Harakatuna.com. Cirebon – Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror menyambangi kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Kegiatan ini untuk memberikan pendidikan terhadap kader ulama untuk membangun generasi ulama masa depan dengan wawasan moderasi dan kemampuan menghadapi tantangan era modern.
Dalam paparannya, Kanit Subdit Kontra Radikal Densus 88 Antiteror Mabes Polri, AKBP Moh Dofir, menekankan pentingnya peran ulama dalam mencegah penyebaran paham Intoleransi, Radikalisme, Ekstremisme, dan Terorisme (IRET). “Intoleransi dan radikalisme adalah ancaman nyata yang terus berkembang di tengah masyarakat kita. Oleh karena itu, penting bagi para ulama untuk memahami pola penyebaran, perekrutan, dan strategi pencegahannya,” ujar Dofir pada Minggu, 8 Desember 2024.
Ia juga menjelaskan secara detail strategi deteksi dini pencegahan IRET, termasuk langkah-langkah dakwah untuk membentengi masyarakat dari pengaruh paham radikalisme. “Ulama harus menjadi garda terdepan dalam memberikan edukasi kepada masyarakat. Dengan dakwah yang menekankan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, kita bisa menciptakan lingkungan yang harmonis dan jauh dari ekstremisme,” tambahnya.
Dofir menyampaikan komitmen Polri untuk terus bersinergi dengan MUI, khususnya di Kabupaten Cirebon. Ia berharap kegiatan seperti ini dapat mencetak ulama-ulama moderat yang mampu menjawab tantangan zaman. “Kami dari Polri, khususnya Densus 88, akan terus mendukung penuh upaya MUI dalam mencetak ulama yang moderat. Ulama adalah pilar utama dalam menjaga persatuan bangsa, dan kami yakin melalui dakwah yang mengedepankan nilai-nilai moderasi, Indonesia dapat menjadi negara yang aman, tenteram, dan harmonis,” tuturnya.
Adapun pada acara yang dimoderatori langsung oleh Sekretaris Umum MUI Kabupaten Cirebon ini, 20 peserta yang mayoritas merupakan pengasuh dan pengurus pesantren, sangat antusias mengikuti sesi diskusi. Mereka sadar betul bahwa tantangan dalam menjaga keharmonisan masyarakat semakin kompleks di era modern.
Dalam suasana diskusi yang dinamis, berbagai pertanyaan dan kasus lapangan diangkat oleh peserta. Hal ini menegaskan bahwa kader ulama tidak hanya perlu memahami persoalan teologis, tetapi juga harus memiliki kemampuan menganalisis situasi sosial yang dapat memicu radikalisme. “Kader ulama ini bukan sekadar pewaris ilmu agama, tetapi juga agen perubahan yang akan membawa pesan Islam yang damai dan inklusif di tengah masyarakat,” ujar salah satu peserta.