25.4 C
Jakarta
Array

Dekonstruksi Nalar Radikalisme Masyarakat Multikultural

Artikel Trending

Dekonstruksi Nalar Radikalisme Masyarakat Multikultural
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saya teringat ketika pada 2013 lalu, salah seorang dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Politik, Ibu Wahidah Br. Siregar menceritakan hal yang membuat saya tercengang. Beliau bercerita tentang pengalamannya mengisi kuliah umum di Washington DC, AS. Salah seorang rekannya dari manca negara bertanya kepada beliau, “kenapa di negaramu selalu mengedepankan perbedaan (dengan adanya semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” = walaupun berbeda, tapi tetap satu)? Bukankah itu yang memicu adanya masalah kebangsaan seperti radikalisme suku, agama, dan ras?”. Lantas, beliau berpikir, “iya, ya. Kenapa harus perbedaan yang dikedepankan? Kenapa tidak dengan semboyan ‘kita tetap satu, walaupun berbeda’?”.

Cerita ini membuat saya berpikir kembali tentang bangsa yang multikultural ini. Bangsa yang terdiri dari banyak suku, banyak agama, dan terdiri dari berbagai ras selama ini telah menjadi karakter Indonesia. Dengan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bangsa ini telah berdiri dengan segala karakter dan khazanah lokal yang ada di dalamnya. Termasuk juga masyarakat yang memiliki corak dan warna yang berbeda-beda.

Persoalan yang paling krusial belakangan ini adalah merebaknya konflik dan radikalisme yang berkedok suku, agama, dan ras (selanjutnya disingkat menjadi SARA). Tentu, konflik dan radikalisme menjadi salah satu masalah (selain masalah politik dan hukum) yang sangat diperhitungkan dan berada pada wilayah yang sensitif bagi masyarakat kita.

Ada sebagian kalangan menganggap bahwa multikulturalitas sebagai pemicu adanya konflik dan radikalisme yang berbatu SARA. Multikulturalitas sebagai realitas sosial masyarakat kita seakan-akan telah menjadi masalah yang bahkan oleh berbagai kalangan dipandang sebagai suatu realitas sosial yang perlu dihilangkan. Ini terlihat dari banyaknya sikap organisasi masyarakat yang menginginkan bangsa ini harus terdiri dari satu suku, satu ras, dan bahkan yang paling gencar adalah harus terdiri dari satu agama.

Lantas, benarkah bahwa realitas masyarakat yang multikultural menjadi pemicu lahirnya konflik dan radikalisme? Bagaimanakah sikap kita sebagai warga negara menyikapi multikulturalitas sebagai karakter bangas Indonesia ini? 

Dekonstruksi

Kembali pada cerita dari dosen saya tentang semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” atau “Berbeda-beda, tetapi tetap satu” di atas. Jika saya tanggapi, semboyan demikian sebenarnya bukan dimaksudkan untuk mengutamakan perbedaan daripada persatuan. Redaksi “berbeda-beda, tetapi tetap satu” adalah sebuah gagasan yang didasarkan pada konteks sejarah di mana semboyan itu dibuat. Artinya, semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak lain adalah untuk menggambarkan realitas masyarakat yang multikultural di Indonesia, yang kemudian disatukan oleh satu bangsa, satu bahasa, yaitu bangsa dan bahasa Indonesia. Sementara redaksi kata “tetapi tetap satu” bukan untuk diakhirkan, melainkan dijadikan sebagai penyelesaian atau klimaks dari masyarakat multikultural (masyarakat yang berbeda-beda).

Gagasan ini sebenarnya terlahir dari logika pembalikan sebuah makna, atau dengan kata lain memakai “logika terbalik”. Jika dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti ‘berbeda-beda, tetapi tetap satu’ memakai logika induktif, maka perubahan menjadi kalimat “tetap satu, walaupun berbeda” adalah memakai logika deduktif. Akan tetapi, kedua proposisi ini sebenarnya memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda alias sama, tetapi yang membedakan adalah konteks dan kondisi sosial dari masyarakat dari masa ke masa. Jika pada masa Kerajaan Majapahit digambarkan dengan kerukunan masyarakat multikultural, terutama dalam hal beragama, sementara munculnya konflik dan radikalisme yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia kini ada perasangka bahwa Indonesia terlalu mengedepankan perbedaan sehingga melahirkan kegelisahan untuk merubah semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi Tunggal Ika Bhinneka.

Pertanyaannya kemudian, apakah menyebut Tunggal Ika Bhinneka atau ‘tetap satu, walaupun berbeda-beda’ adalah salah? Tidak. Karena, menurut hemat saya, istilah tersebut hanya terlahir dari kegelisahan dosen ilmu politik (Ibu Wahidah) saya, sama seperti kegelisahan yang saya rasakan. Bahkan dalam perspektif tertentu, saya juga setuju ketika Bu Wahidah mengatakan, bahwa demi persatuan dan kemajuan bangsa kita ke arah yang lebih baik, mineset rasisme harus dibuang jauh-jauh, sehingga antara Jawa, Madura, Batak, maupun Sunda tidak dibeda-bedakan, melainkan merupakan satu kesatuan bangsa yang akan duduk bersama-sama dalam berjuang menuju bangsa yang lebih baik.

Dus, apakah sebenarnya akar dari persoalan konflik dan radikalisme yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia? Tidak lain adalah persoalan mineset masyarakat yang kemudian menjelma menjadi nalar kelompok dalam suatu masyarakat yang dalam hal suku, ras, bahkan agama adalah berbeda-beda. Dari nalar inilah kemudian muncul penyakit primordialisme, etnosentrisme, diskriminasi, dan stereotipe sebagai sindrom yang pada akhirnya akan mengoyak kerukunan bangsa kita.

Nalar ini (baca: primordialisme, etnosentrisme, diskriminatif, stereotip dan radikalistik) yang perlu didekonstruksi dan dihilangkan sama sekali dari masyarakat kita yang multikultural ini. Meminjam teori “dekonstruksi”-nya Jacques Derrida, dekonstruksi adalah pembongkaran menuju pembebesan. Dalam konteks ini, dekonstruksi merupakan pembongkaran terhadap sesuatu yang telah mengalir bahkan melekat (baca: nalar) dalam diri masyarakat, kemudian membebaskan masyarakat dari jerat nalar tersebut. Sehingga, dengan adanya dekontrusksi nalar masyarakat ini pada akhirnya diharapkan dapat mengubur egoisme, dan mengenyahkan konflik maupun radikalisme, sehingga menciptakan sikap toleransi dan saling menghormati antarsuku, agama, dan ras yang satu dengan suku, agama, dan ras yang lain.

Kemudian, pada babakan selanjutnya, gerakan apakah yang harus dilakuan untuk membebaskan jerat nalar masyarakat multikultural ini? Pertama, dilakukan komunikasi kultural. Upaya ini mengindikasikan adanya suatu komunikasi yang intens antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain. Komunikasi kultural ini penting dilakukan karena di dalamnya akan ditemukan bahwa antara kebudayaan dalam suatu masyarakat suku, ras dan agama memiliki keistimewaan dan khazanah tersendiri.

Kedua, menumbuhkan sikap toleransi antarsesama. Sikap toleransii sebagai sebuah sikap yang mengawali ada sebuah usaha untuk selalu menganggap lainnya adalah wajar. Toleransi beragama, toleransi berbudaya, bahkan toleransi atas sikap orang yang oleh kita dinilai tidak mengenakkan hati. Untuk menanamkan sikap toleransi ini tidak bisa hanya dilakukan dalam satu hari, melainkan harus melalui proses pembiasaan secara intens. Sehingga, jika kemudian sikap toleransi ini dapat dimiliki oleh semua masyarakat yang multikultural ini, konflik dan radikalisme tidak akan pernah terjadi.

Ketiga, menumbuhkan kearifan nasional, disamping juga mempertahankan kearifan lokal yang bernilai ashlah. Dalam menumbuhkan kearifan nasional salah satunya adalah dapat dengan cara menanamkan nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa dan nilai-nilai Pancasila. Karena dengan demikian masyarakat akan menyadari adanya sebuah kearifan sebagai identitas bagi masyarakat indonesia, sehingga sebagai satu kesatuan bangsa, bahasa dan kesatuan tanah air, masyarakat tidak lagi mempertentangkan perbedaan.

Selain ketiga hal di atas, pendidikan multikultural perlu dilakukan sejak usia dini. Sejak di mana anak didik mulai paham tentang perbedaan besar-kecil, tinggi-rendah, panjang-pendek dan sejenisnya. Pengetahuan masyarakat tentang keanekaragaman bahwa dalam bangsa Indenesia ini terdiri dari banyak suku, agama, ras, tradisi, kebudayaan dan lain sejenisnya, sehingga perbedaan tersebut harus dijadikan sebagai pemacu semangat untuk sama-sama berjuang menuju Indonesia yang lebih baik.

Penutup

Realitas masyarakat multikultural di Indonesia merupakan sunnatullah yang harus kita lestarikan dan disatukan. Konflik dan radikalisme merupakan persoalan bangsa yang jika terjadi secara terus-menerus maka pada akhirnya akan menciptakan kehancuran bangsa kita. Oleh sebab itulah, mineset masyarakat yang kemudian menjadi nalar kelompok semacam primordialisme, etnosentrisme, diskriminatif dan stereotip merupakan penyakit yang harus dihancurkan dan dihilangkan dalam diri masyarakat.

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai sebuah rumus sosial untuk mempersatukan bangsa kita, setidaknya harus dimaknai secara luas dan holistik. Sebab dengan demikian masyarakat secara luas akan lebih bisa memahami nilai-nilai dasar bangsa kita, dan mempunyai rasa nasionalisme dengan pengakuan negara dengan satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air.

Akhirnya, tulisan ini bukan dimaksudkan mendoktrin masyarakat secara besar-besaran, melainkan hanya sebagai bentuk rekonstruksi menuju masayarakat Indonesia yang lebih baik dan beradab. Wallahu a’lam.

*Muhammad Mihrob, Alumnus Sosiologi FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru