32.9 C
Jakarta

Deepfake dan Ancaman Penyebaran Hoaks di Tahun Politik

Artikel Trending

KhazanahOpiniDeepfake dan Ancaman Penyebaran Hoaks di Tahun Politik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Baru-baru ini ramai di media sosial suara yang menyerupai Presiden Joko Widodo menyanyikan berbagai genre lagu. Yang paling ternama adalah lagu  “Asmalibrasi” yang mendapat view lebih dari 1,9 juta kali, dibagikan lebih dari 25.600 warganet dan disukai hingga 182.200 pengguna.

Pakar komunikasi digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan menjelaskan jika suara yang mirip Presiden Joko Widodo merupakan produk kecanggihan AI yang disebut sebagai deepfake. Ini merupakan produk yang mampu menirukan wajah, suara, mimik muka, intonasi, hingga logat seseorang.

Meskipun deepfake bagus untuk kemajuan teknologi, namun dalam kontestasi politik, deepfake dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan berita hoax dan konspirasi yang memecah persatuan. Hal ini dijelaskan oleh Pengamat keamanan siber Alfons Tanujaya tentang bagaimana deepfake dapat merusak citra politik.

Deepfake dan Potensi Hoaks

Saat ini, deepfake sangat mudah dibuat dengan menggunakan berbagai macam aplikasi dan perangkat lunak yang tersedia di internet. Beberapa aplikasi bahkan gratis dan dapat diunduh oleh siapa saja. Hal ini membuat deepfake semakin mudah disebarkan dan digunakan untuk membuat hoaks.

Meskipun deepfake memiliki potensi untuk digunakan secara positif, seperti dalam industri film dan televisi, penggunaan yang salah dari teknologi ini dapat berdampak buruk pada masyarakat. Sebagai contoh, deepfake dapat digunakan untuk menciptakan video yang merusak reputasi seseorang atau untuk menipu orang dan mengambil keuntungan dari mereka.

Dalam beberapa tahun terakhir, deepfake telah menjadi semakin populer sebagai alat untuk membuat hoaks politik. Sebagai contoh, selama pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2020, deepfake digunakan untuk menciptakan video palsu tentang kandidat yang berusaha mempengaruhi pendapat publik. Video ini menyebar dengan cepat di media sosial dan menyebabkan kebingungan dan ketidakpercayaan di antara pemilih.

Deepfake juga telah digunakan untuk menyebarkan informasi palsu tentang pandemi COVID-19. Beberapa video palsu telah dibuat untuk menyebarluaskan informasi palsu tentang virus dan vaksin. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan di antara masyarakat dan membuat mereka tidak percaya pada informasi yang diberikan oleh ahli kesehatan.

BACA JUGA  Radikalisme di Kalangan Mahasiswa, Seberapa Bahaya?

Dalam beberapa kasus, deepfake telah digunakan untuk membuat video porno palsu tentang orang yang tidak bersalah. Video-video tersebut dapat digunakan untuk merusak reputasi seseorang dan bahkan dapat digunakan untuk mengancam dan memeras orang tersebut.

Melawan Penyalahgunaan Deepfake

Untuk melawan penggunaan deepfake yang salah, beberapa negara telah mengeluarkan undang-undang yang membatasi penggunaan teknologi ini. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, beberapa negara bagian telah mengeluarkan undang-undang yang melarang penggunaan deepfake untuk tujuan merusak atau menipu orang lain.

Selain itu, beberapa perusahaan teknologi besar, seperti Facebook, Google, dan Microsoft, telah mengembangkan alat deteksi deepfake yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi video palsu. Alat-alat ini menggunakan kecerdasan buatan dan teknik pembelajaran mesin untuk membedakan video palsu dari yang aslinya. Namun, meskipun alat deteksi deepfake semakin berkembang, masih ada banyak video palsu yang lolos dari deteksi dan menyebar dengan cepat di media sosial.

Untuk mengatasi masalah deepfake, diperlukan pendekatan yang terintegrasi yang melibatkan teknologi, undang-undang, dan pendidikan masyarakat. Pertama, perlu ada upaya untuk mengembangkan teknologi deteksi deepfake yang lebih canggih dan akurat. Hal ini dapat membantu mengidentifikasi video palsu sebelum mereka menyebar ke media sosial.

Kedua, perlu ada undang-undang yang jelas dan tegas mengenai penggunaan deepfake. Undang-undang ini dapat melarang penggunaan deepfake untuk tujuan merusak atau menipu orang lain dan dapat menetapkan sanksi yang keras bagi pelanggar. Selain itu, undang-undang ini dapat memuat persyaratan untuk menyertakan label yang jelas pada video yang menggunakan teknologi deepfake.

Terakhir, perlu ada upaya untuk meningkatkan literasi digital dan pendidikan masyarakat tentang deepfake. Orang-orang perlu memahami bagaimana deepfake bekerja dan cara mengidentifikasi video palsu. Dengan meningkatkan kesadaran tentang deepfake, masyarakat dapat lebih waspada terhadap video palsu dan lebih mampu menghindari penyebaran informasi palsu.

Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah deepfake, perlu ada pendekatan terintegrasi yang melibatkan teknologi, undang-undang, dan pendidikan masyarakat. Hal ini dapat membantu mengurangi dampak negatif dari deepfake dan melindungi masyarakat dari penyebaran informasi palsu.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru