27.2 C
Jakarta

Dekonstruksi Syariah, Upaya Pencegahan Islam Fundamentalis

Artikel Trending

KhazanahPerspektifDekonstruksi Syariah, Upaya Pencegahan Islam Fundamentalis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sebagai seorang Muslim yang mengakui akurasi Islam yang bersifat universal dan shalih likulli zaman wa makan, kita akan menemukan relevansi dengan pembahasan yang akan dipaparkan oleh penulis. Universalitas Islam tidak cukup jika hanya diikrarkan secara lisam maupun tulisan.

Akan tetapi, akan lebih melegetimasi gagasan tersebut jika terdapat satu bentuk implikasi yang nyata, salah satunya yaitu dengan gagasan-gagasan baru yang sesuai dengan dinamika pengetahuan serta peradaban.

Dekonstruksi syariah merupakan satu gagasan baru yang pas akan hal itu. Satu wacana yang diajukan oleh tokoh Sudan ternama, Abdullah Ahmed al-Na’im, yang berusaha membuka wawasan publik dengan satu pembaharuan dalam bidang syariah. Pembaharuan yang diaksudkan adalah reformulasi kebijakan hukum dalam Islam yang berhubungan dengan hukum public, pidana, hak-hak asasi manusia, dan hubungan internasional.

Wacana tersebut memang terbilang baru dalam kancah keislaman, sehinga hal tersebut akan sulit membudaya dnegan pemikiran kaum Islam secara kolektif. Lebih-lebih bagi penganut fundamentalisme dalam agama Islam. yang dimaksud dengan fundamentalisme sendiri adalah gerakan keislaman yang berupaya kemali kepada dasar-dasar keimanan, penegakan kekuasaan politik ummah, dan pengukuhan dasar-dasar otoritas yang abash.

Dalam kata lain, kecenderungan kaum fundamentalis adalah pemahaman Islam yang harus sesuai dengan teks yang absah dari al-Qur’an maupun hadits. Namun, sebelum kita membahas lebih komprehensif mengenai ajaran fundamentalisme dan dekonstruki syariah, akan lebih baik jika kita memahami dua istilah tersebut.

Apa Itu Islam Fundamentalis?

Ajaran fundamentalisme Islam muncul pertama kali di lingkungan agama Nasrani, khsusunya di Amerika serikat. Gerakannya adalah dengan bentuk konservatif protestanisme, yang biasanya anti kepada kaum moderni dengan interpretasi yang agak literal dan terbatas terhadap litab injil dan sangat menekankan pada etika tradisional Kristen. Akan tetapi, istilah tersebut tergiring masuk ke dalam agama Islam yang memiliki karakteristik beragama yang tidak jauh berbeda dengan kaum Nasrani.

Dalam Islam sendiri, istilah fundamentalis sulit diterima karena sering disifati dengan hal-hal yang berbau pejoratif. Selain itu, mereka juga dianggap sebagai golongan pembangkang, sering melakukan tindak kekerasan seperti teror, intimidasi, bahkan pembunuhan dalam mencapai tujuannya. Padahal, jika ditelisik secara historis, ajaran Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw membawa misi kedamaian, keselamatan, dan rahmat bagi semesta alam.

Penggunaan istilah “fundamentalis” dalam Islam, menimbulkan citra yang negative, yaitu ekstrimisme, fanatisme, dan terorisme dalam mewujudkan atau mempertahankan keyakinan keagamaan. Kaum fundamentalisme, sering kali disbeut dengan kaum yang kaku, tidak moderat, tidak rasional, dan cenderung melakukan kekerasan dalam penegakan syariah.  Hal itu dipengaruhi oleh metodologi pemikiran mereka dalam memahami Al-Qur’an dan hadis.

Sebagaimana pandangan Mahmud Amin al-Alim, bahwa fundamentalisme secara etimologi berasal dari kata “fundamen”, yang berarti dasar. Secara terminologi, berarti aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid dan literalis; tekstual.

Menurutnya, pemikiran fundamentalisme telah kehilangan relevansinya karena zaman selalu berubah dan problematika semakin kompleks. Perlu dilakukannya penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan dengan mengedepankan ijtihad, membongkar teks-teks yang kaku, dan mengutamakan maslahah serta maqashid al-syari’ah.

Bagaimana Konsep Dekonstruksi Syariah?

Seperti yang telah dipaparkan di paragraf sebelumnya, bahwa dekonstruksi syariah merupakan wacana publik untuk merformulasi serta merekonstruksi syariah dengan argumentasi yang jelas dan akurat. Hal itu ditujukan untuk tegaknya syariah Islam di era yang berbeda dari era masa syariah itu terbentuk. Bukan untuk menghapus ataupun menghilangkan syariah yang telah diajarkan Nabi dan para sahabat, akan tetapi memodifikasi sesuai tuntutan nilai spiritualitas Islam yang absah.

BACA JUGA  Serangan Moskow: Bentuk Ancaman Terorisme Itu Nyata!

Dekonstruksi syariah sendiri merupakan wacana yang diusung oleh al-Na’im, seorang tokoh Sudan dengan beberapa gelar akademiknya di tiga kampus dan denga. jurusan yang berbeda. Pertama, ia mendapatkan gelar S1-nya di Universitas Khartoum. Selanjutnya, pendidikan pascasarjana ia tempuh di Universitas Cambridge Inggris pada tahun 1971, dengan mengambil jurusan The Law Relating To Civil Libertis, Constitutional Law of Developing Countries and Private International Law.

Di waktu yang sama ia juga megambil jurusan kriminologi yang juga di kampus yang sama. Selanjutnya, gelar doktornya ia dapatkan dari Universita Ediburg, Skotlandia dalam bidang hukum.

Wacana ini menjadi salah satu upaya solutif bagi bahayanya ajaran fundemntalisme karena membuka kemungkinan untuk bisa diintepretasikan secara lebih luas dengan pendekatan sosiologis dan antropologis Sehingga, hukum syariah mampu diimplikasikan ke dalam, hak-hak asasi manusia, kebebasan, serta pemikiran-pemikiran radikal dan ekstrem.

Mengapa demikian? Karena dengan mereformulasikan ulang kebijakan hukum Islam yang diperlukan, serta direlevansikan dengan peradaban modern ini, maka kecacatan metodologi yang terdapat pada Islam Fundamentalis akan nampak pekat. Dengan syarat, wacana dekonstruksi syariah tersebut bisa diterima oleh komunitas Islam secara luas.

Membangkitkan Islam dengan Pengetahuan

Belakangan ini ramai dibicarakan oleh banyak kalangan tentang kebangkitan agama. Kebangkitan agama itu ditandai dengan meningkatnya dedikasi pemeluk agama terhadap ajaran agamanya (religious dedication), seperti makin rajinnya orang Islam mengerjakan shalat lima waktu puasa, dan ibadah-ibadah lainnya.

Kebangkitan itu tidak saja dialami oleh satu agama, melainkan semua agama mengalami fenomena yang sama. Salah satu yang menonjol dari fenomena kebangkitan agama tersebut adalah menguatnya pemahaman keagamaan yang berkarakter fundamentalis yang dialami oleh semua agama dan hampir terjadi di setiap wilayah dunia.

Padahal jika kita selisik secara lebih hati-hati, maka kebangkitan Islam sebenarnya adalah dengan kemampuan Islam untuk mengimbangi pemahaman-pemahaman modern seperti teknologi dan politik. Ismail Raji al-Faruqi, memberikan topik tersendiri terhadap hal tersebut dengan tema “islamisasi pengetahuanku”. Yaitu, satu upaya untuk mampu menghidupkan nilai-nilai Islam di semua kancah kehidupan modern, khususnya ilmu pengetahuan.

Dekonstruksi syariah juga merupakan upaya memperkenalkan kepada khalayak ramai bahwa pada era ini, Islam akan dinilai bangkit jika mampu memberikan persaingan dalam kancah kebijakan hukum, politik, dan lainnya. Al-Na’im sebagai pencetus wacana dekonstruksi syariah, menegaskan bahwa kebangkitan Islam sebanarnya adalah bagaimana cara untuk merespons terhadap krisis politik, ekonomi, militer yang berlarut-larut.

Hal itu akan dicapai dengan memberikan interpretasi yang luas dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan rasional. Bukan dengan mengukukan nilai fundamentalitas agama, yaitu kembali ke syariah murni sebagaimana yang dipraktikan Nabi, sahabat, maupun tabiin.

Jika hal itu diimplementasikan secara nyata, maka ajaran fundamentalis yang berbau ekstrim dan teror akan redup secara perlahan. Serta, tidak ada lagi gerakan radikal yang mengatasnamakan agama Islam. maka, Islam akan lebih mudah diterima oleh khalayak ramai dengan khanah keilmuan yang luas dengan tetap menautkan nilai-nilai spiritual di dalamnya.

Mahfudhin
Mahfudhin
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah. Peminat kajian tafsir Al-Qur’an, filsafat, linguistik, pendidikan, dan sosial-budaya.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru