27.5 C
Jakarta

Dari Santri untuk Negeri

Artikel Trending

KhazanahOpiniDari Santri untuk Negeri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Islam lived for centuries by teologians and jurist, by philosophers and scientists, by artists and poets, by Sufts and simple people of faith throughout the Islamic world during fourteen centuries of Islamic history-the Islam that is in fact still followed by the vast majority of Muslims from Atlantic to the Pacific” (Seyyed Hosseein Nasr).

Islam telah hidup selama berabad-abad oleh para teolog dan ahli hukum, oleh filosof dan ilmuan, oleh seniman dan penyair, oleh Sufi dan masyarakat biasa di seluruh dunia Islam semenjak abad 14 sejarah Islam, Islam seperti inilah yang sebenarnya dipeluk oleh mayoritas Muslim dari Atlantik hingga pasifik (Seyyed Hosseein Nasr).

Banyak orang tidak menyadari bahwa Islam tumbuh dari dua jalur, yaitu jalur politik dalam bentuk kerajaan, khilafah, ataupun bentuk pemerintahan sejenisnya. Dan yang kedua jalur kultural yang mengambil jarak dari dunia perpolitikan.

Corak Islam yang digambarkan oleh Seyyed Hosseein Nasr merupakan Islam yang hidup secara kultural dan jauh dari pentas politik. Gerakan kultural ini bertujuan menyelamatkan umat dari kekejaman fitnah politik. Gerakan ini salah satunya dapat dilihat secara nyata dalam pembelajaran satu wadah yang disebut pesantren.

Gerakan Islam tradisionalis yang dimotori oleh pesantren secara spesifik telah menarik perhatian penduduk Nusantara, dan membentuk komunitas yang dinamakan “santri”. Semasa penjajahan, kaum komunis membendung kekuatan santri dengan mempolitisir sistem mereka. Namun, kolonialisme tidak bisa menyentuh kebangkitan santri yang dimulai dari sisitem pendidikan, kemudian membentuk lembaga dakwah pengembangan masyarakat.

Dibandingkan pemikiran intelektual Islam yang berafiliasi dengan sistem politik, tentu saja Islam tradisional tidak banyak dilirik masyarakat luas. Konsep mengenai bentuk negara, khilafah misalnya, lebih disenangi sebagai wahana membentuk tata kehidupan masyarakat yang lebih Islami secara cepat. Perintah dan sanksi, keduanya menjadi pengikut setia Islam gerakan politik ini. Sehingga hanya terdapat dua aturan utama, menurut atau diberikan sanksi tegas.

Sementara bagi kalangan tradisionalis, konsep daulah Islamiyah tidak cocok digunakan dalam khazanah keilmuan mereka. Hal ini semakin dikuatkan dengan adanya penolakan dari masa ke masa akan diterapkannya Islam politik di Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan rentetan peperangan yang terjadi di masa ini akibat formalisasi agama. Oleh karena itu, negara-negara yang tidak menganut Islam secara formal dapat diterima oleh golongan ini.

BACA JUGA  Antara Muhammadiyah dan NU: Belajar Memahami “Wajah” yang Lain

Mereka memahami bahwa aturan harus membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Sedangkan relevansi daulah Islamiyah hanya membawa kemaslahatan bagi satu umat saja, dan berpotensi menimbulkan kecemburuan bagi umat lainnya. Disinilah kiranya ilmu fikih harus diimbangi dengan berbagai ilmu lain, seperti ushul fikih dan tasawuf. Sehingga hukum yang dihasilkan tidak bersifat kaku dan kolot.

Seperti yang kita ketahui, fikih mempunyai peran penting dalam mengatur pola transformasi sosial masyarakat di Indonesia. Fikih mempunyai diskursus yang menciptakan norma dan mempunyai daya perubahan yang kuat. Misalnya, fatwa halal dan haram mudah merubah kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu, pengkajian fikih harus dilakukan secara hati-hati dan perlu adanya pertimbangan dari disiplin ilmu lainnya.

Ulama moderat sejak dulu telah mengisyaratkan pentingnya lembaga pesantren sebagai tranformasi ilmu dari guru ke murid. Disana, seorang murid dapat belajar dari tindakan dan ucapan seorang guru. Sehingga pola ilmu yang didapatkan tidak hanya berpusat pada teori-teori belaka, namun juga menggunakan aspek praktek. Teori tanpa praktek hanya menjadi kemandulan ilmu, sebaliknya praktek tanpa teori akan menghasilkan kesesatan. Keduanya harus tergabung dalam satu kesatuan untuk menghasilkan tatanan yang sempurna.

Hingga kini, warisan kaum tradisionalis (pesantren) mengalami kemajuan pesat. Baik di bidang ekonomi maupun sistem pengajaran sudah mengalami perkembangan. Dengan perkembangan ini, pesantren diharapkan menjadi motor penggerak toleransi dan kedamaian negeri. Sehingga kehadirannya, selalu membawa rasa aman dan nyaman bagi negara dan masyarakat Indonesia.

Produk santri yang kian bertambah harus dijadikan sebagai salah satu aspek penengah dalam permasalahan. Pendamai antara mereka yang bertikai dan pemberi makna bagi negara. Harapannya, santri bisa menjadi penggerak revolusi membangkitkan rasa kemanusiaan serta melenyapkan rasa intoleran yang kian hari kian bertambah jumlahnya.

Selamat Hari Santri Nasional 2019!

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru