30.8 C
Jakarta
spot_img

Degradasi Moral dalam Pendidikan Indonesia, Salah Siapa?

Artikel Trending

KhazanahOpiniDegradasi Moral dalam Pendidikan Indonesia, Salah Siapa?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dunia pendidikan kita sedang diliputi duka dan keprihatinan yang mendalam. Di tengah harapan besar agar pendidikan menjadi pilar pembentukan karakter dan moral anak bangsa, kita justru dikejutkan oleh berbagai kasus yang mencoreng nilai-nilai luhur pendidikan itu sendiri.

Mulai dari kasus guru yang dipenjara karena upaya mendisiplinkan siswa, salah satunya di Lamongan. Atau sebaliknya, oknum pendidik yang justru melanggar etika dengan menjadikan siswa sebagai objek pelecehan, seperti kasus di Gorontalo.

Selain itu ada juga penyalahgunaan kekuasaan orang tua untuk melindungi anak-anak mereka dari konsekuensi kesalahan yang dilakukan, seperti yang terjadi di Sulawesi Tenggara. Semua itu mencerminkan krisis moral di lingkungan yang seharusnya menjadi benteng utama bagi generasi penerus.

Fenomena degradasi moral itulah yang membuat kita bertanya, ke mana arah pendidikan kita sebenarnya?

Istilah degradasi moral terdiri dari dua kata, yaitu degradasi, yang menurut KBBI berarti kemunduran atau kemerosotan. Sementara itu, moral, menurut Robert J. Havighurst, profesor di Universitas Chicago, adalah sebuah nilai yang mencerminkan harapan atau keadaan ideal yang diinginkan secara spiritual. Jadi, degradasi moral bisa diartikan sebagai penurunan nilai-nilai yang kita anggap baik dan penting dalam kehidupan sosial.

Fenomena degradasi moral tersebut menjadi lebih mencolok ketika dikaitkan dengan dunia pendidikan. Hal itu tidak hanya merusak fondasi moral pendidikan, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan sebagai tempat penanaman nilai-nilai positif bagi generasi muda. Lantas siapakah pihak yang harus bertanggung jawab atas kesalahan semacam itu?

Dalam merespons permasalahan tersebut, kita harus terlebih dahulu melihat para pemegang peran penting dalam pendidikan. Terdapat tiga pihak yang menjadi penentu dalam keberlangsungan dan keberhasilan pendidikan, yaitu siswa, guru, dan orang tua, yang tentu ketiganya memiliki peran dan kewajiban masing-masing.

Pertama, mengenai peran dan kewajiban siswa. Mengutip syair terkenal dalam kitab Alala Tanalul ‘Ilma, untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, diperlukan enam hal: kecerdasan, semangat, kesabaran, dukungan biaya, petunjuk dari guru, dan waktu yang cukup. Singkatnya, siswa harus bersungguh-sungguh dan memiliki tekad yang bulat dalam menempuh pendidikan.

Kedua, peran guru. Menurut yang beredar secara luas, guru memiliki kepanjangan “digugu lan ditiru” berasal dari Bahasa Jawa. “Digugu” berarti setiap perkataan dan perbuatannya harus bisa dipertanggungjawabkan, sedangkan “ditiru” berarti setiap sikap dan perbuatannya pantas untuk dijadikan teladan bagi siswa. Jadi, selain menyampaikan materi, sudah sepatutnya seorang guru juga menjadi contoh dan teladan bagi siswa.

BACA JUGA  Membumikan Pancasila: Tantangan dan Harapan di Era Modern

Selain itu, dalam praktik pendidikan, guru tidak boleh mencampuradukkan antara pendidikan yang notabene adalah perkara yang baik dengan perkara yang batil di luar konteks pendidikan. Sebagaimana dalam surah al-Baqarah [2]: 42, Allah berfirman, “Janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (jangan pula) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahui(nya).” Misalnya, kasus yang akhir-akhir ini terjadi, terkait pencabulan santri oleh pimpinan ponpes di Jambi.

Ketiga, peran orang tua dalam pendidikan anaknya. Di antara peran tersebut adalah dalam hal pemenuhan biaya, turut memantau peserta didik, dan juga menghormati guru sebagai seseorang yang telah memberikan jasa dengan mengajarkan ilmu kepada anaknya.

Sebagaimana dalam sebuah kisah di madrasah Syekh Abdul Qadir, murid diajarkan ilmu dengan mengutamakan adab, termasuk rasa hormat yang tinggi kepada guru. Salah satu bentuk adab yang diajarkan adalah meraih keberkahan dengan memakan sisa makanan gurunya. Ketika seorang orang tua murid melihat hal itu, ia merasa anaknya diperlakukan rendah dan mendatangi Syekh Abdul Qadir untuk menyampaikan keberatannya.

Syekh Abdul Qadir lalu menyuruh orang tua itu membawa pulang anaknya. Dalam perjalanan pulang, sang orang tua menguji pengetahuan anaknya dan terkesan dengan ilmunya. Ia pun kembali meminta Syekh Abdul Qadir untuk mendidik anaknya lagi, tetapi Syekh Abdul Qadir menolak, mengatakan bahwa ketidakadaban orang tua itu telah menutup hati anaknya dari keberkahan ilmu.

Hal itu menunjukkan bahwa ketidakadaban orang tua terhadap guru bisa menyebabkan anak kehilangan keberkahan ilmu.

Kembali lagi pada permasalahan terkait siapakah pihak yang bertanggung jawab atas fenomena degradasi moral dalam pendidikan di Indonesia ini? Jika dilihat dari pemaparan di atas, maka tidak ada pihak yang benar-benar bisa disalahkan, karena ketiga pihak tadi sama-sama memegang peran penting dalam terbentuknya kualitas dalam dunia pendidikan.

Singkatnya, dalam menyikapi fenomena degradasi moral pendidikan Indonesia, diperlukan ketiga belah pihak menjalankan peran dengan baik dan sesuai. Ketika hal tersebut dapat terpenuhi, maka pendidikan mampu mencapai tujuan dan menjadi tiang tangguh yang mampu menopang kesejahteraan, mulai dari lingkup terkecil, yaitu diri sendiri hingga lingkup negara sekalipun. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Mayada Athya Nadhiroh
Mayada Athya Nadhiroh
Lahir di Tuban, 04 Juli 2003. Santri sekaligus Mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAIN Kediri. Motto: "Tidak mungkin Tuhan membawamu sejauh ini hanya untuk gagal."

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru