26.9 C
Jakarta

Dari Puritanisme ke Ekstremisme: Melacak Genealogi Teror dan Kekerasan Agama di Indonesia

Artikel Trending

KhazanahPerspektifDari Puritanisme ke Ekstremisme: Melacak Genealogi Teror dan Kekerasan Agama di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam dua dekade era Reformasi ini, teror dan kekerasan atas nama agama harus diakui masih menjadi bahaya laten di negeri ini. Berbagai aksi teror dan kekerasan yang mengatasnamakan agama tidak hanya menimbulkan efek destruktif, berupa hilangnya nyawa dan kerugian harta-benda. Lebih dari itu, aksi teror dan kekerasan atas nama agama juga mengancam keutuhan bangsa dan negara.

Teror dan kekerasan atas nama agama tidak muncul dari ruang hampa. Sebaliknya, ia lahir dari rahim sejarah yang panjang dan kompleks. Teror dan kekerasan atas nama agama tidak muncul begitu saja. Kecuali dilatari oleh beragam faktor multidimensi, mulai dari sosial, politik dan pemahaman agama itu sendiri.

Khaled Abou el Fadl dalam bukunya The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist menjelaskan bahwa genealogi fenomena teror(isme) dan kekerasan mengatasnamakan agama, Islam, utamanya di era kontemporer ini dapat dilacak dari akar kemunculan gerakan puritanisme agama. Puritanisme agama ialah paham yang meyakini bahwa praktik keislaman modern ini telah banyak tercemar dan harus dimurnikan kembali.

Kaum puritan, menurut el Fadl memiliki orientasi untuk mengembalikan kemurnian Islam sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah dan dipraktikkan oleh generasi Islam awal (shalafusshalih). Sekilas, puritanisme agama ini seolah memiliki agenda yang mulia, lantaran berusaha mengembalikan Islam sesuai dengan ajaran dalam Al-Qur’an dan hadis.

Puritanisme dan Problem Kekerasan Agama

Namun, dalam perkembangannya, puritanisme agama justru kerap melahirkan sikap intoleran, diskriminatif, bahkan pada titik tertentu destruktif. Tersebab, agenda pemurnian agama ini dalam perjalanannya kerap dibumbui oleh sentimen klaim kebenaran yang didasarkan para pola pikir dan penafsiran teks keagamaan yang literalistik-skripturalis. Di era Islam kontemporer, gerakan puritanisme agama ini dimotori oleh kalangan Wahabi-Salafi yang disponsori oleh Kerajaan Arab Saudi.

Globalisasi dan trans-nasionalisasi ideologi yang terjadi selama beberapa dasawarsa terakhir ini turut serta membawa ideologi Salafisme dan Wahabisme ke Tanah Air. Seperti kita lihat saat ini, lanskap keberagamaan di kalangan umat Islam di Indonesia pasca-Reformasi tidak hanya didominasi oleh kelompok moderat dan tradisional. Selain itu, bermunculan kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan paham Salafi-Wahabi yang mengusung puritanisme bahkan ekstremisme beragama.

Penyebaran paham Wahabisme dan Salafisme terjadi melalui beragam cara dan media. Belakangan, ketika media baru terutama internet dan anak kandungnya, yakni media sosial kian populer, ideologi Wahabi-Salafi lebih banyak disebarluaskan melalui kanal maya. Ustaz-ustaz Salafi-Wahabi tampil di berbagai platform media sosial dan segera menjadi rujukan bahkan idola baru bagi kalangan Muslim urban milenial.

BACA JUGA  Lawan Propaganda Radikalisme di Media Sosial, Ini Strateginya

Tidak hanya itu, puluhan situs internet yang mempropagandakan radikalisme dan ekstremisme agama juga tumbuh subur di dunia maya. Bisa dibilang, kini ancaman nyata bagi bangsa dan negara bukan datang dari gerakan ekstrem kiri (sosialisme-komunisme), melainkan dari kelompok ekstrem kanan (puritanisme, radikalisme dan ekstremisme).

Dari paparan di atas bisa disimpulkan bahwa kekerasan dan teror atas nama agama tidak muncul begitu saja. Seseorang tidak begitu saja menjadi ekstremis apalagi teroris tanpa melalui proses deradikalisasi yang panjang. Ekstremisme dan terorisme selalu berakar dari paham puritanisme agama; yakni kehendak memurnikan ajaran agama dari unsur-unsur yang dianggap asing.

Dalam konteks ideologi Salafisme-Wahabisme, unsur asing itu merujuk pada tradisi tasawuf, budaya lokal-tradisional, dan aliran kalam atau mazhab yang berbeda dengan penafsiran mereka atas teks-teks keagamaan.

Merebut Kembali Ruang Publik Keberagamaan Kita

Maka dari itu, upaya deradikalisasi dan kontra narasi ekstremisme untuk mencegah ekstremisme idealnya berorientasi pada pembentukan pola pikir dan praktik keberagamaan yang moderat. Dalam artian inklusif terhadap segala bentuk dan hasil penafsiran atas teks agama, adaptif pada kebudayaan lokal-tradisional serta toleran pada segala jenis aliran dan mazhab dalam khazanah pemikiran Islam.

Melawan puritanisme agama ialah langkah awal mencegah berkembangnya ideologi teror dan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dengan menghalau puritanisme agama, pada dasarnya kita tengah memutus rantai penyebaran radikalisme dan ekstremisme. Dalam konteks inilah yang kita berharap kaum moderat tidak hanya berpangku tangan, alih-alih terlibat aktif dalam kampanye keberagamaan yang toleran, inklusif, dan pluralis.

Sebagaimana kita tahu, selama ini kaum moderat kerapkali puas dengan menjadi silent majority alias mayoritas yang diam. Meski jumlahnya banyak, kaum moderat cenderung bersikap pasif dalam menyuarakan gagasannya terkait moderasi beragama, deradikalisasi dan narasi kontra-ekstremisme. Sebaliknya, di saat yang sama meski minoritas kelompok puritan dikenal aktif memproduksi wacana keagamaan di ruang publik.

Konsekuensinya, lanskap keberagamaan kita lebih banyak dihegemoni oleh narasi puritanisme dan konservatisme agama yang menjadi lahan subur bagi tumbuhnya radikalisme dan ekstremisme. kondisi ini tentu tidak bisa didiamkan. Adagium “yang waras ngalah” sudah tidak lagi relevan untuk zaman sekarang. Di tengah kondisi saat ini, kaum waras tidak boleh kalah, kaum moderat tidak boleh pasif. Saatnya kita merebut kembali ruang publik keberagamaan kita dari kaum puritan-ekstrem.

Dengan begitu, lanskap keberagamaan kita akan steril dari narasi radikalisme dan ekstremisme. Semoga!

Nurrochman
Nurrochman
Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru