34.1 C
Jakarta

Deligitimasi Pengerasan Ideologi Islam Transnasional

Artikel Trending

Milenial IslamDeligitimasi Pengerasan Ideologi Islam Transnasional
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Simpatisan gerakan radikal-ekstrem pura-pura beradaptasi melalui kultur demokrasi, agenda mereka melalui jalur gerakan hijrah, dan jihad. Tak heran, ketika demokrasi menjadi alat vital bagi mereka untuk promosi proyek radikalisasi. Di tengah kebebasannya, gerakan tersebut justru semakin rutin mengatur strategi marketing pengerasan ideologi Islam transnasional.

Menurut Roberts (2017), pola pikir gerakan ideologi Islam transnasional dominan konservatif, dan tekstual/skriptual. Spesifikasinya, gerakan itu hanya berpandangan bahwa umat Islam cukup bersumber pada al-Qur’an dan Hadits (naqliyah). Beberapa teks dalam keyakinan (aqliyah) umat Islam yang dinilai kelompok barat sebagai doktrin fundamentalisme atau radikal seperti halnya konsep jihad, dan semangat menolak konsep nation state di era modern.

Cara pandang Islam demikian teridentifikasi fanatik, dan mencari legitimasi gerakan pembenaran pada argumetasinya sendiri. Tatkala, ada umat yang berbeda pemikiran mereka dengan mudah bertindak main hakim sendiri, misalnya, mengkafirkan muslim yang berbeda madzhab, memurtadkan muslim yang tidak taat pada golongannya, dan menghukumi demokrasi haram.

Indikator tersebut amat marak jarigannya di suatu negara di dunia, khususnya, di Indonesia, faktanya kemunculan jaringan, dan pentolan Ikhwanul Muslimin, ISIS, al-Qaeda, JI, JAD, dan JAT. Gerakan mereka jelas-jelas memalsukan literatur Islam yang sebenarnya melalui dakwahnya. Di waktu yang bersamaan, keberadaan Hizbut Tahrir, MMI, Jamaah Ansharul Khilafah, dan Khilafatul Muslimin. Gerakan ini anti Pancasila, dan demokrasi.

Tak dapat dipungkiri, faktor menguatnya radikalisme-terorisme salah satu penyebabnya adalah doktrin pengerasan ideologi Islam transnasional yang tak mampu beradaptasi dengan negara demokrasi yang berdasar Pancasila. Bahkan, pasca Indonesia menjadi negara yang sangat modern di sektor keberagaman telah menimbulkan gelombang konfrontasi gagasan. Antara lain, gagasan formalisasi syariat, penyatuan dunia Islam, dan negara khilafah.

Tampaknya, pemikiran Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, dan Taqiyuddin an-Nabhani memotivasi jejaring gerakan ideologi Islam transnasional di negeri ini (Indonesia). Itulah gerakan mereka hanya sebatas memandang Islam itu cukup di dalil Nas saja, sehingga cara pandang mereka alot, dan tidak menggunakan pendekatan Qiyas, dan Ra’yu. Akhirnya, para pemeluknya tak mampu memahami secara objektif mana agama dan mana negara.

Pola Gerakan Islam Transnasional

Di Indonesia, gerakan Islam transnasional sedang dalam pencarian jati diri, sehingga terjadi perubahan pola kegiatan dalam suatu gerakan. Baik itu, di muslim lokal maupun perkotaan itu sendiri. Di perkotaan, lebih banyak menggelar kajian/halaqah keislaman tanpa disertai sanad keguruan yang jelas. Sedangkan di lokal, umat Islam lebih banyak berinteraksi dengan para ulama atau kiai-kiai yang memiliki lata belakang keilmuan yang jelas.

Umat Islam di kota-kota ini, cenderung dominan berinteraksi dengan belajar Islam secara otodidak baik melalui google, sumbernya dari postingan-postingan ceramah keagamaan yang intoleran di youtube. Dan itu tanpa dasar-dasar keislaman yang kuat, hal itu merupakan salah satu faktor umat Islam terpapar radikalisme (ideologi Islam transnasional) yang membentuk pola pikirnya bertambah keras, dan seakan-akan pendapatnya paling benar.

BACA JUGA  Overdosis Ajaran Radikal Manipulatif di Media Sosial

Strategi gerakan mereka memang ampuh, dan efeknya lumrah memperkeras ideologinya seluruh umat Islam supaya ikut bersatu. Selain gerakan tersebut lihat, dan pandai memainkan isu-isu strategis di negeri ini. Seperti halnya, dengan isu SARA, membenturkan Islam dan negara, isu khilafah, hingga memainkan isu siyasah atau yang terkait dengan sistem ketatanegaraan.

Jaringan ideologi Islam transnasional dapat diakui solid membangun sebuah gerakan, dan menebar narasi bahwa Islam atau syariat harus tegak di atas kedaulatan negara. Framing tersebut secara tidak langsung memberikan pengaruh psikologis pada umat Islam. Akhirnya, kesadaran sosial kita semakin tergores dan terkikis keimanannya diakibatkan ajakan-ajakan simbolis yang dapat melahirkan generasi teroris.

Ideologi gerakan Islam ini kian mengakar dan muncul di berbagai sektor kehidupan. Hal itu berdasarkan laporan penelitian Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin (2012), tentang perkembangan genealogi Islam transnasional di Indonesia. Bahwa, radikalisme Islam tidak lahir begitu saja, tetapi atas dasar latar belakang sosial, politik, dan ekonomi yang mendahuluinya.

Dalam konteks ini, radikalisme akan tetap tumbuh dan berkembang dari paham menjadi pemikiran atau ideologi yang selalu memanfaatkan agenda sosial, politik, dan ekonomi. Oleh karena itu, gerakan Islam penganut ideologi transnasional yang membenarkan kekerasan atas nama agama bertentangan dengan syariat, dan ajaran Islam, khususnya dengan prinsip kemanusiaan.

Deligitimasi

Opsi gerakan Islam tradisional-modern seperti NU, dan Muhammadiyah harus meramu agenda sosial-keagamaan tidak hanya di tingkat jaringannya saja. Namun, juga merangkum beragam wawasan keislaman yang mengedepan rahmatan lil ‘alamin, dan tawassuth/wasathiyah; atau yang kita kenal di kalangan milenial adalah jargon Islam Nusantara, dan Islam Berkemajuan. Dengan prinsip dasarnya, menguatkan akidah, syariah, moderat, dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.

Prinsip tersebut selaras dengan apa yang selama ini telah diperjuangkan oleh ulama-ulama penganut ahlus sunnah wal jamaah (Aswaja), dimana para ulama NU dan Muhammadiyah masih tetap konsisten, dan istiqamah dalam membetengi negara. Konsep ini setidaknya menjadi mesin utama dalam upaya mendeligitimasi gerakan ideologi Islam transnasional di Indonesia.

Dan ormas Islam moderat (NU-Muhammadiyah) perlu melakukan terobosan yang bersifat mencegah, dan menghentikan narasi-narasi dakwah, dan jihad atas nama Islam. Dan apalagi dalil agama tersebut dijadikan alat untuk memukul kebijakan pemerintah, serta menjadi instrumen identitas. Dalam artinya, ajaran Islam dipertentangkan dengan negara.

Sebuah agitasi yang harus diakhiri, negara hukumnya fardu kifayah membuat literatur-literatur keislaman yang ingklusif. Paling tidak, dapat melibatkan sejumlah tokoh dari semua agama. Juga para ulama yang memiliki nasionalisme harus mengoptimalkan ide tersebut, agar radikalisme-terorisme yang berkedok agama tidak lagi kembali ke negeri ini.

Alhasil, langkah-langkah strategis itu dapat kita yakini sebagai corong Islam yang menyuarakan misi perdamaian di dunia global. Namun, bukan Islam yang cenderung menghadirkan semangat kekerasan. Untungnya, negara memiliki ormas yang masih gigih dan tak mudah goyah yaitu, NU dan Muhammadiyah. Selagi ada dua ormas ini Islam transnasional akan hancur lebur. Amin!!!

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru