26.7 C
Jakarta

Demokrasi atau Khilafah?

Artikel Trending

KhazanahTelaahDemokrasi atau Khilafah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ada yang menarik perlu kita telisik bersama ketika sebuah akun Instagram yang bernama @muslimahnews.id membagikan sebuah poster di feed Instagramnya berisi narasi yang perlu kita kritisi bersama. “Gaes, pilih demokrasi atau khilafah?”

Beberapa menit postingan tersebut diunggah, saya langsung sigap mengomentari postingan tersebut dengan cara santun dan sopan akan tetapi penuh gairah yang menggebu-gebu dengan pikiran “ini tidak boleh dibiarkan”, kata saya dalam hati. Sebagaimana semangatnya para ukhti-ukhti yang menjawab komentar tersebut dengan memilih khilafah.

Anehnya, yang menjawab komentar-komentar tersebut justru mayoritas perempuan dengan konten di feed Instagramnya berupa konten-konten keislaman yang cenderung menghakimi, mengharamkan, mengajak untuk berhijrah, ataupun narasi-narasi ekspresi keagamaan yang sedang menjadi tren saat ini.

Bertepatan dengan waktu saya melihat beranda instagram dengan seiring berjalannya waktu konten tersebut semakin banyak, Tagar #banggajadipejuangkhilafah di twitter mencuat dengan berbagai cuitan yang membanjiri beranda Twitter. Narasi kebanggan atas nama agama dengan legitimasi kebenaran dan menolak hukum selain hukum Allah banyak bermunculan.

Fenomena ini menjadi penting untuk kita lihat dengan maraknya informasi dan pengetahuan di teknologi dan penggunanya adalah mayoritas milenial, khususnya perempuan yang selalu menjadi sasaran bibit radikalisme dengan berbagai startegi yang digencarkan oleh berbagai kelompok sebelah.

Pemikiran semacam ini ini tentu bahayanya bukan main, sebab akan tercipta mindset dengan sikap ekslusif, menolak pancasila, menolak NKRI, serta seluruh hal yang tidak memiliki hubungan simbolik dengan agama, semua ditolak secara mentah-mentah. Pertama mereka menolak dengan berbagai alasan ketidakadilan yang diperlihatkan oleh

Zakiah dan Perempuan Sejenisnya

Masih ingat dengan Zakiah Aini yang namanya beberapa waktu belakangan ini mencuat tatkala dengan beraninya berusaha menyerang Mabes Polri dengan membawa senjata. Pesan dalam surat, Zakiah juga meminta keluarganya untuk tidak mengikuti kegiatan pemilu. Zakiah menuliskan demokrasi, Pancasila, UUD, pemilu berasal dari ajaran kafir yang jelas musyrik.

“Zakiah menasihatkan kepada Mama dan keluarga agar semuanya selamat dari fitnah dunia yaitu demokrasi, pemilu, dan tidak murtad tanpa sadar,” tulis Zakiah dalam surat wasiat kepada keluarganya.

Redaksi tulisan yang disampaikan oleh Zakiah seharusnya turut memicu kegelisahan orang-orang yang melek literasi beragama, ilmuwan yang memiliki kecakapan literasi tinggi menyikapi fenomena yang terjadi pada hari ini.

BACA JUGA  Feminis Leadership: Melihat Keberhasilan Pemimpin Perempuan dalam Pencegahan Radikalisme

Saya kira kita cukup bisa memahami apa yang dialami oleh Zakiah ini bisa dikatakan penyakit sosial yang biasa dialami oleh perempuan milenial seiring dengan kemudahan akses internet yang semakin tinggi. Belum lagi dengan meramunya konten-konten yang mengkampanyekan penolakan NKRI dengan berbagai ekspresi keberagamaan, mereka menyuguhkan kenyamanan kepada perempuan-perempuan milenial yang haus akan pengetahuan agama.

Zakiah bukanlah perempuan yang tidak berpendidikan. Ia justru menempuh strata 1. Itu artinya jika dipikir menggunakan logika, seharusnya penanaman ideologi kebangsaan dan kenegaraan sudah final dilalui oleh seorang mahasiswa.

Seharusnya, pemahaman akan kesadaran keindonesiaan yang seharusnya terpatri dalam diri Zakiah adalah kesatuan dan persatuan. Namun, justru sebaliknya. Ini artinya, bisa dipastikan ada Zakiah kedua, ketiga, keempat bahkan lebih banyak Zakiah lagi yang memiliki ideologi demikian.

kalimat tersebut dibuktikan dengan beberapa komentar yang masuk dalam postingan akun tersebut yang secara semangat disertai emoticon yang menggebu-gebu dengan tulisan khilafah. Komentar tersebut terus bertambah seiring berjalannya waktu. Ini artinya, hal tersebut sudah menjadi ideologi pada perempuan-perempuan yang ada didalamnya.

Penolakan Demokrasi adalah Bibit Radikalisme

Ideologi memang tidak lain dan tidak bukan adalah alat “berperang” untuk mencapai sesuatu yakni kemenangan. Dan semakin lama ideologi semakin mengeras dan sulit dikoreksi, dan para penganutnya akan semakin membuta dan lama-lama akan kehilangan akal pikirannya sendiri. Ideologi dapat menggantikan pikiranm karena ia telah memudahkan orang untuk berfikir dan menyederhanakan realitas (Bonnie Setiawan: 2002).

Persoalan ideologi ini sangat tidak mudah untuk diberangus begitu saja. Sebab meskipun seseorang sudah mengetahui kebenarannya dan apa yang diyakininya berbanding terbalik dengan fakta yang ada, akan tetapi ketika sudah menjadi ideologi maka akan sangat sulit untuk dibuang begitu saja.

Justru tantangannya semakin luas, ketika diiringi dengan banyaknya penyebaran-penyebaran ideologi yang serupa disertai berbagai taktik yang bisa memberikan kenyamanan pada pemeluknya. Apalagi hadiah syurga, merupakan hadiah tertinggi dalam tatanan pemikiran yang diyakinya. Wallahu a’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru