33.8 C
Jakarta

Deradikalisasi dan Pembangunan SDM Melalui Perpustakaan

Artikel Trending

KhazanahPerspektifDeradikalisasi dan Pembangunan SDM Melalui Perpustakaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Berbagai media baik skala lokal, nasional dan internasional menyajikan sebuah berita dengan tema umum yakni radikalisme, ekstremisme hingga terorisme. Sehingga akhir-akhir ini, menjadi ketertarikan tersendiri. Terutama mengenai pembangunan SDM, mampukah ia menjadi penyokong deradikalisasi?

Bagi kalangan akademisi, peneliti maupun masyarakat yang suka ngopi di warung kopi turut merespons insiden tersebut sekaligus mendiskusikannya, hingga menjadi konsentrasi kajian dalam disiplin ilmu di institusi pendidikan yakni Terrorism Studies, atau National Resilience & Security (Keamanan dan Ketahanan Nasional) dengan konsentrasi Counter-Terrorism Studies.

Berkaca di Indonesia, gerakan radikalisme, ekstremisme hingga berujung pada terorisme tak kunjung surut. Misalnya data yang dilaporkan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror melalui Kompas, sejak Desember 2022, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menyebutkan sejumlah 26 terduga teroris merupakan jaringan dari Jama’ah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Islamiyah (JI) dengan penangkapan di lima wilayah yang berbeda.

Sebelumnya dalam rentetan sejarah menyebutkan, berdasarkan penelurusan penulis bahwa sejarah masuknya terorisme awal mula yakni pada tanggal 28 Maret 1981. Terjadi pembajakan pesawat DC-9 Woyla Garuda Indonesia penerbangan dengan berangkat dari Jakarta menuju Medan dengan transit Palembang.

Dikabarkan bahwa pembajakan pesawat tersebut dilakukan oleh lima orang yang terduga sebagai teroris yang menyamar sebagai penumpang. Penyamarannya juga membawa senjata senapan mesin dan granat, serta mengaku sebagai anggota Komando Jihad. Alhasil, bahwa kejadian tersebut menewaskan lima orang yang terdiri dari tiga sebagai terduga teroris, satu tentara komando dan satu kru pesawat.

Menyambung paragraf sebelumnya, atas insiden peristiwa tersebut, otak dari peristiwa pembajakan pesawat DC-9 adalah Imran bin Muhammad Zein. Hal tersebut dibuktikan dengan putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 1981 dengan menjatuhkan hukuman mati.

Tak hanya peristiwa itu, melainkan terdapat beberapa insiden yang mengerikan dalam gerakan terorisme yakni bom bunuh diri, yang menjadi ketakutan hingga trauma secara psikis oleh masyarakat setempat akibat dari serangan tersebut. Misalnya yakni pada tanggal 12 Oktober 2002, insiden Bom Bali dengan ditandai dengan tiga ledakan di malam hari. Dua ledakan sekaligus di dua titik yakni Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) berlokasi di Jalan Legian, Kuta, Bali. Disusul dengan ledakan terakhir di dekat kantor Konsulat Jenderal Amerika Serikat.

Sehingga peristiwa tersebut memakan korban dengan jumlah 203 meninggal dunia dan 209 orang cedera. Dan mayoritas korban yang meninggal merupakan wisatawan mancanegara yang berada di lokasi wisata tersebut. Dalam laporan investigasi personal keamanan Polri dan TNI melaporkan beberapa dugaan pelaku yang dijadikan tersangka yang menonjol dalam pembicaraan yakni Amrozi, Imam Samudera, Nordin M. Top hingga Umar Patek.

Oleh karena itulah, melihat realitas tersebut menjadi kegelisahan seorang penulis merespons atas peristiwa tersebut dengan program deradikalisasi dan penguatan literasi, serta keterlibatan perpustakaan hadir dalam menyajikan bahan materi atau ajar yang berorientasi pada nilai mencerdaskan kehidupan anak bangsa dengan menyajikan nilai-nilai kebangsaan Indonesia yang menjunjung tinggi toleransi dan moderasi beragama.

Pembangunan SDM melalui Perpustakaan

Mengutip dari buku berjudul “Definitions of Globalization: A Comprehensive Overview and a Proposed Definition” (2006), globalisasi bukanlah konsep tunggal yang dapat didefinisikan dan dicakup dalam kerangka waktu yang ditetapkan, juga bukan proses yang dapat didefinisikan secara jelas dengan awal dan akhir.

BACA JUGA  Menyelisik Kontinuitas Deradikalisasi Sebagai Benchmark Kontra-Terorisme

Karena, globalisasi melibatkan integrasi ekonomi, pengalihan kebijakan lintas batas, transmisi pengetahuan, stabilitas budaya, reproduksi, relasi, dan wacana kekuasaan. Sehingga hal tersebut merupakan proses global, konsep, revolusi, dan “pembentukan pasar global yang bebas dari kontrol sosio-politik. (P. V. Nikitin and J. E. Elliott, Freedom and the Market, 2006).

Dalam pemfokusan dari penulis tersendiri, dalam konteks Pancasila yang sudah menjadi konsesus bersama sebagai ideologi way of life (pandangan hidup), philosophische grondslag (falsafah dasar) hingga staat fundamental norm (norma fundamental negara), yang menjadi perhatian adalah bagaimana globalisasi mempunyai agenda tersembunyi yakni lokasi geografis, status sosial, latar belakang budaya, dan afilisasi etnis maupun agama.

Selain itu, ideologi politik individu/tunggal yang dapat mengacaukan dalam konsep berbangsa yang mengedepankan prinsip kebhinekaan dan humanisme universalistis. Bahkan, Martin Khor yang merupakan wartawan, ahli ekonomi sekaligus pengarah Third World Network pernah menyebutkan globalisasi sebagai penjajahan. (Lihat The Oracle, Globalization-More Then Meets The Eye, 2005) sehingga harus diantisipasi.

Meskipun dalam kurun waktu ini, beragam cara pandangan dalam merespons globalisasi turut mengandung sisi positif maupun negatif. Misalnya dari sisi positif yakni mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersifat kritis dan inklusif.

Namun yang menjadi ciri negatifnya yakni menguatnya kesenjangan sosial, sikap individualistik, liberalisasi ide dan wacana tanpa batas juga berpotensi dapat merusak peradaban bangsa Indonesia. Misalnya yakni masuknya liberalisasi kapitalistik hingga muncul adanya idelologi keagamaan bersifat fanatisme; taklid berujung pada radikalisme hingga terorisme.

Sejalan dengan masifnya ideologi transnasional mengarah pada indoktrinasi keagamaan berwatak eksklusif, radikalisasi kegamaan hingga berujung pada ekstremisme-terorisme akibat dari infiltrasi masuknya globalisasi. Maka selayaknya bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri dalam transformasi pendidikan; tradisionalis-konservatif bersifat eksklusif menjadi progresif-inklusif, dengan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dalam sambutannya pada Hari Ulang Tahun (HUT) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ke-77 dan Hari Guru Nasional berpesan tentang SDM unggul. Pertama, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peningkatan keterampilan teknis yang relevan dengan perkembangan zaman. Kedua, membangun mentalitas dan karakter (misalnya santun, jujur, budi pekerti, dan yang utama adalah gotong royong). Ketiga, kesehatan jasmani ditandai dengan kondisi fisik dan mental sehat. (Presidenri.go.id, 2022).

Terutama di sektor perpustakaan, baik perpustakaan di sektor institusi pendidikan, birokrasi pemerintah hingga perpustakaan yang tersedia di lapisan masyarakat dengan pendirian taman baca masyarakat.

Oleh karena itulah, penting adanya edukasi sejak dini dalam berbagai macam lapisan masyarakat. Dengan penguatan literasi serta penyediaan perpustakaan yang menyajikan materi bahan dan ajar yang berorientasi pada Pancasila sebagai segala sumber dari kehidupan. Yang mencakup aspek ketuhanan, humanisme, persatuan, gotong royong, perdamaian, toleransi dan keadilan.

Terutama bagi para scholar yang fokus dalam pengkajian ilmu perpustakaan. Pentingnya aspek ideologi Pancasila secara ilmiah dalam memberikan gambaran tentang bahanyanya radikalisme, ekstremisme hingga terorisme dengan penguatan pembaharuan pemikiran keagamaan dan kebangsaan yang inklusif.

Aji Cahyono
Aji Cahyono
Saat ini mengenyam pendidikan di Magister Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sebelumnya mengenyam Sarjana di Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Kesehariannya saat ini menulis kolom atau opini seputar atau isu aktual, serta mengkaji dalam perspektif akademik secara konstruktif.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru