28.9 C
Jakarta

Desas-desus Perkawinan Anak dan Risiko yang Terabaikan

Artikel Trending

KhazanahPerempuanDesas-desus Perkawinan Anak dan Risiko yang Terabaikan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Beberapa waktu lalu saya mengirimkan pesan pada seorang teman yang aktif dalam gerakan anti perkawinan anak. Saya bertanya bagaimana bisa anak di bawah 19 tahun tetap bisa melakukan perkawinan. Ia memberikan analogi keluarnya izin dispensasi perkawinan usia anak, seperti siswa SMA diizinkan mengendarai motor meski belum memiliki SIM.

Bisa dikatakan ini adalah analogi yang tepat, dengan alasan memudahkan mobilitas anak sekolah. Anak SMA belum memiliki SIM, diberi pemakluman untuk mengendarai motor. Meski secara peraturan jelas salah, namun dalam praktiknya mau tidak mau diizinkan.

Begitu pula dengan dispensasi perkawinan anak. Telah ada aturan yang mengatur batas minimal perkawinan.Tapi sering kali alasan pemohon seperti menghindari zina, kesulitan ekonomi membuat Pengadilan Agama memberi dispensasi perkawinan usia anak.

Sebenarnya pemerintah telah merevisi Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, menggantinya dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Batas minimal perkawinan baik perempuan maupun laki-laki menjadi 19 tahun. Selain itu, aturan dispensasi perkawinan pun telah diperketat.

Meski, aturan telah mengalami perubahan, perkawinan anak di Indonesia masih saja tergolong tinggi. Indonesia menempati posisi kedua di ASEAN dan berada di nomor delapan dunia . Banyak pengajuan dispensasi perkawinan dengan usia di bawah 19 tahun dan memperoleh izin melangsungkan perkawinan.

Pada 2020 perkawinan anak terus mengalami kenaikan, kondisi ini diperburuk dengan terjadinya pandemi Covid-19. Kondisi perekonomian yang memburuk, penutupan pelayanan kesehatan hingga penutupan sekolah akibat pandemi turut andil dalam peningkatan perkawinan anak.

Selama pandemi Covid-19, terjadi kenaikan permohonan dispensasi perkawinan anak dibanding 2019. Permohonan dispensasi perkawinan anak naik dari 23 ribu pada 2019 menjadi 34 ribu pada 2020. Sebesar 97% permohonan dispensasi dikabulkan dan 60% yang mengajukan dispensasi ialah anak berusia di bawah 18 tahun.

Dengan ini, perlu adanya peninjauan kembali legalisasi dan syarat dispensasi perkawinan usia anak. Pemerintah harus memberikan perhatian lebih pada kasus perkawinan anak. Sebagaimana komitmennya akan penghapusan perkawinan anak pada 2030.

Perkawinan anak ialah persoalan dengan kompleksitas tinggi. Banyaknya masalah sosial yang belum usai di masyarakat menjadi faktor tingginya perkawinan anak. Pertama ada faktor ekonomi, persoalan ekonomi masih menjadi alasan paling dominan orang tua mendorong anaknya melakukan perkawinan anak.

Mereka berkeyakinan dengan menikahkan anaknya maka beban ekonominya akan berkurang. Padahal dengan menikahkan di usia anak akan menimbulkan persoalan baru. Misal, anak-anak yang menikah kemudian belum mampu menghidupi kehidupannya. Maka orang tua yang akan ambil peran.

Kedua, ketidaksetaraan gender di masyarakat. Perempuan masih dianggap posisinya lebih rendah dari laki-laki. Sering kali orang tua mendorong anak perempuannya untuk menikah muda. Karena dianggap memiliki posisi lebih rendah, perempuan enggan untuk menolak dorongan orang tua.

Ketiga, kurangnya akses terhadap layanan dan informasi kesehatan reproduksi. Di masyarakat masih minim pemahaman risiko perkawinan anak. Belum banyak masyarakat mengetahui akibat melahirkan di usia muda, tingkat kematian ibu setelah melahirkan, bayi lahir prematur, hingga risiko HIV/AIDS.

Masih banyak lagi faktor penyebab pernikahan anak. Kurangnya akses pendidikan, konflik sosial, budaya perjodohan, interpretasi agama, dan praktik tradisi lokal yang melegitimasi perkawinan anak (UNFPA, 2015)

BACA JUGA  Perempuan dan Keadilan Gender: Sebuah Telaah Ulang

Risiko Perkawinan Anak

Sudah seharusnya perkawinan anak yang terjadi di masyarakat harus dihentikan. Permasalahan psikologis anak, kesehatan, pendidikan, ekonomi-demografi akan menjadi dampak dilangsungkannya perkawinan anak. Perkawinan anak bukanlah suatu solusi, malah bisa jadi masalah karena menimbulkan masalah-masalah baru.

Dikutip dari The Conversation bahwa perkawinan anak adalah sumber dari berbagai masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Banyak risiko yang timbul dari perkawinan anak.

Pertama, gangguan kesehatan mental. Secara psikologis usia anak belum siap untuk memecahkan banyak persoalan. Menikah di usia muda apalagi masih dalam usia anak rentan mengalami stres, cemas, depresi, karena banyak beban tanggung jawab yang dipikul.

Kedua, pernikahan usia anak meningkatkan risiko Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perceraian. Pasangan pengantin dengan usia yang tergolong dalam usia anak masih memiliki emosi yang belum stabil.

Emosi yang belum stabil memicu pertikaian yang berujung pada kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian yang dilakukan Kidman (2017), secara global perempuan yang menikah sebelum umur 15 tahun kemungkinan mengalami KDRT meningkat 50% dibanding perempuan yang menikah setelah usia 18 tahun. Persoalan-persoalan yang terus terjadi dalam rumah tangga dapat berujung pada perceraian.

Ketiga, masalah kehamilan. Kehamilan pada perempuan usia anak sangatlah berisiko, dapat terjadi komplikasi baik pada ibu maupun anaknya. Kemungkinan, kematian ibu setelah melahirkan juga tinggi karena organ reproduksinya belum siap.

Risiko kematian tidak hanya mengancam ibu, tapi juga bayi yang dilahirkan. Bayi yang lahir dari ibu yang berusia di bawah 20 tahun, lebih berisiko meninggal dibanding ibu yang berusia 20-30 tahun.

Keempat, ketidakadilan terhadap perempuan. Data dari BPF UNICEF yang dirilis pada 2018 anak perempuan lebih rentan mengalami perkawinan anak. Satu dari 9 perempuan berusia 20-24 tahun melakukan pernikahan saat usianya di bawah 18 tahun. Sedangkan, anak laki-laki berusia 20-24 tahun yang menikah di bawah 18 yaitu 1 dari 100.

Jelas perempuan lebih rentan mengalami perkawinan anak. Dengan ini perempuan telah kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi. Hak hidupnya karena terancam kematian akibat kehamilan di usia muda.

Kelima, masalah perekonomian. Pasangan yang menikah dalam kategori anak, memiliki kemungkinan besar mengalami kesulitan ekonomi. Kondisi ini akan semakin buruk, terutama jika laki-laki belum memiliki pekerjaan, belum mampu memenuhi kebutuhan keluarga.

Keenam, pendidikan terputus. Anak yang menikah sebelum umur 18 tahun baik perempuan maupun laki-laki tidak memiliki kesempatan mengenyam pendidikan wajib belajar 12 tahun.

Data Susenas 2018 anak yang menikah sebelum umur 18, jenjang pendidikan tertingginya hanya Sekolah Menengah Pertama (SMP).  Sekitar 11,76% perempuan dan 19, 23 persen laki-laki berusia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia dewasa menyelesaikan ajib belajar 12 tahun.

Begitu banyaknya risiko negatif dari perkawinan anak dari kekerasan, putusnya pendidikan, persoalan ekonomi. Seharusnya baik masyarakat maupun pemerintah harus bekerja sama untuk menekan perkawinan anak.

Terutama pemerintah, harus memberikan perhatian khusus pada perkawinan anak dengan menegaskan peraturan-peraturan baik di tingkat pusat maupun daerah. Pemerintah harus memberi perhatian lebih pada syarat dispensasi perkawinan anak.

Wuri Astuti
Wuri Astuti
Mahasiswi Universitas Brawijaya, Anggota Puan Menulis.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru