29.7 C
Jakarta
Array

Dari Tafsir Al-Qur’an hingga Tafsir Politik

Artikel Trending

Dari Tafsir Al-Qur'an hingga Tafsir Politik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Indonesia baru saja selesai Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden atau lebih akrab disebut “Pilpres”. Apakah Indonesia kembali adem? Masyarakat saling berjabat tangan sebagai simbol keakraban dan perdamaian, bahkan tersenyum sebagai simbol tidak ada permusuhan? Secara realitas, wajah Indonesia belum kembali seperti semula, walau 17 April sudah usai. Indonesia masih digoncang tafsir yang serba kontroversial. Kubu sini menafsirkan begini, kubu sana menafsirkan begitu.

Berbicara soal tafsir, mengingatkan saya pada sepak terjang perkembangan tafsir Al-Qur’an (Qur’anic exegesis). Tafsir yang disebut oleh Prof. M. Amin Abdullah sebagai sederetan teks turunan membuka cakrawala ulama atau mufasir untuk menghadirkan tafsir Al-Qur’an yang beragam. Ada yang tertarik menghidangkan pendekatan riwayat seperti tafsir Jami’ al-Bayan an Takwil Ay al-Qur’an karya ath-Thabari (224-310 H.), Tafsir al-Qur’an al-Azhim karya Ibu Katsir (700-774 H.), dan Ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur karya as-Suyuthi (849-911 H.).

Selain pendekatan riwayah, ada yang menggunakan pendekatan rasionalis, sehingga tafsirnya cenderung subjektif. Sebut saja, tafsir al-Kasysyaf yang ditulis oleh az-Zamakhsyari (476-538 H.). Ada juga yang lebih membawa tafsir pada pendekatan sosial-kemasyarakatan, seperti karya tafsir yang ditulis oleh Rasyid Ridha (1282-1354 H.), yaitu Tafsir al-Qur’an al-Hakim atau yang lebih populer dengan sebutan Tafsir al-Manar. Selain itu, ada karya tafsir yang fokus pada tema-tema fikih yang disusun oleh al-Qurthubi (w. 1272 H.), yakni tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Dan masih banyak karya tafsir yang tidak dapat diuraikan secara keseluruhan di sini.

Munculnya karya tafsir yang beragam tersebut lagi-lagi tidak mengubah teks Al-Qur’an. Sebab, tafsir hanya memahami makna yang dinamis. Demikian pula, tafsir lahir tidak hampa budaya di mana dan kapan tafsir ditulis, lebih-lebih latar belakang penafsir (exegete). Sederhananya, tafsir yang ditulis di Arab Saudi akan menampilkan wajah yang berbeda dibandingkan tafsir yang dikarang di Indonesia. Karena, dua negera ini memiliki karakteristik yang berbeda: Arab Saudi berideologi Wahabi, sementara Indonesia berideologi Aswaja. Bahkan, asas negara Arab Saudi adalah Islam, sedangkan Indonesia menganut asas Pancasila.

Perkawinan antara budaya dan tafsir tentunya melabelakangi lahirnya perbedaan tafsir. Hasan Hanafi (lahir 1935 M.) menyebutkan bahwa tafsir Al-Qur’an hendaknya dibangun atas pengalaman hidup penafsir dan dimulai dengan kajian atas problem manusia, lalu kembali kepada Al-Qur’an untuk mendapatkan sebuah jawaban yang teoritis. Teori Hanafi ini, sebut Amin Abdullah, terinspirasi dari konsep Asbabun Nuzul yang memberikan makna bahwa realitas selalu mendahului wahyu. Pada tempat lain, Amin al-Khuli (w. 1966 M.) menawarkan metolodogi yang berbeda dalam menafsirkan Al-Qur’an. Menurutnya, dalam proses tafsir penafsir hendaknya memperlakukan teks Al-Qur’an sebagai kitab sastra terbesar, sehingga analisis linguistik-filologi teks dapat menangkap pesan moral Al-Qur’an. Seakan-akan teks Al-Qur’an sejajar dengan teks sastra Arab.

Di Indonesia sendiri banyak penafsir yang mengaplikasikan teori Hasan Hanafi. Sebut saja, buku Argumentasi Kesetaraan Jender yang ditulis oleh Nasaruddin Umar dan Tafsir Kebencian yang dikarang oleh Zaitunah Subhan. Dua buku ini menghadirkan realitas menyangkut bias patriarki dan diskrimanasi gender yang masih membekas di negara pluralistik ini, kemudian realistas ini direspons dengan Al-Qur’an. Secara singkat, dapat dipahami dari buku ini bahwa Al-Qur’an tidak membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin (sex), namun melihat perbedaan masing-masing dari kualitas ketakwaannya. Selain itu, buku Konsep Kufr dalam Al-Qur’an yang ditulis oleh Harifuddin Cawidu. Sebagai hasil penelitian, tentunya buku ini lahir atas kegelisahan penulisnya melihat realitas masyarakat Indonesia yang gemar kafir-mengkafirkan (takfir), sehingga dengannya perlu dianalisa kembali makna kufur yang sebenarnya: Apakah kufur itu non-Islam atau tidak?

Sekelumit perjalanan tafsir Al-Qur’an tidak jauh berbeda ternyata setelah saya mengamati dengan perjalanan tafsir politik Indonesia. Kampret menafsirkan bahwa Prabowo yang lebih pantas memimpin Indonesia ke depan, sehingga walau Pilpres sudah usai, fanatisme Kampret belum saja pudar. Buktinya, mereka masih eksis menyangkal hasil Quick Count yang dilakukan lebih dari satu tim yang bertugas—kalau dalam hadis, tim Quick Count yang lebih dari satu tim ini sudah dikategorikan dengan Hadis Mutawatir, yakni hadis yang diriwayatkan oleh banyak rawi dan tidak mungkin berbohong. Bahkan, yang lebih ekstrem adalah Probowo beserta Kampret menyatakan kemenangan kubunya sendiri pada laga Pilpres 2019, sekalipun Real Count belum diumumkan. Sikap semisal ini menutup pikiran untuk menafsirkan realitas secara objektif, sehingga tafsir ini tidak ada bedanya dengan tafsir fanatis-subjektif az-Zamakhsyari yang memuja kelompoknya sendiri, Muktazilah, dan menyudutkan kelompok lain, Sunni.

Tidak jauh berbeda pula, Cebong selalu optimis melihat Jokowi adalah presidennya. Sikap ini jelas juga subjektif. Karena, sampai sekarang Cebong menutup mata rapat-rapat bahwa Prabowo adalah sosok pemimpin yang bertanggung jawab membawa Indonesia lima tahun ke depan. Karena, baginya, Prabowo memiliki banyak kekurangan, seperti ambisi, keras, dan gemar menyalahkan orang lain, sementara sikap pemimpin selayaknya bersikap lemah lembut dan berpikir optimis.

Dari perbedaan penafsiran ini, adalah suatu keniscayaan. Karena, perbedaan itu indah dan rahmat. Hal yang terpenting dari perbedaan itu tidak menggiring kepada perpecahan dan petaka. Bagaimanapun tafsir kita, keputusannya nanti saat Real Count dibaca. Real Count merupakan kebenaran yang mutlak layaknya tafsir Al-Qur’an yang akan diketahui kebenarannya secara hakiki saat Allah yang memberikan veto. Selamat menafsir![] Shallallah ala Muhammad!

[zombify_post]

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru