28.9 C
Jakarta
Array

Dari Pendidikan Tuhan hingga Pendidikan Manusia

Artikel Trending

Dari Pendidikan Tuhan hingga Pendidikan Manusia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Manusia terlahir bak tabula rasa. Kosong. Tidak membawa mental bawaan. Segala pengetahuan hanya diperoleh dari pengalaman dan persepsi indra terhadap objek di luar dirinya. Manusia terlahir dari unsur yang sama, memiliki potensi yang sama, dan memiliki hak yang sama.

Kekosongan pribadi manusia pernah diperdebatkan, debatable. Sejarah mencatat perdebatan ini melibatkan dua kubu yang berseberangan: Muktazilah dan Asy’ariyah. Muktazilah menyebutkan, manusia yang baru lahir kemudian meninggal akan ditempatkan di Manzilah bainal Manzilatain, tempat di antara dua tempat, bukan surga dan bukan neraka. Sebab, bayi belum memiliki amal dan pahala yang dapat mengantarkannya masuk surga. Demikian pula, bayi belum melakukan perbuatan dosa yang dapat menyeretnya mendekam di dalam neraka. Beda hal, Asy’ariyah sepakat bahwa bayi yang masih kosong, belum punya amal dan dosa, akan disediakan tempat yang maha indah di surga apabila meninggal.

Saat manusia dilahirkan, saat itu pula mereka mendapatkan pendidikan. Dalam Al-Qur’an digambarkan pendidikan Nabi Adam: Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!” (Qs. al-Baqarah/2: 31). Jadi, yang mendidik Adam sehingga menjadi sosok yang berilmu adalah Allah. Maka, dengannya Allah disebut Rabb, karena Dia Tuhan yang Maha Mendidik.

Pendidikan yang ditanamkan Allah dimulai dengan memperkenalkan nama-nama benda yang terbentang luas di jagat raya. Adam dapat mempelajari bentangan pengetahuan sehingga mengantarkannya menjadi sosok yang terhormat dibandingkan makhluk yang lain, yakni malaikat dan iblis. Adam termasuk makhluk yang dinamis dan kreatif. Berbeda dengan malaikat dan iblis yang keduanya termasuk makhluk yang stagnan. Hidup malaikat tidak berkembang, karena pola hidupnya hanya berkutat pada hal-hal yang positif, sementara hidup iblis selalu mengarah pada sesuatu yang negatif.

Kreativitas Adam tumbuh karena didasari ilmu yang mampu membuka cakrawala pemikiran. Ilmu yang bermanfaat tentunya dibangun dengan pendidikan yang baik. Pendidikan yang baik dimulai dari ketulusan hati sang pendidik. Bila Allah Swt. yang mendidik Adam, tentu Dialah Pendidik yang Sejati, sehingga tidak heran bila Adam meraih keberhasilan sebagai manusia pertama yang dapat melahirkan generasi emas, Nabi Muhammad, manusia yang sempurna (insan kamil), teladan bagi seluruh manusia: akhlaknya luhur, sikapnya lembut, dan tutur katanya santun.

Selain itu, kreativitas Adam membuat malaikat dan iblis “ngiri”. Dilukiskan dalam Al-Qur’an sikap iri malaikat yang mempersoalkan penciptaan manusia, termasuk Adam, di muka bumi. Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. al-Baqarah/2: 30).

Sementara, sikap iri iblis diwujudkan atas penolakannya terhadap Allah Swt. yang memerintahkan iblis sujud atau menghormati Nabi Adam. Hal ini terekam dalam Al-Qur’an: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir. (Qs. al-Baqarah/2: 34). Sejatinya, Sikap iri iblis melebihi sikap iri malaikat, sehingga berujung pada sikap takabbur, sombong. Iblis merasa bahwa dirinya lebih pantas dihormat dibandingkan Adam, karena iblis tercipta dari api, sedang Adam tercipta dari tanah. Api berpotensi menuju ke atas yang mengisyaratkan kesombongan atau “tidak menunduk ke bawah”, sedang tanah menuju ke bawah yang mengindikasikan ketawaduan atau “tidak mendongak ke atas”. Oleh karena itu, iblis dilaknat dan disanksi mendekam di neraka.

Pendidikan sebenarnya dimulai sejak manusia dalam kandungan ibu. Ibu yang sedang hamil hendaknya selalu menjaga sikap, karena sikap ibu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi, baik saat dalam kandungan maupun saat lahir nanti. Ibu yang mendidik kandungannya, misal, dengan bacaan Al-Qur’an, maka anaknya kelak menjadi manusia yang bermanfaat terhadap orang lain. Lebih dari itu, anak ini akan menjadi pemimpin yang berhati Nabi: lembut tutur katanya, santun sikapnya, dan mulia hatinya. Biasanya pemimpin yang semacam ini tidak ambisius meraih kekuasaan, karena yang paling penting bukan seberapa banyak kekuasaan yang diraih, namun seberapa tulus pengabdian yang diberikan. Don’t think what you get, but think what you give. Because what you get is what you give. Jangan pikirkan apa yang kau raih, tapi pikirkan apa yang kau berikan. Karena, apa yang kau raih adalah apa yang kau beri.

Ki Hadjar Dewantara merumuskan pendidikan bertumpu pada tiga hal: Pertama, “ing ngarsa sung tuladha” (di depan memberi teladan). Pendidikan selalu mengarahkan manusia tidak hanya menjadi sosok yang pandai mengajar, namun pula menjadi sosok yang dicontoh dan diteladani. Ada sebuah adagium yang berpesan: “Guru digugu dan ditiru”. Sosok guru adalah sosok teladan bagi muridnya, sehingga siapapun yang mengajarkan ilmu, tetapi sikapnya belum pantas dijadikan teladan, maka ia bukan guru, tetapi pengajar saja. Dalam medan yang lebih luas, sebut saja pemimpin. Siapapun yang bermimpi menjadi pemimpin, maka instropeksi dulu; apakah sudah pantas menjadi teladan bagi rakyatnya? Sederhananya, karakteristik pemimpin teladan adalah menjaga sikap: tidak berkata kotor dan gemar merakyat.

Kedua, “ing madya mangun karsa” (di tengah memberi bimbingan). Hidup belum sempurna kalau belum bisa berbagi. Sebenarnya, pada diri masing-masing manusia terdapat hak orang lain, sehingga hak tersebut menjadi wajib ditunaikan. Bila seseorang mampu secara materi, maka sisihkan sebagian hartanya bagi orang yang membutuhkan. Bila seseorang mampu berdakwah, maka ajaklah orang yang lupa menjadi sadar. Sementara, guru termasuk sosok yang mampu secara pengetahuan, maka dia berkewajiban mengajar dan membimbing orang lain.

Ketiga, “tut wuri handayani” (di belakang memberi dorongan). Manusia tercipta serba terbatas. Kadang sekarang bahagia, kadang besok sedih. Kadang kemarin berhasil, kadang sekarang gagal. Pada saat terpuruk, manusia butuh bangkit. Bangkit dari kegagalan butuh dorongan. Di situlah tugas pendidikan mendorong yang terjatuh menjadi bangkit kembali, memotivasi yang gagal menjadi sukses.

Pesan Ki Hadjar tersebut benar-benar memberikan kesan mendalam di tengah masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, masyarakat selalu mengenang pesan dan pengabdian Ki Hadjar dalam bentuk perayaan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tiap tahun tepatnya pada tanggal kelahiran Ki Hadjar, yakni tanggal 2 Mei. Selamat Hari Pendidikan Nasional! Dengan perayaan ini, diharapkan masyarakat Indonesia menjadi generasi Ki Hadjar Dewantara.[] Shallallah ala Muhammad.

[zombify_post]

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru