26.7 C
Jakarta

Di Sebuah Kafe Pesantren (Bagian XIV)

Artikel Trending

KhazanahOpiniDi Sebuah Kafe Pesantren (Bagian XIV)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Malam ini menjadi cerita yang membahagiakan. Diva, Nadia, Adel, dan Hanum tertawa lepas di kafe pesantren. Mereka merayakan tulisan Diva pada Sayembara Menulis tingkat nasional di Jakarta. Pasti Diva akan bertemu dengan penulis-penulis hebat seperti M. Quraish Shihab dan muridnya Nasaruddin Umar.

Adalah suatu kesempatan berharga dan menggembirakan mendapat kesempatan presentasi tulisan di depan publik, apalagi menjadi pemenang nomor wahid. Di samping itu, Diva bisa jalan-jalan keluar pesantren melihat cakrawala pengetahuan yang amat luas dan indahnya ibu kota. Bisa melihat perkembangan dunia yang lebih luas daripada di pesantren.

Diva memang terlahir di pedesaan, tapi berpemikiran besar untuk bisa melihat dunia yang maha luas. Menjadi traveller adalah cara untuk mengelilingi dunia. Mimpinya menginjakkan kaki di altar Menara Eiffel Paris, bahkan melihat sejarah peradaban di Eropa. Mimpi itu menguatkan Diva untuk terus berproses. Mungkin dengan cara menulis, mimpi besar itu menjadi nyata. Coming true.

Aneka novel yang dibaca banyak menginspirasi masa depan Diva, begitu pula teman-temannya Nadia, Adel, dan Hanum. Diva terinspirasi dari novel Andrea Hirata berjudul Sang Pemimpi yang menceritakan tokoh bernama Ikal sebagai pemimpi sejati untuk melihat cakrawala dunia Eropa. Sementara, teman-temannya termotivasi dari novel Habiburrahman El Shiharzy berjudul Ayat-ayat Cinta yang menggambarkan Piramida Mesir yang menakjubkan, bahkan novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Salsabila Rais dan Rangga Almahendra.

“Selamat, Div!” Adel dan Hanum menyambut bahagia atas lolosnya tulisan Diva di Sayembara Menulis.

“Tengkyu.”

“Makin sukses sahabatku ini ya!” Adel berkata ketus.

Diva tersenyum sumringah.

“Aku jus mangga,” Diva mengalihkan pembicaraan, “Ayo Adel, Hanum, Kak Nadia juga.”

Menu minuman di kafe diotak-atik. Pesantren yang katanya terpinggirkan ternyata tidak seperti yang banyak orang bayangkan. Di sana ada kafe untuk tempat diskusi, ngobrol, dan mengerjakan tugas.

BACA JUGA  Agama Kita Itu Islam, Bukan Ormas!

“Traktiran ceritanya nih! Aku jus alpukat,” desis Hanum.

“Alpukat juga,” ketus Adel.

“Kak Nadia pesen apa?” tanya Hanum.

“O ya, jus sirsak saja.” Nadia fokus membaca print out tulisan Diva, jadinya kurang fokus pada yang lain.

Rasanya begitu menyenangkan berkumpul dengan sahabat yang memiliki masa depan yang besar. Bisa berbagi kebahagiaan, termasuk berbagi rezeki kala punya uang. Biasanya santri mengantongi dompet tebal saat awal bulan, karena pada waktu itu orangtua mengunjungi anaknya di pesantren.

Nadia berkomentar, “Tulisanmu sederhana. Enak dibaca. Tak ubahnya makan kacang. Renyah.”

“Diva masih belajar, Kak.” Diva memang selalu tawaduk. Tidak sombong. Biarkan orang lain yang menilai baik.

“Boleh baca, Kak?” pinta Adel. Adel penulis hebat juga.

“Silakan!” kata Nadia.

Adel mengambil dan membaca sepintas tulisan Diva. Hanum juga ikut mengintip. Mereka geleng-geleng. “Bak berada di tengah lautan yang maha luas,” ketus Hanum.

Tulisan Diva yang renyah tentunya berangkat dari buku bacaannya saban hari. “Membaca novel banyak memengaruhi tulisan terkesan renyah dan mendalam,” puji Nadia.

Diva banyak membaca novel daripada membaca buku yang lain. Novel mengajak pembaca larut dalam cerita seakan pembaca menjadi bagian dari cerita itu. Tidak sulit dicerna, bahkan mudah diingat.

“Tak ubahnya tulisannya Quraish Shihab,” ucap Adel.

“Benar,” sergap Nadia.

“Tidak paham.” Hanum bertanya mengapa menyebut pakar tafsir Quraish Shihab.

“Tulisan Quraish Shihab enak dibaca, ulasannya mendalam, bahkan tidak membosankan,” jelas Nadia.

Hanum tidak banyak baca buku-buku Quraish Shihab, jadi tidak banyak tahu.

Malam semakin kelam. Bel pesantren baru melengking. Kafe mulai ditutup. Beberapa santri menghilang. Pelayan kafe merapikan kursi yang berserakan. Mereka baru kembali ke bilik masing-masing.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru