah terdapat dalil dalam Islam untuk memperbolehkan negara yang mayoritas penduduknya muslim mengesahkan pernikahan yang tidak Islami, atau dengan pemahaman lanjutnya adalah Indonesia mengesahkan kepercayaan Sedulur Sikep sebagai kepercayaan resmi di Bumi Indonesia?

Sebelum muncul beberapa nama organisasi radikal pada era modern ini, pada masa awal-awal Islam dulu terdapat kelompok atau golongan yang paling radikal, yaitu Khawarij, kelompok ini yang menghalalkan darah para pengikut Ali maupun Muawwiyah pasca peristiwa “tahkim” mereka mengatakan: “la hukma illa lillah” tidak ada hukum kecuali hukum Allah. pernyataan tersebut mereka ambil dari Al-Quran surat Yusuf ayat 40 “in al-hukmu illa lillah” keputusan itu hanya milik Allah.

Oleh sebab itu mereka merasa tidak benar adanya sebuah pemerintahan (negara), sebab mengandung beberapa kebijakan yang tidak sesuai hukum Allah. Sikap Khawarij tersebut memerlihatkan jiwa “sok suci” sehingga menyalahkan orang selain golongan mereka, para pakar keislaman mengatakan paham Khawarij tersebut keliru sebab radikal dan berpotensi melahirkan terorisme. Seperti halnya pernyataan yang disampaikan Arsyad Mbai dalam majalah Tempo (21/3/2011), “radikalisme adalah akar dari terorisme”.

Faktanya adalah merupakan kesepakatan mufassir bahwa ”Hukmullah” (hukum Islam) dalam Al-Quran tidak bersifat spesifik dan monotafsir melainkan multitafsir, dan hal ini telah dibuktikan oleh realita sejarah para penafsir yang memiliki penafsiran berbeda-beda. Apakah yang dikehendaki dari ayat tersebut dan siapakah objeknya? Pertanyaan itu akan melahirkan berbagai jawaban yang berbeda.

Begitupun fakta sejarah mencatat bahwa Nabi saw tidak pernah memaksakan orang non muslim untuk melaksanakan hukum seperti  hukum yang diberlakukan untuk orang muslim, seperti yang tercatat pada Piagam Madinah. Mengingkari perbedaan sama halnya dengan ketidaksiapan dalam menghadapi realita kehidupan di dunia.

Corak Sufisme Berdampak Pada Kontra Radikalisme

Walaupun dalam kenyataan fakta sejarah, ajaran radikalisme yang cederung memiliki corak syariat atau legalistik, akan sulit diterima oleh bangsa Indonesia. Akan tetapi jika terus dibaiarkan bergerak, tidak menutup kemungkinan pula akan mengalami perkembangan dan menjadi cukup membahayakan.

Dalam buku “Tarekat Petani: Fenomena Tarekat Syattariyah Lokal” dikatakan bahwa: Islam yang pertama kali datang ke kepulauan Indonesia adalah Islam versi sufisme atau coraknya yang sufistik. Dapat diidentifikasi beberapa tokoh Islam yang dinisbatkan sebagai penganut tarekat pada masa awal-awal Islam seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumaterani, Abdurrauf al-Sinkili, dan Walisongo di Jawa.

Masyarakat Indonesia akan lebih mudah menerima ajaran Islam yang rahmat lil alamin  sebab kultur orang Indonesia yang memiliki corak mistisisme yang diajarkan oleh agama-agama sebelumnya yakni Hindu dan Budha, ketika didatangi oleh Islam corak sufisme (mistisisme Islam), maka tidak terjadi benturan bahkan lebih cepat dan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia pada waktu itu.

Berbeda dengan paham radikalisme yang cenderung kepada pendekatan lahiriyah dan terlihat sangat kontras terhadap kultur bangsa Indonesia. Bukti nyata adalah semakin maraknya kemunculan organisasi-organisasi berpaham radikalisme di Indonesia, maka semakin masif pula kemunculan organisasi-organisasi Islam inklusif yang melakukan perlawanan terhadap radikalisme.

Maka dari itu, refleksi terhadap sejarah bangsa kita akan sangat berpengaruh terhadap perisai dari paham-paham radikal yang dianggap mengancam kedaulatan maupun keamanan bangsa kita. Kejadian tindak terorisme tidak akan terjadi jika kita mau kembali kepada jati diri kultur bangsa kita dan cara pemahaman masyarakat kita terhadap Islam melalui pendekatan disiplin keilmuan yang utuh, bukan pemahaman instan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru